ERA.id - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengomentari isu dugaan gratifikasi yang menyeret nama putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep. Laode menyebut KPK seharusnya bisa menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut, meskipun Kaesang bukan pejabat publik.
"Iya, kan kalau KPK itu syaratnya harus penyelenggara negara. Iya kewenangan KPK. Kalau bukan penyelenggara negara dia agak sulit. Tapi misalnya ketika bisa dibuktikan bahwa semacam gratifikasi atau pemberian kepada dia memang mempengaruhi keputusan tertentu, itu kan bisa dilihat," ujar Laode kepada Era.id di Kantor Kemitraan, Jakarta, Jumat (30/8/2024).
"Kalau di KPK itu kan ada namanya bukti permulaan yang cukup. Jadi maksudnya itu kalau dari segi hukum ada banyak keterbatasan, tetapi masih ada jalan lain kalau misalnya ada bukti permulaan yang cukup bahwa ini sebenarnya berhubungan dengan penyelenggara negara atau untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain," lanjutnya.
Ia mengatakan dugaan gratifikasi sangat bisa ditelusuri, apalagi jika yang bersangkutan punya hubungan khusus dengan penyelenggara negara. Dalam hal ini, Kaesang sebagai putra presiden yang sedang menjabat.
"Jadi kalau misalnya KPK, atau polisi, atau kejaksaan itu harus membuktikan, yang dikenakan bukan kepada anaknya yang flexing, tetapi kepada orang tuanya. Kalau mau serius di sana," ungkap Laode.
Direktur Eksekutif Kemitraan itu juga menjelaskan beberapa kekurangan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang kini berlaku. Menurutnya, ada lima jenis tipikor yang belum terakomodasi dalam UU tersebut.
Pertama, illicit enrichment atau memperkaya diri sendiri dengan tidak sah. Kedua, harta yang tidak jelas asal-usulnya atau unexplained wealth. Ketiga, menyuap pejabat publik asing.
"Yang keempat, ini yang paling penting ini, suap di dalam private sector, jadi suap-menyuap dalam dunia usaha, dalam sektor swasta, itu belum ada," ujar Laode.
"Yang terakhir itu ada namanya trading in influence, yaitu memperdagangkan pengaruh. Jadi itu belum ada," lanjutnya.
Menurut Laode, dugaan penggunaan jet pribadi oleh Kaesang yang difasilitasi oleh pengusaha bisa masuk ke dalam kategori keempat dan kelima, yaitu suap-menyuap dalam sektor swasta dan trading in influence.
"Swasta ini kan bilang, 'Oke saya fasilitasi kamu pergi ke sana ya, tapi nanti kamu menggunakan pengaruhmu untuk perubahan kebijakan.' Apalagi kalau itu berhubungan dengan, misalnya, saya ini dekat dengan pejabat tertentu, atau saya anak dari seorang pejabat tertentu, wah itu kan lebih gampang. Sayangnya, itu undang-undangnya masih belum ada," ungkap Laode.
Sebelumnya, KPK menyebut bakal mengirimkan surat undangan kepada Kaesang untuk meminta keterangan soal dugaan gratifikasi berupa fasilitas pesawat jet pribadi.
"Suratnya sedang dikonsep, surat undangan," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (30/8/2024).
Alex menjelaskan meskipun saat ini Kaesang tidak termasuk sebagai penyelenggara negara, tetapi KPK bisa melakukan klarifikasi terhadapnya. Sebab, ia menyebut fasilitas yang diterima Kaesang patut diduga berhubungan dengan penyelenggara negara. Apalagi dengan status orang tua Kaesang sebagai presiden.
"Mengapa kami membutuhkan penjelasan dari saudara Kaesang terkait hal ini? Karena kami menduga patut diduga itu ada kaitannya dengan penyelenggara negara. Kan kita tahu orang tua dari Kaesang, seperti itu," jelas Alex.
"Meskipun seseorang itu bukan penyelenggara negara, tetapi kami menduga ada kaitannya dengan penyelenggara negara," sambungnya.