Beda Suara BPOM dan Luhut Soal Ivermectin Jadi Terapi COVID-19

| 07 Jul 2021 09:45
Beda Suara BPOM dan Luhut Soal Ivermectin Jadi Terapi COVID-19
Ivermectin (Dok. Antara)

ERA.id - Obat cacing Ivermectin ramai diburu masyarakat lantaran dianggap ampuh mengobati dan mencegah virus SARS-CoV-2 atau Corona. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum mengeluarkan izin penggunaan obat antiparasit itu sebagai salah satu terapi COVID-19.

Namun, sejumlah pejabat terlanjur meyakini Ivermectin aman digunakan untuk penecegahan serta penyembuhan COVID-19. Salah satunya yaitu Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mendorong supaya Ivermectin dicoba sebagai obat terapi COVID-19 khusus bagi pasien dengan gejala ringan.

"Saya pertama bicara Ivermectin itu waktu gelombang pertama (COVID-19) dulu. Saya bilang, cobain aja deh untuk yang ringan-ringan itu," kata Luhut seperti dikutip dari YouTube Deddy Corbuzier, Rabu (7/7/2021).

Adapun pasien COVID-19 bergejala ringan yang dimaksud Luhut yaitu yang saturasi oksigennya di atas 95 persen, tidak sesak nafas, dan tidak memiliki komorbid atau penyakit penyerta yang berbahaya.

Dengan pemberian Ivermectin kepada pasien, Luhut megatakan, setidaknya bisa menurunkan risiko keparahan. Apalagi di tengah situasi darurat seperti saat ini.

"Ini kan darurat, sepanjang kepentingan rakyat dan evidence base bagus, kenapa tidak? Daripada sekarang orang-orang mati gara-gara itu (COVID-19)," kata Luhut.

Lebih lanjut, Luhut juga menyebut telah memerintahkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terus mengedarkan Ivermectin untuk pasien COVID-19 dengan gejala ringan.

Mengenai keamanan dari penggunaan Ivermectin, Luhut mengaku sudah berbicara kepada salah satu ahli bahwa obat antiparasit tersebut sangat aman digunakan.

"Saya bicara dengan dokter Fatimah, ada Kepala Rumah Sakit di BUMN itu, sudah kita buktikan bagus, it works, hajar aja. Saya bilang tadi sama Pak Erick, sudah kirim saja untuk (pasein COVID-19) yang ringan-ringan, enggak akan ada korbannya gara-gara itu (Ivermectin)," kata Luhut.

Sementara, Menteri BUMN Erick Thohir sudah menginstruksikan kepada perusahaan farmasi pelat merah, PT Indofarma (Persero) Tbk dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk untuk segera mengedarkan Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19. Hal tersebut menyusul harga-harga obat yang melambung tinggi.

"Harga-harga di pasaran saat ini sangat menyakitkan hati rakyat di tengah kebutuhan yang tinggi dan banyaknya pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Karena itu, saya perintahkan kepada Kimia Farma untuk segera memasarkan ivermectin dengan harga sesuai aturan Kemenkes dan BPOM dan hanya bisa diperoleh dengan resep dokter," ujar Erick melalui keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu (7/7).

Saat ini, Ivermectin misalnya, tersedia secara bertahap di Kimia Farma dan lainnya. Untuk harga telah ditetapkan Rp7.885 per butir, termasuk PPN, sebagai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sesuai dengan ketentuan Kemenkes.

Sedangkan BPOM, hingga saat ini belum memberikan rekomendasi untuk penggunaan Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19. BPOM baru mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) Ivermectin.

Uji klinis digelar di delapan rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Medan, danPontianak. Kedelapan RS tersebut antara lain RS Persahabatan, RS Sulanti Saroso, RSPAD Gatot Soebroto, RSDC Wisma Atlet, RS Sudarso Pontianak, RS Adam Malik Medan, RSAU dr. Esnawan Antariksa, dan RSU Suyoto.

Uji klinik akan dilakukan kurang lebih satu bulan setelah subjek diberikan Ivermectin selama lima hari. Hal ini dilakukan untuk melihat keamanan dan khasiat Ivermectin sebagai obat terapi terhadap pasien COVID-19.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, uji klinik dilakukan dengan melihat berbagai data-data yang ada. Dia mengatakan, meskipun sejumlah data menunjukkan Ivermectin ampuh mencegah dan menyebuhkan COVID-19, namun data itu masih belum bisa dijadikan acuan.

"Namun, ingat bahwa data itu tidak bisa menunjukkan kausalitasnya, sebab akibat yang langsung bahwa itu (kesembuhan dari pasien COVID-19) disebabkan oleh Ivermectin. Ada aspek-aspek lainnya," kata Penny dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Senin (5/7).

Penny mengatakan sejauh ini baru ada dua jenis zat aktif atau bentuk sediaan obat yang resmi mendapatkan izin penggunaan dan izin edar BPOM, mereka yakni Remdesivir dan Favipiravir. Kedua jenis ini telah mendapatkan izin penggunaan darurat obat-obatan untuk penanganan pasien terpapar virus COVID-19 di Indonesia.

"Obat-obat yang telah mendapat EUA untuk covid-19 adalah baru Remdesivir dan Favipiravir. Tapi tentu saja berbagai obat yang juga digunakan sesuai dengan protap dari pemberian yang sudah disetujui tentunya dari organisasi profesi juga kami dampingi untuk percepatan," katanya.

Adapun 12 obat yang dimaksud yakni; Remidia, Cipremi, Desrem, Jubi-R, Covifor, dan Remdac yang merupakan jenis Remdesivir serbuk injeksi. Kemudian ads Avigan, Favipravir, Favikal, Avifavir, dan Covigon yang masuk kategori Favipiravir salut selaput. Satu obat lagi bernama Remeva yang merupakan Remdesivir larutan konsentrat untuk infus.

"Ini bukan masalah BPOM melarang ivermectin untuk ada di peredaran, justru BPOM sangat menjaga bahwa ivermectin ini harus tetap ada di peredaran. Namun digunakan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa ini adalah obat keras, bahwa ini harus diawasi dan mendapatkan resep dari dokter," tegas Penny.

Rekomendasi