Dokter spesialis dari Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Yun Ambril bilang, secara sederhana penyakit TBC timbul karena adanya kuman atau bakteri yang bersarang di dalam tubuh, khususnya di paru-paru.
Deteksi dini TBC sangat penting dilakukan. Tujuannya agar bisa segera dilakukan pengobatan sekaligus mencegah terjadinya penularan. Saat batuk atau bersin, penderita TBC dapat menyebarkan kuman yang terdapat dalam dahak ke udara. Dalam sekali batuk, penderita TBC dapat mengeluarkan sekitar 3000 percikan dahak.
Sedangkan gejala umum TBC ialah batuk yang berlangsung lama berminggu-minggu, nyeri dada, nafsu makan menurun, demam, lemas atau cepat capek, berat badan turun, dan terjadi keringatan pada malam hari.
Kata Yun Ambril, untuk mendeteksi penyakit TBC harus melalui tes dahak di laboratorium. Pengobatan untuk penyakit TBC biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih. Selama pengobatan, pasien akan diberi obat pembunuh kuman TBC.
“Obat tersebut diminum sampai tuntas 6 bulan. Nanti dokter yang akan menyatakan berhenti atau tidaknya minum obat. Kadang pengobatannya bisa lebih dari 6 bulan,” kata Yun Ambril, saat ditemui Era.id baru-baru ini.
Namun jangan salah, bakteri Tuberkolosis bisa melancarkan perlawanan pada proses pengobatan. Karena itu, pada kasus TBC yang kumannya sudah resisten, pengobatannya bisa berlangsung 18 bulan sampai 2 tahun. Jenis obatnya bisa berbeda dengan penyakit TBC biasa.
Yun Ambril menjelaskan, TBC resisten terjadi karena kuman yang bandel atau kebal terhadap pengobatan. Dalam kasus ini, bakteri TBC mampu mengubah diri menjadi lebih kuat. “Kuman juga pengin maju, pengin hidup lebih baik,” katanya.
Kuman TBC yang kebal pada pengobatan biasanya terjadi karena pasien tidak disiplin atau patuh minum obat. Misalnya, pasien yang seharusnya minum obat selama enam bulan tanpa putus, ternyata tidak melakukannya. Hal ini membuat kuman resisten.
Kuman TBC biasa menyerang selaput paru dan kelenjar. “90 persen kuman TBC menimbulkan gangguan pada selaput paru dan kelenjar,” kata Yun Ambril. Tapi kuman TBC juga bisa menyerang organ tubuh lainnya seperti hidung, mata, tulang.
Faktor-faktor resiko TBC antara lain kekurangan gizi, HIV/AIDS, perokok, dan lainnya. Faktor resiko ini merupakan salah satu komponen yang bisa mempercepat serangan kuman TBC pada tubuh. Tapi faktor resiko berbeda dengan penyebab. Sebagai contoh, kata Yun Ambril, tidak benar jika TBC disebabkan oleh rokok.
“Kuman enggak ada hubungannya dengan rokok. Kuman cuma ada dalam paru-paru yang sakit,” katanya.
Dengan kata lain, seorang perokok lebih rentan mengalami sakit paru walaupun bukan berarti perokok dipastikan mengalami penyakit paru seperti TBC.
Begitu juga dengan faktor kekurangan gizi, Yun Ambril menjelaskan kondisi ini membuat pertahanan tubuh seseorang menurun sehingga memudahkan terinfeksi kuman. Kondisinya mirip pada kasus HIV di mana pertahanan tubuhnya rendah sehingga rentan terinfeksi TBC.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017, di Indonesia diperkirakan ada satu juta kasus TBC. Namun dari data itu, belum separuhnya terlaporkan ke Kementerian Kesehatan.
Sementara Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI yang melakukan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.