Korban Pelecehan Seksual KPI Diancam Terduga Pelaku, LPSK: Tak Punya Dasar Hukum Kuat

| 08 Sep 2021 14:46
Korban Pelecehan Seksual KPI Diancam Terduga Pelaku, LPSK: Tak Punya Dasar Hukum Kuat
Ilustrasi (Antara)

ERA.id - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, korban perundungan dan pelecehan seksual di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, MS, tidak bisa dilaporkan balik ke polisi jika korban sudah resmi berstatus terlindung LPSK.

Hal ini menanggapi laporan yang dilayangkan oleh para terduga pelaku perundungan dan pelecehanan seksual kepada MS atas tudingan pencemaran nama baik.

"Saya dengar yang bersangkutan (MS) menghadapi ancaman gugatan balik dari para pelaku melalui UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Padahal, kalau UU LPSK menyebutkan, bahwa seseorang tidak bisa dituntut balik untuk kesaksiannya di dalam proses," kata Hasto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (8/9/2021).

Namun sayangnya, hingga saat ini MS belum resmi menjadi terlindung LPSK. Hal ini disebabkan karena perlindungan yang diberikan LPSK bersifat suka rela. Artinya, korban yang memutuskan apakah akan meminta perlindungan dari LPSK atau tidak.

Meski begitu, LPSK sudah lebih dulu bergerak proaktif untuk menghubungi MS. Hanya saja, karena ada sejumlah kendala maka MS belum bisa datang ke LPSK.

"Yang bersangkutan (MS) rupanya sedang harus di BAP karena sedang melaporkan kembali kasusnya ke kepolisian. Terakhir, yang bersangkutan juga sedang terganggu kesehatannya sehingga belum bisa hadir di LPSK," kata Hasto.

"Sampai sekarang memang yang bersangkutan belum mengajukan permohonan dan belum resmi jadi terlindung LPSK. Karena perlindungan yang diberikan oleh LPSK itu sifatnya voluntury, kita tidak bisa memaksakan," imbuhnya.

Hasto berharap, aparat kepolisian yang menangani kasus perundungan dan pelecehan seksual di kantor KPI Pusat memiliki perspektif korban. Sehingga tidak memproses laporan para terduga pelaku terlebih dahulu dibanding laporan dari korban.

"Ya sandaran kami hanya pada aparat penegak hukum saja. Mudah-mudahaan aparat hukumnya mempunyai perspektif korban yang baik, sehingga mengutamakan pada kasus yang utamanya sebelum kasus UU ITE ini diproses," kata Hasto.

Sebelumnya, MS bakal menghadapi tuntutan hukum balik dari terlapor kasus tersebut. Yang lebih mencengangkan lagi adalah argumen yang dibangun oleh para kuasa hukum terlapor menyebutkan tindakan yang dilakukan kliennya seperti perbudakan adalah hal yang biasa dan dianggap bercanda atau ceng-cengan belaka.

Kabar laporan balik kepada MS diungkapkan oleh Tegar Putuhena selaku kuasa hukum dua terlapor saat mendatangi Mapolrestro Jakarta Pusat. Tegar Putuhena menilai MS tak punya bukti kuat.

"Sejauh ini yang kami temukan peristiwa itu tidak ada, peristiwa di tahun 2015 yang dituduhkan dan sudah viral itu tidak ada, tidak didukung oleh bukti apapun," kata Tegar Putuhena kepada wartawan di Polres Metro Jakarta Pusat.

Sementara pengacara terlapor lainnya, Anton, mengatakan laporan yang dilakukan pada kejadian tahun 2015 dan 2017 itu semua tidak dapat dibuktikan. Kata dia walaupun dalam risil yang viral disebutkan ada perbudakan, ia menyebutnya sebagai candaan atau ceng-cengan, merupakan hal yang biasa.

"Kalau pun ada masalah di rilis itu tentang perbudakan, kemudian ceng-cengan lah bahasa kita itu hal yang biasa. Kalau pun yang disuruh beli makan itu sering gantian. Misalnya ada yang nitip beli makan. Itu juga berlaku pada terperiksa sekarang," kata Anton kepada wartawan.

Rekomendasi