ERA.id - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi atau nota keberatan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo.
“Mengadili, menyatakan keberatan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima,” kata Hakim Ketua Suparman dalam persidangan pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (18/9/2023).
Majelis berpendapat bahwa alasan keberatan penasihat hukum Rafael Alun tidak beralasan hukum, karena surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memuat syarat formal dan materi sesuai ketentuan yang berlaku.
“Bahwa yang substansi di sini adalah surat dakwaan penuntut umum sudah memuat uraian mengenai waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti dan tempat terjadinya tindak pidana atau locus delicti,” kata Suparman.
Dalam nota keberatannya, penasihat hukum Rafael mendalilkan bahwa dugaan pelanggaran yang dilakukan kliennya harus diperiksa terlebih dahulu oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan dibuktikan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebab Rafael berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Namun, menurut majelis hakim, alasan tersebut tidak dapat diterima karena rujukan yang didalilkan penasihat hukum Rafael berbeda ruang lingkupnya dengan tuntutan JPU KPK.
“Bahwa hemat majelis hakim, alasan keberatan penasihat hukum terdakwa tersebut tidak dapat diterima karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menjadi rujukan alasan keberatan berbeda ruang lingkupnya dengan tindak pidana korupsi yang diuraikan penuntut umum dalam surat dakwaannya terhadap terdakwa,” jelas Suparman.
Selain itu, penasihat hukum terdakwa juga beralasan bahwa pemeriksaan perkara pidana Rafael tidak dapat diterima atau setidaknya ditangguhkan karena terdapat sengketa prayudisial berdasarkan pemeriksaan perkara TUN.
Terkait hal tersebut, majelis hakim menegaskan bahwa proses hukum perkara TUN tidak menghalangi perkara pidana.
“Bahwa hemat majelis hakim, alasan keberatan penasihat hukum terdakwa tersebut tidak dapat diterima karena proses hukum perkara TUN tidak menghalangi perkara pidana. Hal ini disebabkan oleh kompetensi PTUN berbeda dengan kompetensi pengadilan tindak pidana korupsi,” terang Suparman.
Atas tidak diterimanya nota keberatan tersebut, pemeriksaan perkara atas nama Rafael Alun tetap dilanjutkan. Adapun agenda persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi.
“Menimbang bahwa karena keberatan penasihat hukum terdakwa tidak berlandaskan hukum, maka keberatan tersebut patut dinyatakan tidak dapat diterima dan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan,” ucap Suparman.
Sebelumnya, pada pembacaan nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (6/9), penasihat hukum Rafael Alun meminta majelis hakim mengabulkan nota keberatan kliennya.
Penasihat hukum juga meminta dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya dinyatakan gugur. Pihak Rafael Alun menilai dakwaan tersebut telah kedaluwarsa.
Dalam perkara ini, JPU Komisi Antirasuah mendakwa Rafael Alun Trisambodo menerima gratifikasi senilai Rp16,6 miliar.
JPU KPK mengatakan gratifikasi itu diterima Rafael Alun bersama dengan istrinya, Ernie Meike Torondek, yang merupakan salah seorang saksi dalam perkara dugaan penerimaan gratifikasi itu.
"Terdakwa bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek secara bertahap sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan bulan Maret 2013 telah menerima gratifikasi berupa uang, seluruhnya sejumlah Rp16.644.806.137," kata JPU KPK Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (30/8).
Selain itu, Rafael bersama istrinya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai mencapai Rp100 miliar.