Jamaah Aolia Gunungkidul Jogja Ngaku Telpon Allah Tentukan Idul Fitri, Begini Respon MUI

| 08 Apr 2024 01:02
Jamaah Aolia Gunungkidul Jogja Ngaku Telpon Allah Tentukan Idul Fitri, Begini Respon MUI
Wakil Ketua Wantim MUI, Zainut Tauhid Sa'adi. (Antara)

ERA.id - Media sosial dihebohkan ucapan seorang Imam Masjid Aolia, KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo, atau yang akrab disapa Mbah Benu mengatakan bahwa keputusan merayakan lebaran Idul Fitri karena sudah berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. 

Pada Jumat (5/4/2024), ratusan Jamaah Masjid Aolia di Dusun Panggang III, Giriharjo, Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar shalat Idul Fitri 1445 Hijriah. 

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Wantim MUI, Zainut Tauhid Sa'adi mengimbau kepada umat Islam untuk selektif dalam memilih guru agama. Hal tersebut penting karena masalah agama adalah masalah yang sangat fundamental. 

"Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak umat Islam yang salah dalam memilih guru agama, sehingga mereka mengikuti ajaran agama yang tidak ada tuntunannya dalam syariat," kata Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima ERA di Jakarta, Minggu (7/4/2024). 

Misalnya, kata dia, jamaah Aolia di Gunung Kidul, DIY Jogjakarta yang telah menggelar Salat Idul Fitri, Jumat(5/4/2024) dan mengawali puasa, Kamis(7/3/2024), hal tersebut menunjukkan kekeliruan yang sangat nyata. 

"Meskipun ajaran Jemaah Aolia tidak dikatagorikan sebagai aliran sesat tetapi ajaran tersebut menyelisihi pendapat ulama mayoritas (mainstream) yang memiliki otoritas keilmuan dan keulamaan, sehingga ajaran tersebut bisa disebut menyimpang," ujarnya. 

Ia menjelaskan, ketetapan pemimpin jamaah Aolia dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal tidak menggunakan dalil atau dasar hukum yang bisa dipertanggung jawabkan. Keyakinan jemaah Aolia tersebut tidak ada landasan syariat dan fiqih-nya sama sekali.

"Kepercayaan yang dipegang oleh pemimpin jemaah Aolia tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam," ujarnya. 

Kendati begitu, ia meminta kepada masyarakat agar tidak menghakimi mereka, karena bisa saja mereka tidak paham soal beragama. "Saya setuju bahwa kita tidak boleh menghujat atau mengolok-olok mereka, bisa jadi mereka berbuat seperti itu karena ketidak-tahuan atau karena kebodohan mereka dalam beragama," ujarnya.

Untuk itu sudah menjadi tugas MUI dan ormas Islam lainnya untuk mengingatkan dan memberikan pemahaman ajaran agama yang benar.

"Beragama itu harus berdasarkan sunah, tidak boleh hanya berdasarkan hawa nafsu atau selera pribadi pemimpinnya yang tidak memiliki otoritas ilmu agama," ujarnya. 

Rekomendasi