ERA.id - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memastikan tawaran beasiswa bagi masyarakat yang ingin membuat kajian perbandingan kinerja antara Presiden Joko Widodo dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mengandung muatan politik, melainkan demi kebenaran akademis.
"Beasiswa yang diberikan juga tidak ada muatan kepentingan politik. Kami belajar dari sikap Bung Karno yang menegaskan "Go to hell with yaour aid", ketika bantuan asing mau mendikte kedaulatan bangsa," kata Hasto melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/10/2021).
"Jadi peneliti dengan metode penelitian mix method tersebut justru dituntut untuk kedepankan kaidah ilmiah demi kebenaran akademis," imbuhnya.
Hasto menjelaskan, beasiswa tersebut diberikan untuk memperkuat tradisi akademis di partai politik. Selain itu, juga merupakan bagian dari pendidikan politik tentang pentingnya kepemimpinan strategis.
Hasto mengatakan, kepemimpinan strategis tersebut merupakan bauran antara ketegasan, kedisiplinan, konsistensi, dan sekaligus kemampuan memberikan inspirasi bagi seluruh komponen bangsa untuk bergerak satu arah menuju kejayaan bangsa.
"Kepemimpinan strategis tersebut tidak boleh merasa paling pintar, namun harus didukung oleh karakter kerendahan hati, dan membangun organisasi pemerintahan negara, jauh lebih penting daripada popularitas diri," kata Hasto.
Lebih lanjut, Hasto mengatakan, banyaknya peserta yang mendaftar untuk mendapatkan beasiswa semakin menunjukan kepemimpinan kepala negara memang sangat menentukan arah masa depan bangsa.
"Antusiasme peserta yang melamar menunjukkan bagaimana kepemimpinan presiden itu memang menentukan arah masa depan bangsa dan negara," kata Hasto.
Terkiat dengan peserta beasiswa, Hasto mengaku seluruh peserta sedang diseleksi oleh tim yang ada. Menurutnya, para peserta banyak yang berasal dari universitas ternama, baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, penelitian para peserta akan dimbimbing oleh dosen-dosen dari universitas tekemuka seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, Pelita Harapan, hingga Oslo Unversity.
"Jadi hal tersebut akan sangat positif untuk pembelajaran bersama, termasuk bagi PDI Perjuangan. Sebab research based policy inilah yang harus dikedepankan, termasuk oleh PDI Perjuangan," kata Hasto.
Untuk diketahui, ditemui usai acara di Kantor DPP PDIP pada Sabtu (23/10), Hasto menawarkan beasiswa kepada pihak manapun yang berminat mengkaji perbandingan kinerja Presiden Jokowi dengan Presiden SBY.
Tawarin ini untuk menghindari klaim sepihak yang berpotensi menjadi rumor politik.
Dia mengatakan, kajian akademis bisa menggunakan aspek kuantitatif untuk membandingkan pembangunan infrastruktur di era Jokowi dan SBY.
"Saya pribadi menawarkan beasiswa bagi mereka yang akan melakukan kajian untuk membandingkan antara kinerja dari Presiden Jokowi dengan Presiden SBY. Sehingga tidak menjadi rumor politik, tapi berdasarkan kajian akademis yang bisa dipertanggungjawabkan aspek objektivitasnya," kata Hasto.
"Misalnya, bagaimana jumlah jembatan yang dibangun antara 10 tahun Pak SBY dengan Pak Jokowi saat ini saja. Jumlah pelabuhan, jalan tol, lahan-lahan pertanian untuk rakyat, bendungan-bendungan untuk rakyat, itukan bisa dilakukan penelitian yang objektif," imbuhnya.
Sebelumnya, Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan mengingatkan semua pihak, tidak etis membanding-bandingkan kinerja presiden. Sebab masing-masing presiden punya kelebihan dan kelemahan.
Hal ini menanggapi pernyataan Hasto yang kerap memabanding-bandingkan kinerja Jokowi dengan SBY.
"Sebenarnya membanding-bandingkan presiden satu dengan presiden lainnya itu tidak etis. Karena bagaimanapun juga setiap presiden itu memiliki gaya kepemimpinan yg berbeda dan masing-masing presiden memiliki keunggulan dan kelemahan," ujar Syarief kepada wartawan, Minggu (24/10).
Wakil Ketua MPR RI ini menuturkan, setiap presiden memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Presiden Jokowi tidak mengikuti gaya presiden sebelumnya.
"Karena setiap presiden memiliki gaya masing-masing. Tidak bisa gayanya SBY, diminta supaya dilakukan oleh Jokowi atau gayanya Ibu Mega harus diikuti oleh SBY, tidak bisa," kata Syarief.
"Ibu Mega ya Ibu Mega, SBY ya SBY, Jokowi ya Jokowi," tegasnya.