ERA.id - Obat antiparasit Ivermectin kembali menjadi perbicangan lantaran dikabarkan sudah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai salah satu obat-obatan terapi COVID-19.
Terbitnya EUA untuk Ivermectin itu diketahui dari salinan Surat Edaran Nomor: PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Distribusi Obat Dengan Persetujuan Penggunaan Darurat (EUA) yang diperoleh ERA.id dari Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga pada Rabu (14/7/2021) malam.
Saat dikonfirmasi, Kepala BPOM Penny Lukito meluruskan hingga saat ini pihaknya belum menerbitkan EUA untuk penggunaan Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19. Dia menegaskan, hingga saat ini Ivermectin masih dalam tahap uji klinik.
"Belum (mendapatkan EUA), masih uji klinik," ujar Penny kepada wartawan yang dikutip pada Jumat (16/7/2021).
Penny mengatakan, publik salah memahami dengan adanya SE yang ramai beredar. Dia menegaskan, uji klinik Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19 baru saja dimulai.
Penny menjelaskan, bahwa SE BPOM yang ramai beredar hanya untuk mengatur pendistribusian obat berdasarkan kontak antara produsen dan apotek. Nantinya, mereka wajib melaporkan pengelolaan obat bagi fasilitas distribusi.
"Ini salah memahami. Belum ada EUA untuk Ivermectin, uji klinik baru dimulai," kata Penny.
Penny mengatakan, Ivermectin hanya dapat digunakan untuk kebutuhan uji klinik di delapan rumah sakit, yaitu RS Persahatan, RSPI Sulianti Suroso, RS Soedarso Pontianak, RS Adam Malik Medan, RSPAD Gatot Soebroto, RSAU Esnawan Antariksa, RS Suyoto, dan RSD Wisma Atlet.
Namun, berdasarkan Keputusan Kepala BPOM tentang petunjuk teknis yang baru, penggunaan Ivermectin untuk uji klinis diperluas. Penggunaan obat cacing tersebut pun harus sesuai dengan resep dokter.
"Ivermectin dapat diakses melalui uji klinik di delapan RS yang mengikuti uji klinik. Dan di RS lain sesuai dengan petunjuk teknis tentang expanded access, perluasan askes obat uji seperti Ivermectin saat ini dengan resep dokter dan dosis sesuai uji klinik," papar Penny.
Sebelumnya, beredar Surat Edaran Nomor: PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Distribusi Obat Dengan Persetujuan Penggunaan Darurat (EUA) dari BPOM.
Di dalam SE tersebut disebutkan 8 jenis obat terapi COVID-19. Diantaranya yaitu Remdesivir, Favipiravir, Oseltamivir, Immunoglobulin, Ivermectin, Tocilizumab, Azithromycin dan Dexametason (tunggal)
Disebutkan pula, bahwa untuk mengatasi kelangkaan obat terapi COVID-19 di pasaran, BPOM juga telah menetapkan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.02.02.1.2.07.21.281 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Badapn Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.02.02.1.2.11.20.1126 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Persetujuaan Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization).
Keputusan Kepala BPOM itu akan dijadikan acuan bagi pelaku usaha dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam megelola obat.
"Sebagai acuan bagi pelaku usaha dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam mengelola Obat yang diberikan EUA yang mengatur keharusan adanya kontrak antara pemilik EUA dengan Apotek dan kewajiban pelaporan bagi fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kesehatan," bunyi salinan Surat Edaran BPOM yang diterima ERA.id pada Rabu (14/7/2021) malam.
BPOM menyadari, saat ini obat pendukung penanganan terapi COVID-19 di peredaran. Sehingga diperlukan mekanisme monitor ketersediaan obat pendukung penanganan terapi COVID-19 di peredaran.
Oleh karena itu, BPOM mewajibkan adanya pelaporan untuk distribusi dilakukan dengan mengunggah data pemasukan dan penyaluran setiap akhir hari kegiatan penyaluran. Lalu mengirimkannya setelah jatuh tempo waktu pengirimannya. Untuk obat kategori keras, setiap tiga bulan. Sedangkan untuk obat yang mengantongi izin penggunaan darurat, setiap dua minggu.
Sedangkan untuk Puskesmas, klinik, rumah sakit, kantor kesehatan pelabuhan (KKP) tau Apotek yang ingin memesan harus melalui email [email protected] dengan prihal "Pelaporan obat penunjang terapi COVID-19" dan format yang dapat diunduh di https://bit.ly/pelaporanEUASaryan.
Selain itu ada beberapa hal lain yang juga harus menjadi perhatian, yaitu:
1. Pendistribusian Obat yang diberikan EUA kepada Apotek didasarkan kontrak antara pemilik EUA dengan Apotek.
2. Kontrak antara pemilik EUA dengan Apotek dalam bentuk surat pernyataan sekurangkurangnya memuat:
a. Apotek bersedia mendukung pelaksanaan kualifikasi pelanggan oleh pihak distributor yang ditunjuk oleh pemilik EUA.
b. Apotek bersedia melakukan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Apotek bersedia melakukan pengelolaan obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Apotek dalam menyerahkan Obat diberikan EUA harus berdasarkan resep dokter.
e. Apotek bersedia mendukung pemantauan pelaksanaan farmakofivigilans yang dilaksanakan pemilik EUA.
f. Pemilik EUA harus memonitor pelaksanaan butir a sampai dengan butir e di atas.
3. Pendistribusian Obat yang diberikan EUA kepada Apotek dalam jumlah terbatas untuk menghindari penumpukan persediaan di Apotek.
4. Fasilitas distribusi yang mendistribusikan obat yang diberikan EUA wajib melaporkan pemasukan dan penyaluran obat tersebut kepada Badan POM setiap 2 (dua) minggu sekali melalui aplikasi e-was.pom.go.id.
5. Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dan/atau Apotek yang menggunakan obat yang diberikan EUA wajib melaporkan pemasukan dan penggunaan obat tersebut kepada Badan POM setiap 2 (dua) minggu sekali melalui email [email protected] dengan perihal "Pelaporan Obat EUA" dan dengan format sebagaimana dapat diunduh di https://bit.ly/pelaporanEUASaryan.
6. Sehubungan dengan terjadinya kelangkaan obat mendukung penanganan terapi COVID-19, termasuk obat yang diberikan EUA dalam di peredaran, maka pelaporan sebagaimana dimaksud angka 4 dan angka 5 di atas untuk periode Juli-September 2021 dilakukan setiap akhir hari kegiatan distribusi atau pelayanan kefarmasian.