ERA.id - Peneliti senior Imparsial Al Araf menyinggung banyaknya prajurit TNI aktif yang mengisi jabatan sipil. Hal itu dinilai sudah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dari data yang dimilikinya, saat ini ada 2.500 prajurit TNI aktif di jabatan sipil. Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR terkait pembahasan revisi UU TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
"UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI jelas bahwa lembaga/kementerian hanya diduduki terbatas. Tapi praktiknya, data menyebutkan ada 2.500 prajurit duduk di jabatan sipil," kata Araf.
"Menurut saya sudah melampaui UU TNI. Apa implikasinya, ada pelanggaran terhadap UU TNI," sambungnya.
Dia lantas menyentil Komisi I DPR yang dinilainya kurang mengkoreksi perubahan dalam draf revisi UU TNI. Sebab, dalam perundangan yang berlaku saat ini, sudah jelas diatur berapa jumlah kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit TNI.
"Sebagai wakil rakyat komisi tugasnya mengoreksi dan sudah terlalu uu existing yang tidak memperbolehkan TNI di jabatan sipil," kata Araf.
Araf kemudian menyinggung pelanggaran UU TNI yang paling kontroversial, yaitu pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai sekretaris kabinet (seskab).
Pengangkatan Mayor Teddy bahkan sampai mengubah nomenklatur.
"Dan hal yang paling kontroversial adalah pengangkatan Mayor Teddy sebagai seskab yang diubah di bawah sekretaris militer karena sesakab jabatannya ditaruh di bawah militer wah perdebatan pelik dan kompleks jelaa melanggar UU TNI," ucapnya.
Menurutnya, penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil tak boleh dinormalisasi. Sebab, jika dibiarkan maka negara bakal mengarah ke otoritarianisme.
"Jangan lakukan normalisasi militer di dalam kehidupan sipil di negara demokrasi, karena kalau itu kita akan mengarah ke sekuiritisasi dan sekuiritisasi mengarah ke otoritarianisme," kata Araf.
Selain itu, penempatan TNI aktif di jabatan sipil akan berdampak pada urusan birokrasi dan tata negara. Dia mencontohkan, tak sedikit pegawai negeri sipil (PNS) di kementerian dan lembaga tertutup karirnya karena jabatan tingginya diisi oleh militer maupun polisi aktif.
"Keberadaan militer aktif polisi aktif jelas mengganggu birokrasi, jelas mengganggu merit sistem. Selain melanggar UU dia juga akan melemahkan profesionalisme mereka. Jangan kembali tarik militer ke dalam jabatan sipil, jangan goda mereka masuk ke wilayah itu. Karena akan merusakan tata negaraan kita," katanya.
Selain itu, bakal ada loyalitas ganda apabila militer dan polisi aktif mengisi jabatan sipil. Karena itu bagi militer yang ingin mengisi jabatan sipil perlu pensiun.
"Kalau ingin masuk pensiun dini supaya tidak ada loyalitas ganda kalau masih aktif loyalitas mereka ke mana ke pak menteri apa ke panglima atau kapolrinya? Saya pastikan ke panglima dan kapolrinya bukan ke menterinya. Ini menimbulkan dualisme loyalitas," ujar Al Araf.