The Bajau, Potret Ironi Kehidupan Suku Bajo

| 24 Jan 2020 16:25
<i>The Bajau</i>, Potret Ironi Kehidupan Suku Bajo
The Bajau (Youtube)
Bandung, era.id - Film The Bajau karya Dandhy Dwi Laksono diputar di Kaka Kafé, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung, Kamis (23/1) malam. Film yang pernah ikut Festival Budaya Pasar Hamburg Jerman itu mengisahkan ironi yang menimpa suku Bajo di laut Nusantara.

Suku Bajo pernah dikenal sebagai penjelajah lautan. Bahkan literatur mencatat, mereka sudah berlayar ketika ilmu pengetahuan masih memperdebatkan apakah bumi bulat atau datar. Mereka yang hidup tersebar di perairan Filipina, Malaysia, dan Indonesia sudah terampil membaca navigasi lewat rasi bintang.

Lewat film yang diproduksi WatchDoc Documentary ini, kita disuguhkan perjalanan kehidupan suku Bajo di era now. Film diawali dengan sebuah ritual di laut, yakni penyajian daging penyu dan nasi yang kemudian dihanyutkan di laut. Upacara tersebut dilakukan para tetua yang tak henti-henti berdoa dalam bahasa Bajo maupun Arab. 

Adegan film beralih ke keluarga Bajo yang hidup di perairan Torosiaje, Provinsi Gorontalo, dan Morombo, Sulawesi Utara. Mereka mengungkap pandangannya tentang kehidupan mereka, tentang laut, rumah, sekolah, pemerintah, dan seterusnya.

Pandangan mereka pada laut umumnya sama, yakni sebagai tempat mencari nafkah sekaligus tempat tinggal. Secara turun temurun mereka lahir, tumbuh, dan tutup usia tak jauh dari laut. Jika mereka diminta memilih tinggal di darat atau di laut, maka pilihan mereka akan jatuh pada laut. 

“Orang Bajo biasa di laut dan harus tetap di laut,” kata Munu, seorang perempuan asal suku Bajo, dalam film dokumenter berdurasi 80 menit tersebut.

Namun negara-negara yang perairannya biasa disinggahi suku Bajo menilai mereka sebagai nelayan ilegal. Narasi film menyebutkan, Indonesia pernah menangkap 500 nelayan suku Bajo dengan tuduhan mencuri ikan. Padahal bagi suku Bajo, lautan adalah milik semua. Tidak ada batas-batas yang dilarang untuk diarungi atau diambil ikannya. Pemahaman ini mereka dapat sejak zaman leluhur.

“Saya jadi nelayan sejak kecil. Memanah dan menombak (ikan) ini yang diajarkan orang tua saya,” kata seorang nelayan Bajo lainnya. 

Kini suku Bajo menghadapi zaman yang sudah jauh berubah di mana pulau-pulau telah berubah menjadi negara modern dengan konsep batas wilayah yang tak dikenal oleh Suku Bajo. 

Ada negara yang mau menaungi mereka dengan syarat mereka harus tinggal di daratan dan menjadi warga negara. Konsep kewarganergaraan tentu asing bagi suku yang sudah berabad-abad terbiasa mengarungi lautan tanpa batas negara. Padahal, “Mereka hidup berdasarkan arah angin,” demikian narasi Film The Bajau. “Identitas mereka pengembara laut,” kata narasi itu lagi.

Film The Bajau memotret ironi yang dialami suku Bajo yang diakui keandalannya dalam melaut. Namun ketika mereka singgah di suatu wilayah, mereka dinilai melakukan pelanggaran batas suatu negara.

Upaya membujuk suku Bajo agar memiliki identitas daratan juga dilakukan pemerintah. Mereka diminta berhenti hidup di laut, membuka lahan, menyekolahkan anak, dan melakukan aktivitas orang daratan seperti bertani atau beternak. 

Di Torosiaje, Gorontalo, suku Bajo biasa melaut di perairan dangkal yang eksotis. Air lautnya jernih, ikan-ikan berenang di antara gugusan kerang. Mereka menangkap ikan dengan cara tradisional, yakni dengan tombak atau panah.

Namun jumlah ikan sekarang berbeda dengan dulu. Mereka harus bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan modern. Mereka juga mulai tergantung pada mesin, BBM, dan es untuk mengawetkan ikan. 

Menurut Serding, salah seorang nelayan Bajo, anaknya pernah sekolah. Tetapi terpaksa harus berhenti karena kekurangan biaya. Anaknya pun kembali menjadi pelaut.

Potret miris muncul saat adegan film beralih ke suku Bajo yang hidup di perairan Morombo. Di sana, suku yang dijuluki “sea gypsies” itu tinggal di rumah-rumah panggung yang didirikan di atas air laut. Rumah dari kayu itu tampak kumuh, air di sekitarnya keruh karena tercemar pertambangan di seberang pantai.

Mereka mau tinggal di rumah tersebut karena dibujuk pemerintah. Seorang nelayan Bajo menuturkan, Dinas Sosial meminta mereka tinggal di rumah agar mereka aman, karena tinggal laut berbahaya. 

Bagi orang yang tinggal di daratan, tinggal di laut memang berbahaya. Tapi bagi suku Bajo, laut justru tempat tinggal. “Kalau nyawa hilang di laut sebagai nelayan, apa boleh buat,” kata seorang Bajo.

Selama mengikuti program pemerintah, warga Bajo justru menghadapi persoalan baru. Mereka pernah menggarap lahan untuk pertanian, namun lahan tersebut kemudian digusur perkebunan sawit. Penggusuran ini tanpa ganti rugi sepeser pun.

Warga Bajo merasa dibohongi. Hidup mereka jadi serba salah. Di darat, mereka harus terampil seperti orang darat, sementara di laut mereka menghadapi pencemaran di mana ikan-ikan yang menjadi sumber pencaharian mereka sulit didapat. 

Film The Bajau menyajikan data maraknya eksploitasi alam di Sulawesi Tenggara berupa tambang dan perkebunan sawit. Tercatat, ada 141 izin usaha tambang dan 4.000 hektar perkebunan sawit. 

Masifnya eksploitasi alam menimbulkan kerusakan ekologi yang dampaknya merugikan masyarakat sekitar. Gunung, hutan, dan laut mengalami kerusakan parah. Pada 2019 terjadi banjir di Kecamatan Asera, Oheo, dan Wiwirano. Jadi, soal bahaya, di darat pun banyak sekali bahaya akibat eksploitasi alam. 

Rekomendasi