ERA.id - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dinilai pas untuk memimpin secara langsung penanganan kawasan Laut Natuna Utara karena memiliki banyak persoalan yang bukan hanya pencurian ikan.
"Isu di sana (Natuna Utara) bukan cuma perikanan, tetapi juga migas, pariwisata, batas wilayah atau hubungan luar negeri, serta pertahanan dan keamanan," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Minggu, (9/5/2021), dikutip ANTARA.
Menurut Abdi, penting untuk mencari akar masalah mengapa IUU Fishing atau penangkapan ikan oleh kapal ikan tetangga masih marak padahal pembahasan batas wilayah laut belum tuntas sehingga masih ada masalah saling klaim wilayah laut antarnegara.
Dengan demikian, lanjutnya, perlu pula ada penanganan penegakan hukum yang mesti diikuti dengan langkah diplomasi serta perundingan batas wilayah agar masalahnya benar-benar tuntas.
"Kondisi geostrategis dan perkembangan konflik perlu antisipasi. Jangan sampai pergerakan kapal ikan asing yang masuk ke Natuna merupakan hal yang disengaja untuk provokasi Indonesia masuk dan terlibat dalam pusaran konflik," paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat bahwa banyak kapal ikan Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di kawasan Laut Natuna Utara karena nelayan Vietnam mengalami kekurangan stok ikan di perairannya sehingga berupaya masuk ke ZEE Indonesia.
Abdul Halim menyarankan KKP dapat memanggil pihak Kedubes Vietnam sebagai bentuk penegasan, karena pemanggilan telah dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya.
Sebelumnya Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP Pung Nugroho Saksono, yang akrab dipanggil Ipunk, dalam acara Podcast PSDKP dengan topik mengenai pencurian ikan di Laut Natuna Utara di Jakarta, Rabu (5/5) menyatakan bahwa banyaknya kapal Vietnam yang melakukan penangkapan ikan ilegal di sana antara lain karena belum ada kesepakatan batas wilayah perairan yang diakui secara bersama-sama antara kedua negara.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari kerap ditemukan kapal penjaga pantai dari Vietnam yang berada di Laut Natuna Utara sedang menjaga nelayan Vietnam untuk menangkap ikan di sana.
"Indonesia menganut mazhab ZEE itu dihitung dari permukaan air 200 mil, tetapi Vietnam menganut paham landas kontinen dihitung dari dasar laut hingga palung habis. Ini jadi tidak ketemu," katanya.
Untuk itu, ujar dia, perlu diskusi dan diplomasi yang tajam agar pihak yang berada di lapangan tidak mengalami kerepotan.
Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang ditangkap VMS (Vessel Monitoring System), ada sekitar 5.600 kapal berukuran di atas 30 gross tonnage (GT) yang beroperasi di wilayah perairan RI.
"Mungkin ada 5.600 kapal yang ditangkap VMS. Di bawah 30 GT itu ada lebih dari 12.000 kapal, bisa dibayangkan dalam hal pengawasan energinya tidak bisa setengah-tengah," katanya.
Ipunk menuturkan pihaknya terus siaga 24 jam bahkan ketika hari libur, ketika ada permasalahan seperti pengaduan dari masyarakat, maka pihaknya siap untuk segera bergerak.