ERA.id - DPR RI memutuskan untuk menunda pengesahan revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Namun penundaan itu bukan karena surat permintaan dari pemerintah.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, penundaan pengesahan itu berdasarkan kesepatan antara sembilan fraksi.
"Ini bukan karena surat yang dikirim (pemerintah). Memang dari kemarin sudah ada kesepakatan dari fraksi-fraksi untuk menunda sidang paripurna atau diparipurnakannya pengambilan keputusan revisi UU MK," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Alasan sembilan fraksi di DPR RI menyepakati menunda pengesahan, karena untuk menghindari pandangan negatif publik terhadap revisi UU MK.
Dasco mengakui, ada sentimen negatif dari publik terhadap pembahasan revisi UU MK. Salah satunya soal anggapan revisi perundang-undangan itu untuk mempolitisasi hakim konstitusi yang masih menjabat.
"Ini kawan-kawan juga mempertimbangkan anggapan bahwa ini kemudian UU ini akan dipolitisasi dan lain-lain. Sehingga kemudian salah satu pertimbangannya bahwa teman-teman sepakat untuk menunda revisi UU MK," kata Dasco.
Ketua harian Partai Gerindra itu membantah bahwa DPR RI menyusun revisi UU MK untuk merugikan pihak tertentu. Hal itu dibuktikan dengan ditandatanganinya keputusan tingkat I atas revisi UU MK antara pemerintah dan DPR RI.
"Bahwa kemudian ada maksud untuk kawan kawan di DPR merugikan salah satu pihak, padahal tidak demikian," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah telah mengirimkan surat kepada DPR RI berisi permintaan supaya tidak mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
"Saya hari ini sudah berkoordinasi dengan Menkumham, sudah mengirimkan surat ke DPR. Tadi sudah diantar, sudah diterima oleh DPR, bahwa kita (pemerintah) minta agar itu (revisi UU MK) tidak disahkan di sidang (paripurna)," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Dia menjelaskan bahwa pemerintah belum menyetujui revisi UU MK, karena masih keberatan dengan salah satu poin perubahannya, yaitu peralihan masa jabatan hakim konstitusi 10 tahun dan maksimal pensiun 70 tahun.
Mahfud menjelaskan, pemerintah menilai jabatan hakim konstitusi yang saat ini masih menjabat seharusnya dihabiskan terlebih dahulu masa jabatannya, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya.
Apabila pemerintah mengikuiti perubahan seperti rancangan dari DPR RI, maka akan merugikan hakim yang sedang menjabat. Karena tidak sesuai dengan hukum transisional.
"Nah, kita usul bertahan di situ. Karena itu lebih adil berdasar hukum transisional, di dalam hukum transisonal itu isinya aturan peralihan itu kalau diberlakukan terhadap jabatan harus menguntungkan, atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subjek yang bersangkutan," kata Mahfud.