IDAI Catat 131 Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak, Melonjak Agustus hingga September

| 11 Oct 2022 21:30
IDAI Catat 131 Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak, Melonjak Agustus hingga September
Ilustrasi anak (Foto: pixabay)

ERA.id - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat 131 kasus gangguan ginjal akut misterius yang tidak diketahui penyebabnya (unknown origin) atau Acute Kidney Injury (AKI) Progresif Atipikal pada periode Januari hingga Oktober dari 14 provinsi di Indonesia.

"Per 10 Oktober, yang masuk ke kami, tentu saja ini mungkin tidak representatif seluruh Indonesia, tetapi data yang melaporkan ke IDAI dan berhasil kami kumpulkan dari IDAI cabang itu ada kumulatif 131 kasus," kata Ketua Pengurus Pusat IDAI dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) dalam konferensi pers virtual di Jakarta dikutip dari Antara, Selasa (11/10/2022).

Keempat belas provinsi yang telah melaporkan kasus gangguan ginjal akut misterius antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Kepulauan Riau, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K) mengatakan kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) tersebut mulanya dilaporkan muncul hanya satu atau dua per bulan pada Januari hingga Juli. Namun kasus menjadi melonjak pada Agustus hingga September.

"Di Agustus itu kami catat ada 35 kasus. Kemudian di September meningkat menjadi 71 (kasus). Di Oktober ini, sampai tanggal 11 sembilan kasus," ujarnya.

IDAI menyatakan gangguan ginjal akut tersebut sebagai penyakit yang tidak diketahui penyebabnya (unknown origin) karena sesungguhnya kondisi gangguan ginjal akut umumnya memiliki sejumlah penyebab.

"Pada anak-anak ini (yang menderita gangguan ginjal akut misterius), kami tidak mendapatkan penyebab yang biasanya timbul pada anak-anak yang mengalami AKI,” katanya.

Piprim mengatakan awalnya IDAI menduga kasus tersebut terkait dengan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) karena COVID-19. Namun berdasarkan diskusi dan analisis, kasus yang ditemukan ternyata terdapat pula anak yang tidak positif COVID-19 sebelumnya.

Eka menambahkan, berdasarkan data-data yang dikumpulkan IDAI, sejauh ini pihaknya juga belum menemukan bahwa gangguan ginjal akut misterius ini terkait dengan obat-obatan tertentu seperti yang terjadi di Gambia, Afrika Barat.

"Sudah dicek mengenai peredaran obat-obat. Dan obat-obat yang diproduksi di India itu tidak beredar di Indonesia. Bahan baku obat Indonesia juga tidak ada yang berasal dari India. Tapi ini mungkin nanti akan lebih detail oleh Kemenkes karena mereka yang menginvestigasi," katanya.

IDAI memperkirakan angka kematian kasus gangguan ginjal akut misterius cukup tinggi. Akan tetapi, Eka menegaskan pihaknya tidak bisa memastikan persentasenya mengingat IDAI adalah organisasi profesi dan bukan lembaga resmi untuk mengumpulkan data di seluruh provinsi.

“Kami berusaha mengumpulkan data (dari IDAI cabang), tetapi sebetulnya data itu hanya sukarela. Kami tidak bisa memaksa juga kepada semua orang yang punya pasien (gangguan ginjal akut) untuk memasukkan data ini,” kata Eka.

Ia berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau setidaknya Dinas Kesehatan di masing-masing provinsi dapat memberikan data yang lebih akurat sehingga IDAI mengetahui seberapa besar masalah yang terjadi.

Di sisi lain, Eka mengatakan sejauh ini Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta juga telah banyak membantu untuk berbagai pemeriksaan terhadap penyebab gangguan ginjal akut misterius.

Sementara itu, Piprim menegaskan gangguan ginjal akut misterius ini merupakan masalah yang perlu terus didalami lebih lanjut. Ia pun mengimbau agar masyarakat tidak panik berlebihan dan tetap waspada apabila anak menunjukkan gejala.

Rekomendasi