Mendalami Perilaku Belanja Jelang Lebaran

| 15 Jun 2018 07:09
Mendalami Perilaku Belanja Jelang Lebaran
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - "Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama." Masih ingat lagu anak tahun 90-an itu enggak, lagu Dea Ananda yang judulnya Baju Baru?

Sadar enggak, lagu itu ternyata menggambarkan bagaimana budaya beli pakaian baru sangat lekat dengan perayaan hari Lebaran di tengah masyarakat Indonesia, lho! Masyarakat Indonesia, umat muslim khususnya mengambil momen lebaran untuk membeli berbagai macam pakaian baru.

Riset pengamatan yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRI) mengungkap bahwa transaksi pembelian produk pakaian jelang Lebaran meningkat signifikan dibandingkan bulan-bulan biasanya.

Dilansir dari Antara, Ketua APRI Tutum Rahanta menyatakan bahwa tingkat ritel untuk produk pakaian memiliki permintaan yang besar, hingga dua sampai tiga kali lipat. “Kenaikan harga untuk makanan berkisar 50 persen, pakaian mampu mencapai 300 persen,” ujar Tutum.

Kenaikan tersebut, kata Tutum dipicu oleh tingginya keinginan masyarakat untuk menggunakan pakaian baru di hari Lebaran. Selain sebagai bentuk konsumerisme, secara sosial, membeli pakaian dapat dilihat sebagai bentuk aktualisasi diri.

Menurut penelitian berjudul Motivasi Masyarakat Muslim Indonesia dalam Berbelanja Pakaian, Kendaraan, Mebel, dan Perhiasan Emas Menjelang Hari Raya Idul Fitri (2013) yang dilakukan Alfitrahmat Saputro, perilaku seseorang berbelanja jelang Lebaran nyatanya terasosiasi dengan gambaran-gambaran akan pandangan orang lain.

“Saat mudik dan berkumpul bersama handai taulan di kampung, pengekspresian diri dapat dilakukan dengan cara menggunakan produk-produk yang dianggap mampu menaikkan gambaran dirinya dihadapan orang lain," tulis Alfitrahmat.

Motif ini sering kali terasosiasi dalam bentuk pengangkatan status sosial agar dianggap lebih mapan. Jadi, terkadang memang lebih sekadar karena pemenuhan keinginan semata.

Namun, dalam penelitian ini Alfitrahmat juga mengungkap alasan teologi, di mana belanja barang baru dimaknai sebagai aktualisasi dari semangat Idulfitri itu sendiri: menyucikan diri.

Nah, simbolisasi kelahiran baru setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa itu nyatanya dapat dimaknai secara kondisi fisik, yang salah satunya adalah menggunakan pakaian baru ini.

Konsumerisme mengakar

Dari sisi dunia usaha, para pelaku ritel membuka ruang sangat besar bagi para konsumennya untuk membeli barang yang mereka inginkan. Tiap tahunnya, jauh-jauh sejak bulan Ramadan, berbagai perusahaan ritel pakaian beradu strategi promosi demi meraup untung sebesar-besarnya.

Menariknya, di waktu seperti ini, sekat yang membatasi para konsumen dengan berbagai kelasnya justru terhapus. Dengan kata lain, konsumen berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah pun berani meniru gaya konsumsi konsumen menengah ke atas.

Triyono Lukmantoro, akademisi Universitas Diponegoro, dalam penelitian berjudul Ritual Hari Raya Agama: Histeria Konsumsi Massa dan Khotbah Industru Budaya (2004) menyatakan bahwa aktivitas berbelanja jelang Idul Fitri telah masuk pada ranah konsumerisme yang mengakar.

“Produsen atau pihak pedangan secara sengaja membuat taktik tertentu untuk merangsang masyarakat agar selalu melakukan pembelian”, tulis Triyono.

Hal itu dibuktikan oleh pesta potongan harga dalam bentuk "midnight sale", "flash sale" atau iming-iming lain yang menggiurkan orang-orang itu. Iya, orang-orang itu, sebab aku sih enggak. Kecuali diskonnya, diskon mainan atau game console. (He he he)

Padahal, kalau mau dipikir sedikit, logika pasar terlihat jelas dalam kesempatan seperti ini. Bagaimana pasar mengambil momentum pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) sebagai momentum ambil untung besar dari banyak orang.

Jadi, ya jangan kaget kalau THR-mu habis dengan cepat. Sebab, pola itu memang sengaja dibentuk oleh pasar. Makanya, akan sangat baik jika kamu memahami pola tersebut, supaya enggak jatuh-jatuh amat andaikan kena jebakan betmen konsumerisme.

Tags : lebaran