ERA.id - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menyoroti fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) yang ditujukan bagi pengunjung pusat perbelanjaan secara beramai-ramai, tapi tidak berbelanja.
Faisal juga menggambarkan kondisi finansial masyarakat, seperti uang yang semakin sulit ditabung, lesunya daya beli, hingga pinjaman dana yang makin mudah diakses, tapi berat untuk diselesaikan tanggung jawabnya.
“Bisa kita lihat dari tingkat tabungan yang menurun, tingkat penjualan sektor riil, penjualan barang ritel yang turun di triwulan kedua, daripada triwulan satu, serta pinjaman yang meningkat terutama melalui fintech lending,” kata Faisal.
Sependapat, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menilai, hal ini juga didorong oleh naiknya tren pemecatan di beberapa sektor industri, yang mempengaruhi konsumsi masyarakat.
“Memang saat ini daya beli masyarakat berkurang karena kenaikan jumlah PHK. Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok,” ujar Esther.
Baik Faisal maupun Esther sepakat bahwa diperlukan adanya intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli.
“Penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” kata Esther.
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai pemerintah perlu menyetop kebijakan efisiensi belanja yang memicu pemecatan di mana-mana hingga menekan daya beli dan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah.
"Efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah, sehingga mereka berpikir ulang belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial," katanya.
Menurut Bhima, kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi, kini semakin terimpit oleh kenaikan biaya hidup, inflasi pangan, harga perumahan, dan tingginya suku bunga. Pendapatan yang cenderung menurun membuat kunjungan ke mal hanya sebatas untuk rekreasi atau mencari hiburan.
Bhima memprediksi fenomena "rojali" akan terus berlanjut hingga tahun depan, diperparah oleh dampak perang dagang yang berpotensi memicu PHK di sektor padat karya. Makanya pusat perbelanjaan harus beradaptasi dengan tren ini.
"Yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai kebutuhan sekunder, sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat makanan dan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," kata dia.
Pandangan BPS
Menyikapi itu semua, Badan Pusat Statistik (BPS) memandang bahwa semuanya belum tentu mencerminkan kemiskinan, namun tetap penting dibaca apakah hanya gejala sosial atau disebabkan tekanan ekonomi.
“Bisa jadi untuk refresh atau ada tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka akan ‘rojali’ di mal dan lain sebagainya,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono di Jakarta, Jumat silam.
Mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenans) 2025, Ateng mencatat bahwa kelompok atas mulai menahan laju konsumsinya. Namun, perubahan ini tidak serta-merta memengaruhi angka kemiskinan karena hanya mencakup segmen tertentu.
Menurut dia, fenomena “Rojali” bisa menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada penurunan kemiskinan ekstrem, tetapi juga pada perlindungan daya beli dan kestabilan ekonomi rumah tangga di kelas menengah-bawah.
“Perlu diamati, apakah yang mengalami fenomena ‘Rojali’ hanya pada kelas atas, menengah, rentan, atau bahkan kelompok miskin. Kami belum sampai survei ke arah ‘Rojali’. Kami surveinya hanya berbasis sampel rumah tangga di Susenas,” kata Ateng.
Bukan hal baru
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso pada Kamis (24/7) menyebut fenomena rojali bukan hal baru. Menurut dia, masyarakat bebas untuk menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring atau luring, serta memberikan penilaian kualitas terlebih dahulu secara langsung sebelum membelinya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan fenomena ini akan berkurang bila daya beli masyarakat kembali membaik melalui sejumlah kebijakan atau insentif pemerintah.