ERA.id - Akademisi sekaligus dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengatakan sebagian publik menginginkan kepemimpinan Jokowi dilanjutkan Ganjar Pranowo.
"Saat ini publik menginginkan sosok pemimpin nasional yang menawarkan meneruskan program presiden sebelumnya," kata Mada, Kamis (5/1/2023).
Hal tersebut disampaikannya menanggapi hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang mengungkapkan elektabilitas sejumlah tokoh nasional yang diperkirakan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dalam survei simulasi pasangan yang digelar 1-6 Desember tersebut, Ganjar-Erick memperoleh elektabilitas 38,6 persen atau unggul dari pasangan Anies-AHY yang meraih elektabilitas 35,4 persen, dan Prabowo-Puan 19,8 persen.
"Tingginya elektabilitas pasangan Ganjar Erick lantaran publik masih menginginkan sosok kepemimpinan bangsa, seperti Presiden Jokowi," ujar dia.
Ia mengatakan fenomena calon pemilih saat ini berbeda dari Pemilu 2014. Saat itu, pemilih menginginkan perubahan gaya kepemimpinan nasional. Misalnya dekat dengan masyarakat, sederhana, ramah, dan kerja nyata.
Sukmajati menilai kemungkinan publik tidak suka dengan gaya kepemimpinan yang menawarkan kebijakan yang berbeda atau mendekonstruksi kebijakan Presiden Jokowi selama ini. Di satu sisi, gaya kepemimpinan yang menawarkan untuk meneruskan program Presiden Jokowi ada di pasangan Ganjar-Erick.
Survei IPI juga menunjukkan saat ini pemilih tidak menginginkan calon pemimpin yang sekadar menjual kepopuleran atau tidak punya visi misi jelas untuk memajukan bangsa, ujar dia.
Menurutnya, jika Indonesia ingin mewujudkan programatik politik (politic programmatic), maka harus didukung seluruh pihak, seperti partai politik, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) serta calon pemilih. Harapannya Pilpres 2024 tidak sekadar menjual nama saja, namun adu program, visi dan gagasan.
Ia berpendapat kunci mempertahankan elektabilitas capres dan cawapres ditentukan masing-masing kandidat. Jika calon pemimpin tidak melakukan aksi yang menimbulkan reaksi negatif, maka diyakini hasil survei Indikator Politik Indonesia tak akan jauh berbeda dengan hasil akhir Pilpres 2024.
"Naik atau turunnya elektabilitas capres-cawapres ditentukan mereka sendiri. Kita bisa belajar dari pengalaman Pilkada DKI ketika Ahok kepeleset dengan membawa sentimen agama," ujar lulusan National Graduate Institute for Policy Studies Tokyo, Jepang tersebut.
Oleh karena itu, setiap pasangan capres dan cawapres harus pintar dan hati-hati mengelola isu yang sedang berkembang.