Omnibus Law UU Cipta Kerja: Ketentuan Waktu Kerja, Lembur, Istirahat, dan Cuti Tahunan, Simak Penjelasannya

| 22 Feb 2021 14:04
Omnibus Law UU Cipta Kerja: Ketentuan Waktu Kerja, Lembur, Istirahat, dan Cuti Tahunan, Simak Penjelasannya
Ilustrasi (Ilham/era.id)

ERA.id - Presiden Joko Widodo telah menerbitkan 49 peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).

Salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah adalah PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang memuat aturan mengenai upah cuti dan lembur pekerja.

Dikutip pada Senin (22/2/2021), dalam PP Pengupahan Pasal 39 disebutkan, pengusaha wajib membayarkan upah kerja lembur kepada pekerja atau buruh yang bekerja melebihi waktu kerja, istirahat mingguan, atau pada hari libur resmi. Upah tersebut merupakan kompensasai kepada pekerja atau buruh sesuai dengan ketentuan peratruan perundang-undangan.

Kemudian pada Pasal 40 ayat (1) disebutkan bahwa pekerja atau buruh tidak akan mendapatkan upah apabila tidak masuk atau tidak melakukan pekerjaannya. 

"Upah tidak dibayar apabila Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan," bunyi Pasal 40 ayat (1) dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan

Namun di Pasal 40 ayat (2) dijelaskan bahwa ayat (1) tidak berlaku dan pengusaha harus tetap membayarkan upah apabila pekerja atau buruh berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, menjalankan hak waktu istirahat atau cuti, dan bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri.

Adapun yang dimaksud berhalangan secara rinci disebutkan antara lain pekerja atau buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, bagi pekerja atau buruh perempuan sakit haid di hari pertama dan kedua sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, menikah, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membaptiskan anak, istri melahiran atau keguguran.

Alasan berhalangan juga berlaku apabila suami, istri, orang tua, mertua, anak dan atau menantu meninggal dunia. Selain itu, pekerja atau buruh berhak berhalangan dan tetap mendapatkan upah apabila anggota keluarga selain yang disebutkan namun tinggal dalam satu rumah meninggal dunia. 

Sedangkan kriteria pekerja atau buruh yang tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya antara lain adalah menjalankan kewajiban terhadap negara, ibadah, persetujuan pengusaha, hingga melaksanakan tugas pendidikan/pelatihan.

Aturan cuti yang diperbolehkan adalah hak isitrahat mingguan, cuti tahunan, istirahat panjang, istirahat sebelum dan sesudah melahirkan, dan isitirahat karena mengalami keguguran kandungan.

Kemudian pada Pasal 41-46 dijelaskan mengenai besaran upah bagi pekerja atau buruh yang tidak masuk atau tidak menjalankan pekerjaannya sesuai dengan aturan yang tercantum di Pasal 40.

Misalnya, apabila pekerja atau buruh tidak masuk atau berhalangan karena sakit untuk empat bulan pertama dibayar 100 persen dari upah. Namun untuk empat bulan kedua hanya dibayarkan 75 persen, empat bulan ketiga 50 persen, dan empat bulan keempat 25 persen dari upahnya.

Apabila untuk empat bulan selanjutnya pekerja atau buruh tetap tidak masuk kerja, maka akan mendapatkan upah sebesar 25 persen dari upah, dan kemudian pengusaha atau perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sedangkan untuk perempuan yang berhalangan karena sakit haid, upah akan dibayarkan sesuai dengan jumlah hari sakit yang paling lama hanya dua hari.

"Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh perempuan yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama dua hari," tulis Pasal 41 ayat (2).

Kemudian untuk buruh atau pekerja yang berhalangan karena alasan menikah upah akan dibayarkan selama tiga hari. Sedangkan untuk menikahkan, mengkhitankan, mempatiskan anak, istri melahirkan atau keguguran, anggota keluarga meninggal dibayar untuk dua hari.

Pada Pasal 42 dijelaskan tentang pengupahan yang dibayarkan kepada pekerja atau buruh apabila berhalangan karena melakukan pekerjaan lain.

Antara lain, pekerja atau buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara selama tidak melebihi satu tahun dan penghasilan yang diberikan negara kurang dari besaran upah, maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Pengusaha tidak perlu membayar bila upah pekerja atau buruh yang menjalani kewajiban negara telah lebih besar dari upahnya.

Selanjutnya di Pasal 43 disebutkan, pengusaha wajib membayar upah pekerja atau buruh yang tidak masuk karena ibadah sebesar upah yang diterima oleh pekerja atau buruh dengan ketentuan hanya sekali selama pekerja atau buruh bekerja di perusahaan tersebut.

"Pengusaha wajib membayar upah kepada Pekerja/Buruh yang tidka masuk bekerja dan/atau tidak melakukan perkejaan karena melaksanakan tugas Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebesar upah yang biasa diteruma oleh Pekerja/Buruh," bunyi Pasal 44.

Meski demikian, ketentuan pembayaran cuti dan tidak bekerja ini tetap perlu diatur di perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

"Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 46 Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahan, atau Perjanjian Kerja Bersama," bunyi Pasal 47 PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Rekomendasi