ERA.id - PT PLN (Persero) membeberkan beberapa upaya untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan dekarbonisasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Pertama, pembatalan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru yang sebelumnya direncanakan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028.
"Kami juga sudah melakukan pembatalan PPA (power purchase agreement) sekitar 1,3 GW untuk PLTU yang artinya juga avoiding sekitar 170 juta metrik ton Co2 selama 25 tahun," ungkap Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI dipantau secara daring dikutip dari Antara pada Rabu (5/7/2023).
Berikutnya, lanjut Darwaman, PLN juga telah mengganti 1,1 GW PLTU dengan EBT dan 800 megawatt (MW) PLTU dengan pembangkit gas.
"Kami juga mengganti 1,1 GW PLTU dalam fase perencanaan dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan, yang artinya ini juga mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 150 juta ton selama 25 tahun dan kami juga mengganti sekitar 800 MW PLTU dengan pembangkit gas ini mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 60 persen dibanding dengan menggunakan batu bara," kata dia.
Kemudian, PLN melakukan co-firing biomassa pada 37 PLTU dan akan mencapai 52 PLTU pada 2025.
Selanjutnya, PLN juga merencanakan dan mengembangkan 21 GW pembangkit EBT dalam The Greenest RUPTL.
"Kemudian dalam proses ini kami merancang RUPTL yang paling hijau dalam sejarah PLN dan juga dalam sejarah Indonesia, yaitu 21 GW penambahan pembangkit energi baru terbarukan atau 51,6 persen penambahan pembangkit adalah berasal dari energi baru terbarukan," ucap Darmawan.
PLN juga melakukan program dedieselisasi 1 GW, roll-out smart grid di beberapa pulau, menstimulasi konsumsi EBT melalui green energy as a service, dan memperluas ekosistem kendaraan listrik, di mana sampai saat ini ada sekitar 600 unit stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).