ERA.id - DPR RI dan Pemerintah sepakat tetap memasukkan klaster ketenagakerjaan ke dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Keputusan tersebut diambil setelah Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker sejak Jumat (25/9/2020) malam hingga Minggu (27/9/2020).
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, keputusan tersebut disetujui oleh semua fraksi di DPR RI. Dengan demikian, rapat Panja RUU Ciptaker hari Senin (28/9/2020) tinggal membahas klaster penyiaran dan melanjutkan RUU Ciptaker ke tim perumus (Timus).
"Ya (semua fraksi setuju). Rencana hari ini rapat baleg menuntaskan penyiaran. Terus kemudian timus, nah timus dan tim sinkronisasi (timsin) kita lakukan di luar konsinyeringnya supaya lebih fokus supaya tidak terganggu tugas lain supaya ini cepat selesai," ujar Baidowi kepada wartawan, Senin (28/9/2020).
Mengenai kapan RUU Ciptaker disahkan, Baidowi mengatakan semua bergantung penyelesaian di Timus dan tim sinkronisasi (Timsin). Serta bagaimana sikap fraksi terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja ini.
"Tergantung selesai tidaknya di timus, timsin dan sikap fraksi. Tergantung sulit tidaknya merumuskan norma. Kalau sikap fraksi ya tergantung fraksinya," ujar politikus PPP ini.
Adapun sikap buruh masih keras menolak RUU sapu jagat tersebut. Apalagi klaster ketenagakerjaan masih masuk dalam RUU Cipta Kerja. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, 32 serikat pekerja mengancam menggelar aksi mogok nasional pada 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020 bertepatan dengan sidang paripurna yang disebut digelar untuk mengesahkan RUU Ciptaker
"Dalam mogok nasional nanti, kami akan menghentikan proses produksi. Di mana para buruh akan keluar dari lokasi produksi dan berkumpul di lokasi yang ditentukan masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan," Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/9/2020).
Mogok nasional dengan menyetop produksi ini akan diikuti kurang lebih 5 juta buruh di ribuan perusahaan di 25 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Melibatkan beberapa sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.
Serikat pekerja berpendapat RUU Cipta Kerja masih lebih menguntungkan pengusaha. Salah satunya dibebaskan penggunaan buruh kontrak dan outsourcing di semua jenis pekerjaan dan tanpa batasan waktu, dihilangkannya Upah Minimum Sektoral Kabupaten atau Kota (UMSK), hingga pengurangan nilai pesangon.
"Sejak awal kami meminta agar perlindungan minimal kaum buruh yang ada di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jangan dikurangi. Tetapi faktanya omnibus law mengurangi hak-hak buruh yang ada di dalam undang-undang existing," kata Said Iqbal.
Klaster Ketenagakerjaan Selesai Dibahas
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah telah selesai melakukan pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) pada Minggu (27/9/2020) malam. Klaster Ketenagakerjaan merupakan salah satu klaster yang paling banyak mendapat penolakan, khususnya dari kelompok buruh.
"Malam ini kita sepakat semua yang terkait dengan tuntutan-tuntutan dari semua pihak, kebijakan afirmasi yang kita ambil juga inilah yang paling maksimal untuk bisa kita lakukan," ujar Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas saat rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker yang disiarkan TV Parlemen.
"Dengan demikian selesailah klaster ketanagakerjaan, dengan beberapa perubahan dan kesepakatan yang kita ambil pada malam hari ini," kata Supratman.
Pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker ini dilakukan kejar tayang sejak Jumat (25/9/2020) malam hingga Minggu (27/9/2020) malam. Selama tiga hari itu, rapat berjalan dengan alot.
Pada awal pembahasan, setidaknya ada empat fraksi yang menolak klaster ketenagakerjaan dimasukan ke dalam RUU Ciptker, seperti fraksi NasDem, PKS, Gerindra, dan PAN. Sementara Fraksi Golkar dan PKB meminta tetap dibahas. Sedangkan Fraksi PDIP dan PPP meminta perbaikan.
Menolak Diawal
Anggota Fraksi NasDem Taufik Basari menegaskan, fraksinya sejak awal sudah meminta agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari draf RUU Ciptaker. Dia menyarankan jika pemerintah ngotot membahas, maka lebih baik dipisahkan dan diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
"Kami dari NasDem sejak awal inginkan agar kalster ketenagakerjaan ini dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja, atau setidaknya Khusus untuk UU 13 Tahun 2003 kembali ke UU existing. Artinya tidak perlu ada perubahan atas itu," papar Taufik dalam rapat Panja RUU Ciptaker, Jumat (25/9/2020) malam.
Menurutnya, 10 klaster dalam RUU Ciptaker sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan tujuan pemerintah untuk kemudahan berusaha, investasi, dan birokratisasi.
"Jadi kita berharap agar kita tidak perlu memasukan kalster ketenagakerjaan ini atau setidaknya tidak ada perubahan," kata Taufik.
Senada, anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa juga meminta klaster ketenagakerjan dicabut dari RUU Ciptaker. Fraksinya menilai, untuk masalah investasi sudah diselesaikan di bab lain. Selain itu pemerintan juga tidak menjelaskan secara detail mengapa UU 13/2003 tidak dimasukan ke dalam draf RUU Ciptaker.
"Kami tetap mengusulkan mengembalikan atau mencabut RUU ini (klaster ketenagakerjaan) karena persoalan yang dikawatirkan inventasi Indonesia sudah diselesaikan pada bab lain," kata Ledia.
Sedangkan anggota Fraksi PAN Ali Taher menilai belum ada alasan rasional yang objektif untuk melakukan perubahan soal ketenagakerjaan melalui RUU Ciptaker
"Kita kembali ke (undang-undang) existing," tegas Ali.
Baleg Minta Saksi Pidana Tak Dibahas di Klaster Ketenagakerjaan
Di hari kedua, Sabtu (26/9/2020), Baleg DPR RI dan pemerintah sepakat sanksi pidana dalam UU 13/2003 tidak dibahas dalm klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker. Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas menilai sanksi pidana di klaster ketenagakerjaan disesuaikan dengan UU eksisting.
"Terkait DIM sanksi pidana, apa yang dihasilkan Tripartit antara pemerintah, buruh, dan pengusaha, sanksi pidana terkait dengan UU Ketenagakerjaan tetap seperti di UU existing, apakah dapat disetujui?" tanya Supratman dan disetujui peserta rapat.
Supratman nengatakan, DPR dan pemeringan sepakat seluruh DIM yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) akan disesuikan dengan DIM yang ada.
Rapat Hingga Malam Karena Lobi-Lobi
Pembahasan klaster ketenagakerjaan di hari terakhir, Minggu (27/9/2020) berlangsung tak kalah alot. Rapat berlangsung mulai pukul 10:00 WIB hingga 23:00 WIB.
Selama prosesnya, pimpinan Baleg DPR RI beberapa kali melakukan skors untuk lobi-lobi beberapa sub pembahasan. Antara lain terkait dengan pengupahan, cuti, pesangon, dan iuran kesehatan.
Anggota Fraksi PDIP Arteria Dahlan sempat mempersoalkan klausa terkait jaminan kehilangan pekerjaan dalam klaster ketenagakerjaan yang dinilai memberatkan beban buruh.
Sebabnya, ada klausa yang menyebutkan bahwa pekerja baru akan mendapat konpensasi ketika pekerja sudah bekerja lebih dari satu tahun. Arteria khawatir, klausa tersebut disalahgunakan oleh pengusaha.
"Bisa saja (pengusaha kontrak buruh tak sampai satu tahun). Kan pekerja yang penting mendapat pekerjaan, ga baca kontrak," kata Arteria.
Adapun dalam rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker hari Minggu (27/9) itu DPR RI dan pemerintah menyepakati pekerja tetap mendapatkan pesangon maksimal 32 kali gaji, namun 9 kali gaji menjadi tanggungan pemerintah.
Kemudian, syarat-syarat pemutusan hubungan kerja dikembalikan ke UU existing. Lalu untuk skema upah pekerja, upah minimum padat karya dihapus, dan upah minimum kabupaten/kota tetap ada dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.