ERA.id - Anggota DPR RI, Fadli Zon, mengatakan bahwa baru di Pemilu 2024 ini, dia mendengar para akademisi mengkritik pemilu digelar di Indonesia sejak 25 tahun lalu.
"Baru belakangan ini ada akademisi mengkritik, saya tunggu 25 tahun, tapi nggak ada kritiknya juga," kata Fadli Zon pada diskusi "Pemilu Legislatif: Bijak Memilih Pasti Terwakili" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (12/2/2024).
Pada Pemilu 2019, dia mengakui bahwa dirinya kerap mengkritik situasi sosial politik. Pada saat itu, dia masih berada di kubu oposisi pemerintahan.
Saat itu, menurutnya ada sekitar 800 Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal. Konon, kata dia, mereka meninggal karena kelelahan ketika bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Bahkan ketika 800 KPPS ada yang meninggal, kita tidak dengar suara akademisi, tahun 2019 itu 800 lebih petugas KPPS meninggal dunia," kata dia.
Dia pun menilai Pemilu 2024 ini cenderung lebih damai dan lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebab, menurutnya Pilpres 2024 ini ada tiga pilihan.
Sedangkan sebelumnya pada Pilpres 2019 menurutnya hanya diikuti oleh dua kubu, sehingga bersifat konfrontatif.
Selain itu, menurutnya proses pemungutan suara di TPS pada Pemilu 2024 ini akan berlangsung lebih cepat karena penerapan sistem yang baru.
"Perhitungannya relatif lebih cepat, kalau dulu kan harus disalin satu per satu, yang namanya C1, sekarang kan C Hasil, dan ada printer di setiap TPS," kata dia.
Dengan begitu, menurutnya para petugas KPPS akan lebih siap dan bakal memiliki waktu untuk istirahat karena proses penghitungan suara yang lebih cepat. Sehingga menurutnya hasil pemungutan suara pun akan cepat diketahui.
"Yang lalu itu bisa sampai dua minggu, kalau sekarang mungkin bisa hitungan hari. Kalau dikatakan, saya optimis pemilu kali ini relatif lebih damai," kata dia.
Faktanya
Setelah ditelusuri, ucapan Fadli Zon itu keliru. Faktanya, dari laman resmi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, dicantumkan kajian terkait masalah yang dibahas Fadli.
Dalam laman itu tertulis info dimuat pada 25 Juni 2019. Berikut potongan isi artikel yang dimuat. Adapun kabar lengkapnya bisa dilihat langsung via website UGM.
"Data dari KPU RI pada tanggal 4 Mei 2019 menyebutkan bahwa jumlah petugas pemilihan umum (Pemilu) 2019 yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara, petugas yang sakit mencapai 3.788 orang.
Merespons kejadian tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan inisiasi dari Fakultas ISIPOL, Fakultas KKMK, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Geografi telah menyelenggarakan kajian lintas disiplin untuk mengkaji hal tersebut.
Fokus kajian ini adalah mengidentifikasi faktor risiko yang menyebabkan kesakitan dan kematian pada Petugas Pemilu dengan memperhatikan sebaran kematian dan situasi sosial-politik lokal. Kajian ini merupakan piloting dengan mengambil lokasi di D.I.Yogyakarta.
Menurut data KPU DIY per 6 Mei 2019, ada 12 petugas meninggal dan 65 petugas sakit. Penyelenggaraan pemilu seharusnya tak memunculkan masalah sakit dan meninggalnya petugas, sehingga kejadian di atas harus dianggap sebagai sebuah kejadian luar biasa (KLB). Meskipun KLB tentu saja tidak direncanakan, tapi sebenarnya dapat diantisipasi.
Kajian ini menggunakan metode campuran (mixed-methods), yaitu kuantitatif dengan metode survei dan kualitatif dengan metode deskriptif. Survei dengan wawancara kuesioner dilakukan di seluruh kabupaten-kota yang ada di D.I. Yogyakarta, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Metode deskriptif dilakukan melalui observasi, studi pustaka, dan wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara pada beberapa informan kunci.
Populasi survei terbagi menjadi dua, yaitu Perwakilan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Petugas Pemilu (KPPS; PPS & PPK di level kelurahan/ kecamatan/ kabupaten). Ada sebanyak 11.781 TPS di DIY dan sebanyak 400 TPS terpilih menjadi sampel dengan menggunakan teknik cluster random sampling.
Sampel tersebut berfungsi untuk mengestimasi rerata beban kerja Petugas Pemilu. Secara spesifik, kajian ini juga menggunakan studi kasus kontrol untuk membandingkan kondisi kerja antara petugas yang sakit dengan petugas yang sehat, sehingga terpetakan faktor risiko yang turut menyebabkan kesakitan di antara petugas.
Data yang digali antara lain beban kerja, riwayat penyakit selama satu tahun, gangguan kesehatan dalam 6 bulan terakhir, kebiasaan-kebiasaan berolahraga, merokok, konsumsi suplemen dan kopi, persepsi adanya tekanan dan ancaman, serta kecemasan yang dialami selama bertugas dalam kegiatan Pemilu.
Untuk Petugas Pemilu yang meninggal, kajian ini melakukan otopsi verbal melalui wawancara terhadap anggota keluarganya. Otopsi verbal telah dilakukan terhadap 10 dari 12 kasus kematian di antara Petugas Pemilu di DIY.
Otopsi tidak dilakukan pada satu petugas yang meninggal karena bunuh diri, dan pada petugas yang keluarganya menolak untuk diwawancarai.
Otopsi dilakukan oleh tim dokter dari Departemen Kedokteran Forensik FK-KMK UGM. Hasil otopsi verbal dianalisis oleh panel ahli yang beranggotakan tiga dokter spesialis forensik konsultan untuk menentukan kemungkinan penyebab kematian."