ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan data yang cukup mengejutkan soal anggaran belanja pemerintah untuk membayar jasa influencer. Angkanya tak tanggung-tanggung hingga menyentuh angka Rp90,45 miliar yang dikeluarkan sejak tahun 2017.
Data tersebut diketahui berasal dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LSPE). ICW menggunakan kata kunci influencer dan key opinion leader (KOL) di LPSE sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hasilnya, jumlah paket pengadaan jasa influencer mencapai 40 dengan kata kunci tersebut.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Defny Holidin menilai anggaran belanja untuk influencer yang mencapai miliran rupiah itu merupakan pemborosan, terlebih di tengah pandemi COVID-19. Sebab, tanpa influencer di masing-masing lembaga atau kementerian pasti sudah memiliki bagian humas yang tugasnya sama dengan influencer.
- Saat Warga Jayawijaya Papua Minta Izin Perang Tiga Hari Kepada Polisi
- Grbic Datang, Mungkinkah Oblak Tinggalkan Atletico Madrid?
- Berbeda dengan Buzzer, Kok Pemerintah Guyur Influencer dengan Duit?
- Selain Sinovac, Pemerintah Jajaki Vaksin Dua Perusahaan Farmasi China
- Epidemiolog Pandu Riono Sebut Vaksin COVID-19 Sinovac Hanya Kerja Sama Bisnis
"Menurut saya itu termasuk pemborosan karena alokasi PR atau Public Relation di masing-masing kementerian terkait, khususnya tim yang menangani pandemi, kalau dalam kasus ini kita bicarakan itu, sebetulnya sudah ada," ujar Defny saat dihubungi, Jumat (21/8/2020).
Lagi pula, media massa sudah cukup menjalankan tugasnya untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Sehingga, seyogianya pemerintah cukup bekerja sesuai tugas dan program kementerian masing-masing.
Dengan menjalankan program secara konsisten, kata Defny, pemerintah sama saja telah melakukan sosialisasi tanpa perlu menyewa influencer atau buzzer.
"Jadi prinsipnya, kalau kita lihat dari cara kerja influencer dari sisi alokasi anggaran dan dari sisi pemerintah belum konsisten, maka sebetulnya peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan," kata dia.
Influencer juga kerap misleading saat menyampaikan program kerja pemerintah. Ini sebenarnya berbahaya bagi publik, kata Defny. Selain itu, peran influencer saat ini banyak yang beralih fungsi dari alat sosialisasi menjadi alat propaganda untuk menciptakan persepsi positif di masyarakat.
Sehingga, penggunaan para pendengung sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh pemerintah. "Peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan dan secara anggaran, rasionalitas anggaran kita akan mengatakan itu pemborosan," ujarnya.