Bukan apa-apa. Haringga merupakan korban ketujuh rivalitas Jakmania dan Bobotoh sejak 2002. Rivalitas salah kaprah antara Jakmania dan Bobotoh ini terus menerus memakan korban. Sampai kapan? Tolong, jangan jadikan sepak bola sebagai ladang pembunuhan antar-suporter.
Untuk itu, segala upaya harus dilakukan semua pihak untuk menghabisi tindak kekerasan dalam sepak bola. Salah satunya seperti yang dilakukan klub Belgia Standard Liege, yang melakukan program pelatihan suporter di mana anak-anak dibekali pentingnya arti toleransi dan pemahaman seputar kerugian melakukan kekerasan baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Tapi itu tentunya butuh waktu.
Baca juga: Bagaimana Rasanya Bertanya kepada Edy Rahmayadi?
Saat ini, semua insan sepak bola--dari tingkat PSSI sampai tingkat pengurus kelompok suporter--telah berupaya mengampanyekan perdamaian antar-suporter. Tapi, nyatanya cara itu juga tidak memiliki dampak positif kepada seluruh suporter. Ya, masih banyak suporter yang menyimpan dendam atas tragedi berdarah yang terjadi di area stadion GBLA itu, khususnya dari kubu Jakmania.
Sampai-sampai, Ketua Umum Jakmania, Tauhid Indrasjarief-- akrab disapa Ferry--angkat suara dan dengan tegas meminta Jakmania menghentikan unggahan berbau kebencian dan dendam di media sosial.
Dikutip dari Instagram @febri.mpe, Ferry meminta siapapun Jakmania yang menolak damai untuk tidak memprovokasi pihak lain agar mengikuti sikap mereka.
Baca juga: Mimpi Sepak Bola yang Bersahabat
"Buat Jakmania, apapun itu, ketika kalian masih menolak damai, silakan...itu sikap kalian. Tapi jangan mengajak orang lain untuk anti damai. Karena kalian harus bertangung jawab juga dengan kematian almarhum (Haringga)," kata Ferry.
"Karena semakin sering kalian mem-posting tolak damai, caci maki, kalian akan menambah bola salju yang sedang bergulir makin lama makin besar sehingga akhirnya orang begitu ketemu Jakmania di mana kebenciannya udah sangat (besar). Karena apa? Karena mereka selama ini saling debat di media sosial," sambungnya.
Ferry juga meminta Jakmania tidak menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dan meminta mereka untuk introspeksi diri.
"Jadi, salah satu penyebabnya adalah dari kita sendiri, jangan nunjuk orang lain," tandasnya.
Baca juga: Jangan Jadikan Sepak Bola Kuburan Massal
Memang ironi. Ketika beberapa pekan sebelumnya olahraga dielu-elukan masyarakat Indonesia sebagai pemersatu bangsa, di mana dalam perhelatan Asian Games 2018 dua negara Korea bersatu di bawah satu bendera dan dua lawan politik; Joko Widodo dan Prabowo Subianto berpelukan melalui perpanjangan tangan atlet silat Hanifan Yudani Kusumah, kini perpecahan kembali terjadi.
Apa harus kita tambahkan kata-katanya menjadi: 'Olahraga pemersatu bangsa, kalau lawannya dari bangsa lain.'? Ya, karena kalau olahraga yang melibatkan sesama anak bangsa hasilnya adalah perpecahan dan kekerasaan. Sampai kapan ini terjadi? Semoga Haringga menjadi korban terakhir kekerasan suporter sepak bola di Indonesia. Selamat jalan Haringga.