ERA.id - Terbukanya peluang sistem proporsional tertutup atau memilih partai politik akan kembali digunakan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menuai banyak penolakan. Hal ini seiring dengan adanya gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem proporsional terbuka atau memilih calon legislatif.
Mayoritas partai politik menilai, proporsional tertutup justru menandakan kemunduran demokrasi. Meski begitu, ada pula partai yang mendukungnya.
PDI Perjuangan merupakan satu-satunya partai politik yang mendukung sistem proporsional tertutup. Sekeretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, sikap tersebut merupakan keputusan Kongres V PDIP.
"Dalam pandangan PDI Perjuangan dengan keputusan Kongres ke-V, sistem pemilu dengan proporsional tertutup sesuai dengan perintah konstitusi di mana peserta Pileg adalah parpol," ujar Hasto.
Menurutnya, dengan sistem proporsional tertutup akan mendorong proses kaderisasi di partai politik dan bisa mencegah terjadinya liberalisasi politik. Selain itu, kecurangan dalam pemilu juga akan berkurang.
Sistem proporsional tertutup juga dinilai akan lebih menghemat biaya pemilu di tengah berbagai masalah ekonomi.
"Sehingga akan menghemat secara siginfikan biaya pemilu sekiranya proporsional tertutup itu ditetapkan," kata Hasto.
Meski begitu, PDIP tidak ikut campur untuk mengubah sistem pemilu tersebut. Hal itu menjadi kewenangan DPR RI sebagai pembuat undang-undang.
Adapun salah satu penggugat terkait sistem pemilu proporsional terbuka di MK adalah kader PDIP bernama Demas Brian Wicaksono.
"Tetapi, hal itu tentu saja menjadi ranah dari DPR RI terkait dengan hal tersebut," kata Hasto.
Sikap PDIP tak mendapat dukungan dari partai-partai politik lainnya. Partai NasDem misalnya, tegas mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terutup tidak sejalan dengan kebijakan partainya.
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya juga membantah ikhwal ada kader partainya yang menjadi salah satu penggugat. Dia menjelaskan, bahwa Yuwono Pintadi yang melakukan uji materi UU No 7 tahun 2015 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, status keanggotaanya sudah berakhir sejak 2019. Dengan begitu, gugatan tersebut sifatnya pribadi bukan atas nama Partai NasDem.
"Jika ada hal-hal strategis dan politis secara garis partai sudah jelas, kita menolak sistem Pemilu proporsional tertutup. Oleh karenanya jika ada orang yang mencatut Partai NasDem atas kepentingan individu tertentu jelas ini melanggar kebijakan partai," tegas Willy.
Partai NasDem, kata Willy, menilai bahwa sistem proporsional terbuka adalah bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi.
Sebab, memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral.
"Sistem proporsional terbuka adalah antitesis dari sistem yang sebelumnya yakni sistem proporsional tertutup," tegas Willy.
Senada, Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan sistem pemilu legislatif proporsional terbuka selayaknya dipertahankan karena dinilai lebih representatif dan demokratis.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang diberlakukan sejak Pemilu 2009 merupakan sebuah koreksi negativitas dari sistem tertutup terutama dalam upaya memperkuat konstituensi dan legitimasi antara anggota legislatif terpilih dengan konstituennya.
"Dengan demikian sistem terbuka jauh lebih demokratis daripada sistem tertutup," kata Jazuli.
Di samping itu, rakyat bisa berinteraksi dan mengenal langsung calon anggota legislatif yang akan mereka pilih. Bisa membangun kontrak politik dan mengawal kinerja mereka selama lima tahun. Setelah itu, pada pemilu berikutnya rakyat bisa mengevaluasi apakah wakil mereka tersebut layak dipilih kembali atau tidak.
"Inilah makna representasi rakyat yang sesungguhnya. Rakyat memiliki kedaulatan untuk memilih, mengawal, dan mengevaluasi wakilnya. Derajat representasi juga jauh lebih kuat dan mengejawantahkan istilah yang kita kenal dalam sistem proporsional terbuka yaitu opovov atau one person, one vote, one value," tegas Jazuli.
Sedangkan Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay terang-terangan menyebut bahwa mayoritas partai politik dan masyarakat masih menginginkan sistem proporsionalitas terbuka.
Mesikipun tak memungkiri sistem proporsional terbuka memiliki kelemahan, namun bukan berarti harus menggunakan kembali sistem proporsional terutup. Salah satu kelemahan yang dimaksud yaitu terkait politik uang dalam pelaksanan pemilu.
"Katanya, sistem proporsionalitas terbuka akan membuka peluang money politics. Jika itu benar, bukan berarti sistemnya yang salah. Tetapi, instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang perlu ditingkatkan," kata Saleh.
Politik uang, kata Saleh, tidak hanya terjadi di sistem proporsional terbuka, tetapi juga dalam penerapan proporsional tertutup. Bahkan bisa terjadi di lingkaran partai politik dan di masyarakat.
"Caleg-caleg kan otomatis berburu nomor urut. Pasti ada kontestasi di internal partai. Di titik ini, ada peluang money politic ke oknum elite partai untuk dapat nomor bagus," ujarnya.
Politik uang di kalangan elite partai, menurutnya yang justru dinilai lebih berbahaya.
"Money politic ini menurut saya lebih bahaya, tertutup dan tidak kelihatan. Hanya orang tertentu yang punya akses," kata Saleh.