ERA.id - Pengamat politik PolMark Research Centre Eep Saefulloh Fatah menilai, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 merupakan pesta demokrasi paling brutal pasca reformasi.
"Pilpres ini adalah pilpres yang paling brutal sepanjang sejarah reformasi," kata Eep dalam acara Ngobrolin People Power 14 Februari 2024 Bersama Masyarakat Jurdil di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).
Penyebabnya, Presiden Joko Widodo dianggap terlalu vulgar mencampuri urusan politik dengan menunjukan keberpihakkannya. Apalagi, belakangan Jokowi sudah menyatakan presiden boleh berkampanye.
"Sepanjang sejarah reformasi terutama sejak pilpres langsung 2004, di 2024 pertama kali kita menyaksikan presiden cawe-cawe dengan amat sangat jauh. Saya tidak perlu berdebat tentang ini karena Pak Jokowi sudah mengakui," kata Eep.
Dia lantas menyoriti sikap Jokowi yang dinilainya seperti orang yang ingin menang tapi tidak dengan cara yang demokratis. Mulai dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang belakangan dinilai cacat etik.
Eep menilai seharusnya Pilpres 2024 ini mengulang peristiwa 2014, di mana pemilihan tidak ada petahana.
"Ketika ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi berjalan ada yang salah dengan sistem, mekanisme, aturan insitusi politik yang kita miliki. Ini harus dibenahi," jelas Eep.
Karena itu, penting bagi pemerintah ini untuk memperketat aturan. Menurut dia, gagasan yang sudah berkembang antara lain disampaikan Peneliti Hukum Tata Negara Indonesia Zainal Arifin Mochtar bahwa Indonesia harus punya undang-undang yang mengatur lembaga kepresidenan yang membatasi kekuasaan presiden pada masa krusial.
"Kalau tidak dibatasi, presiden yang sedang berkuasa untuk menang yang kedua kali. Ternyata presiden yang sudah tidak bisa dipilih lagi bisa melabrak banyak aturan kemudian membahayakan kesehatan pemilu dan demokrasi. Maka harus ada pembatasan kekuasaan presiden," pungkasnya.