Saya tidak akan mengulas jalannya pertandingan itu, karena sudah banyak media yang mengulasnya. Saya juga tidak akan menganalisa tepat atau tidaknya keputusan yang diambil wasit Michael Oliver, karena saya bukanlah pesepak bola profesional, apalagi analis sepak bola. Masa kecil saya dihabiskan dengan bermain bola di lapangan bekas sawah yang berhenti ketika azan magrib berbunyi.
Sebagai seorang pemain yang merasa timnya dirugikan. Di tengah tensi pertandingan yang tinggi dan apalagi memiliki target harus menang, wajar jika Chiellini mengeluarkan kata-kata tadi. Emosi, bro! Tapi, semoga setelah pertandingan itu, Chiellini mau membuka kembali lembaran-lembaran kisah klub yang dihuninya.
Oke, saya memang tidak pernah menyaksikan langsung satu pun pertandingan Juventus di stadion. Saya hanyalah penggemar sepak bola jarak jauh yang menjadi penyembah 'berhala' bernama 'layar kaca.' Tapi, saya juga kerap membaca dan mengingat sebuah peristiwa unik dan menggelitik dalam sepak bola. Khususnya yang berkaitan dengan kontroversi. Buat saya, ini menarik, meski kadang menyakitkan jika tim kesayangan saya yang menjadi korban.
Tahun 2000, jauh sebelum kasus Calciopoli yang melibatkan Juventus muncul ke permukaan, saya menulis artikel setebal 52 halaman--berjudul Di Balik Sukses Juventus. Sayangnya, tulisan itu belum sempat dibukukan.
Enam tahun berselang, guncangan hebat menerpa sepak bola dunia, khususnya Italia, setelah Bianconeri terbukti melakukan skandal pengaturan skor atau Calciopoli. Tapi, saya tidak akan mengulas kasus ini. Selain terlalu sensitif buat Juventini dan Internisti, saya juga lebih suka memaparkan kisah-kisah lain yang bersemayam dalam artikel yang saya buat 18 tahun silam.
Saya awali dengan kisah yang terjadi di Liga Champions sekitar dua dekade lalu. Kala itu, Juventus berhasil mendapatkan satu tiket ke perempat final Liga Champions 1998/1999 setelah 'dibantu' tim lain. Padahal, posisi Alessandro Del Piero dkk berada di ujung tanduk.
Saat itu, pimpinan klasemen sementara Grup B, Galatasaray (poin 8) akan bertemu Athletico Bilbao. Di pertandingan lain, Juventus--yang berada di urutan ketiga dengan nilai 5--akan menghadapi Rosenborg yang menempati posisi kedua dan mengantongi nilai sama dengan Galatasaray tapi beda selisih gol. Juventus akan lolos ke perempat final jika bisa menang atas Rosenborg dan Galatasaray kalah lawan Bilbao.
Di atas kertas, Galatasaray tidak mungkin kalah dari klub Spanyol jika bermain di Turki. Tetapi hasil menyebutkan, klub mereka menyerah 0-1, sedangkan Juventus unggul 2-0 atas Rosenborg di Delle Alpi. Dengan demikian Juventus yang berhak lolos ke perempat final.
Saat itu menjelang Natal 1999, Istanbul Turki bergejolak. Bukan lantaran kondisi politik ataupun bencana alam, melainkan para pemain bintang mereka semacam Gheorghe Hagi, Gheorghe Popescu dan Iulian Filipescu mengancam akan meninggalkan klub bila gaji mereka dalam empat bulan terakhir tidak segera dibayar.
Sebuah kabar menghebohkan muncul. Juventus menggelontorkan sejumlah uang kepada Galatasary dengan syarat mereka tidak boleh menang saat lawan Bilbao. Hasilnya, Juventus pun lolos ke babak perempat final Liga Champions 1998/99.
Ini adalah kali kedua langkah Juventus dibantu tim lain. Di edisi Liga Champions sebelumnya, 1997/1998--yang uniknya juga terjadi pada Desember--Bianconeri diloloskan Olympiakos lewat gol menit akhir Predrag Djordjevic ke gawang Rosenborg dalam laga yang berkesudahan 2-2.
Tapi yang menjadi sorotan bukan soal siapa pahlawan yang meloloskan Juventus, melainkan kenapa 'Tim Kuda Zebra' ini selalu mampu meloloskan diri dari lubang jarum.
Baca Juga : Nomor Punggung Pesepak Bola yang Dipensiunkan
Ilustrasi (Yuswandi/era.id)
Sisi Gelap Serie A
Sekarang kita ke Serie A. Tapi, saya lebih suka mundur jauh ke beberapa dekade, bukan ke kasus Calciopoli. Pada 1959, tim dari selatan Italia, Napoli, dipimpin raja bisnis perkapalan Achille Lauro. Pria ambisius ini ingin membangun stadion San Paulo dan membeli pemain-pemain top demi bersaing dengan tim-tim wilayah utara.
Demi memuluskan keinginannya, Lauro berbisnis dengan keluarga Agnelli, penguasa saham mayoritas Juventus. Ia memberi hak kepada Agnelli untuk memasok mesin bagi semua kapal laut miliknya. Imbalannya, Agnelli menyerahkan duet penyerang andalan Juventus saat itu, Omar Sivori dan Jose Altafini.
Pada musim 1974/1975 Napoli bersaing dalam perebutan gelar Serie A. Menjelang partai terakhir, mereka butuh kemenangan telak untuk menghindari kejaran pesaing terdekatnya, Juventus. Ternyata, Napoli cuma menang tipis lawan Varese. Sedangkan Juventus membantai Vicenza 5-0. Gelar pun terbang ke Turin.
Tidak berapa lama kabar berembus, keluarga Agnelli menyuap wasit agar memberikan kemenangan besar kepada Juventus. Lauro pun menangis dikhianati rekan bisnisnya.
Berselang enam musim, Fiorentina yang saat itu dilatih Giancarlo De Sisti mempertahankan sang maskot Giancarlo Antognoni plus menambah amunisi baru; libero Pietro Vierchowod dan penyerang Daniele Massaro.
Selama separuh musim Fiorentina memimpin liga. Tapi menjelang pertandingan terakhir perolehan nilai mereka bisa disamai Juventus. Pada partai pamungkas, Juventus bertandang ke Catanzaro, sedangkan Fiorentina ke Cagliari. Hingga akhir babak pertama, kedudukan masih sama-sama imbang tanpa gol. Para pengamat pun mulai membicarakan kemungkinan penentuan juara lewat pertandingan play off.
Baca Juga : Miris, Masih Ada Rasisme di Sepak Bola
Tapi terjadilah skandal yang menghebohkan. Pada babak kedua I Viola mencetak gol lewat Francesco Graziani. Tapi entah kenapa wasit menganulir. Di saat bersamaan, Juventus malah dihadiahi penalti yang dicetak Liam Brady pada menit ke-75. Gelar pun terbang ke Turin diiringi tangis kepedihan Fiorentini.
Memasuki musim 1989/1990, Fiorentina yang dihuni gelandang Brasil Carlos Dunga dan bintang muda berbakat Roberto Baggio melaju ke final Piala UEFA. Lagi-lagi lawan mereka Juventus.
Pada pertandingan pertama di Turin, Fiorentina menyerah 1-3. Tapi mereka tetap optimistis bisa merebut gelar juara dengan kemenangan di kandang sendiri. Namun sial, gara-gara pendukungnya dianggap bikin onar di Turin, FIGC (PSSI-nya Italia) melarang Fiorentina menggelar partai kedua di stadion Artemio Franchi.
Sialnya, kota netral yang terpilih adalah Avellino. Kota kecil ini memang tidak memiliki klub besar. Tapi pendukung Fiorentina tetap tidak senang karena warga Avellino punya tradisi mendukung Juventus. Benar saja, tanpa dukungan publik setempat, Fiorentina dipaksa main imbang tanpa gol. Gelar pun melayang lagi.
Kasus serupa dialami Inter Milan pada musim 1997/1998. Saat itu, kiper Nerazzurri Gianluca Pagliuca bergegas mendekati wasit Piero Ceccarini dan memprotes keras keputusan yang baru ditetapkannya. Tapi Ceccarini tidak peduli. Hadiah penalti tetap diberikan kepada Juventus menyusul pelanggaran yang dilakukan bek Taribo West terhadap penyerang Juventus Alessandro Del Piero.
Del Piero memang gagal mengeksekusi penalti itu, tetapi Juventus tetap keluar sebagai pemenang lewat gol tunggal Del Piero juga lantaran mental para pemain Inter sudah ambruk. Bagi Inter, memenangi laga tersebut sangat penting. Karena saat itu selisih poin antara Inter dan Juventus terpaut sangat tipis, satu poin untuk keunggulan Juventus. Sementara tiga pertandingan lagi kompetisi akan usai.
Baca Juga : Fanatisme Semu Superter Sepak Bola
Akibatnya, bukan hanya kekalahan yang dialamai Inter. Tetapi juga sanksi yang diterima bintang mereka, Ronaldo Luis Nazario de Lima. Dia dilarang tampil dalam satu pertandingan lantaran meluncurkan protes keras terhadap wasit. Tanpa Ronaldo, gelar pun melayang ke Turin.
Sebuah kabar lalu muncul, Ceccarini mendapat hadiah dari bos mobil Fiat, perusahaan raksasa yang mengusai saham mayoritas Bianconeri. Pada musim itu bukan hanya Inter yang jadi korban kecurangan Juventus. Lazio, Roma dan Empoli juga merasakan hal sama.
Sekarang kita lompat dua musim ke 1999/2000. Sejak pekan kedua, Juventus sudah terjebak dalam stigma sebuah tim yang diistimewakan para wasit. Di Cagliari, sebuah gol yang secara sah dicetak penyerang Belgia, Luis Oliveira, ke gawang Juventus dianulir wasit. Selama 17 pekan pertama, Juventus juga tercatat sebagai satu-satunya tim yang tidak mendapat penalti.
Selanjutnya, mari kita menengok kepada peristiwa yang terjadi saat Juventus melawan Inter Milan di pekan ke-13 pada musim yang sama. Kiper Juventus saat itu, Edwin Van der Sar, yang menjatuhkan Ivan Zamorano pada menit ke-8 tidak dikeluarkan wasit. Saat itu Juve sudah unggul 1-0. Kok, bisa ya?
Pada laga sebelumnya melawan Perugia. Penyerang Juventus Filippo Inzaghi dihadiahi penalti setelah didorong oleh pemain lawan di luar kotak penalti, bukan di dalam. Sementara pada saat berbarengan, Simone Inzaghi, saudara kandung Pippo yang berkostum Lazio, dijatuhkan di area penalti dalam laga tandang di Reggina tidak diberikan penalti. Untungnya, di akhir kompetisi Lazio yang menyabet Scudetto.
Banyak bukti mengenai kolusi wasit yang dilakukan Juventus, tetapi tak ada yang berani mengungkapnya. Sebab, keluarga Agnelli, pemilik Juventus memiliki kekuasaan yang sangat besar di Italia. Selain taipan kondang di bidang otomotif dengan mobil Fiat-nya, ia juga pemilik dua harian olahraga terkemuka Italia La Stampa dan Corriere della Sera.
Ancaman ditembak mati sering digunakan untuk menakut-nakuti pihak yang ingin membongkar borok ini. Seorang reporter televisi setempat yang merekam pernyataan penyerang Inter Milan Ronaldo setelah timnya dicurangi Bianconeri di musim 1997/1998 bahkan diancam dibunuh begitu ia hendak keluar stadion dengan mikrofon di tangan.
Foto: Twitter @juventusfcen
Era pasca-calciopoli
Di laga Piala Super Italia 2012, Bianconeri kembali berulah. Mereka mengalahkan juara Coppa Italia 2011/2012 Napoli 4-2 secara kontroversi di mana dua pemain Napoli, Goran Pandev dan Juan Camilo Zuniga, serta pelatih Walter Mazzari mendapat kartu merah. Padahal saat bermain dengan 11 orang hingga menit ke-73, skor masih imbang 2-2.
Kontroversi ternyata menjangkit ke perhelatan kompetisi 2012/2013 ketika di partai pembuka Juventus menang 2-0 atas Parma secara kontroversial. Kontroversi pertama, saat wasit memberi Juventus hadiah penalti menyusul pelanggaran terhadap Stephan Lichtsteiner. Meski eksekusi tersebut tak berujung gol, kubu Parma menilai penalti tak layak diberikan karena Lichtsteiner sudah lebih dulu terperangkap offside sebelum akhirnya dijatuhkan.
Kontroversi lainnya, terkait gol kedua yang dibuat Andrea Pirlo. Tendangan bebas yang dilepaskan playmaker Italia itu sebenarnya masih bisa ditangkap kiper Antonio Mirate, tapi karena penyelamatan dianggap dilakukan di belakang garis gawang wasit pun menyatakan gol. Pemain Parma sempat melakukan protes, tapi wasit bertahan pada pendiriannya.
Di pekan kedua, kontroversi kembali mengiringi Juventus. Kini giliran Udinese yang menjadi korban. Kartu merah yang diterima kiper Zeljko Brkic di menit ke-11 membuat La Vecchia Signora dengan nyaman menggilas I Zebratte 4-1.
Kartu merah kontroversial itu berawal saat Pirlo memberi Sebastian Giovinco umpan di area kotak penalti Udinese. Giovinco yang berhasil melewati penjagaan dua bek lawan terpaksa dihentikan Brkic. Menurut pandangan wasit Paolo Valeri, Brkic bukan menghadang bola tapi menangkap kaki Giovinco sehingga layak diganjar kartu merah. Saat itu pertandingan baru berjalan 11 menit.
Ini belum termasuk hukuman kontroversial yang diberikan wasit kepada Gonzalo Higuain saat masih membeli Napoli pada musim 2015/2016 dan gol pemain AC Milan Sulley Ali Muntari ke gawang Juventus yang tidak disahkan wasit pada musim 2011/2012.
Andai Chiellini mau mengingat semua peristiwa ini, mungkin dia akan menarik omongannya. Dan buat kita para penonton layar kaca, semoga tidak berlebihan menanggapi peristiwa ini. Bagaimanapun, bagi penonton seperti kita, kontroversi adalah salah satu hal yang membuat sepak bola menjadi indah.
Baca Juga : Hoaks Terbesar dalam Sepak Bola
Foto: Twitter @RMadridinfo
Sumber dan referensi:
Buku Sepak Bola Italia (M. Kusnaeni, 1998), Buku Panduan Liga Italia Serie A 1998/1999 dan 1999/2000, Majalah Liga Italia, Majalah Sportif, Majalah Hai, Tabloid Bola, Tabloid Gema Olahraga, Tabloid Libero, Harian La Gazzetta dello Sport, Buku European Football-A Fan’s Handbook, Buletin Hola! Fiorentina (Media Komunikasi Ultras Viola), Football Italia, Sky Sport Italia.