ERA.id - Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menilai penerapan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah harus dicermati. Sehingga, penegakan hukum tidak menimbulkan kegaduhan dan menganggu pembangunan di daerah.
Hal itu merespons pernyataan viralnya video keresahan Bupati Banyumas Achmad Husein terhadap operasi sinyap yang dilakukan lembaga antirasuah.
"Saya ini mantan Komisi II DPR RI. Dulu kami di Komisi II meminta betul bahwa upaya penegakan hukum khususnya melalui instrumen OTT kepada para kepala daerah, tiak hanya kepala-kepala daerah, terhadap polisi, hakim, dan jaksa harus dicermati," kata Arteria dalam diskusi daring yang dikutip pada Jumat (19/11/2021).
Arteria mengaku, usulannya itu bukan berarti menentang OTT yang kerap dilakukan KPK. Melainkan, dia menginginkan adanya suatu instrumen hukum khusus yang diberlakukan untuk para kepala daerah namun tanpa harus menimbulkan kegaduhan dan menghambat pembangunan.
"Bukannya kita tidak boleh. Kita ingin segala sesuatnya penegakan hukum itu adalah instrumen pembangunan, instrumen percepatan pembangunan. Artinya, dengan adanya penegakan hukum, harusnya pemerintah lebih baik, pemerintah tidak gaduh, pembangunan dapat berjalan," ucapnya.
Oleh karenanya, dia meminta agar para kepala daerah diawasi oleh lingkup internal yaitu aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Menurut Arteria, dengan adanya APIP, seseorang yang berpotensi korupsi dapat ditindak dan diberi sanksi sesuai dengan perbuatannya, dan tidak langsung diberikan sanksi pidana.
Misalnya, jika seseorang itu korupsi harta, maka sanksinya dengan mengambil harta kekayaannya. Namun jika seseorang itu bermain jabatan, maka sanksinya harus berupa pencopotan jabatan.
"Orang yang senang sama kekayaan, ya kekayaannya diambil. Orang yang senang sama jabatan, ya jabatannya yang dicopot, itu yang jadi sanksi. Bukan semuanya harus bermuara kepada ini (OTT dan pidana)," kata Arteria.
Selain itu, Arteria bilang, orang yang diduga berpotensi melakukan tindak pidana korupsi seharusnya ditegur terlebih dahulu. Diharapkan, orang itu mau mengembalikan hasil korupsinya, namun jika menolak maka boleh saja diancam akan di OTT.
Cara itu, menurut Arteria dinilai lebih bagus karena tidak perlu sampai menimbulkan kegaduhan. Selian itu, dia menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah sebuah langkah kemunduran dalam pemberantasan korupsi.
"Alhamdulillah sudah selesai, sekarang ini kan APIP-nya jalan. Kalau ada yang nyopet, ada yang nakal, kita ingatkan 'kamu sudah ketahuan nyopet, balikin uangnya' atau 'kamu nggak boleh nyopet, pilih mana mau ditangkap atau kamu turun jabatan'," kata Arteria.
"Nah ini lebih bagus menurut kita, tidak gaduh. Tapi bukan dianggap sebagai suatu kemunduran," imbuhnya.
Lebih lanjut, Arteria juga mengungkapkan tak setuju apabila aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi, dan hakim terjaring OTT. Sebab, para penegak hukum itu merupakan simbol negara.
Menurutnya, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjerat para penegak hukum yang diduga korupsi selain melalui OTT. Salah satunya dengan membangun kontruksi hukum yang lebih adil.
"Ke depan di Komisi III, kita sedang juga menginisiasi, saya pribadi, saya sangat meyakini yang namanya polisi, hakim, jaksa itu tidak boleh di-OTT. Bukan karena kita pro koruptor, karena mereka adalah simbol-simbol negara di bidang penegakan hukum," ujar politisi PDIP itu.
Untuk diketahui, di media sosial viral video berdurasi 24 detik yang direkam kegiatan diskusi dalam ranah tindak pencegahan yang diadakan oleh Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK.
Dalam video tersebut, terlihat Bupati Banyumas Achmad Husein sedang menyampaikan pernyataan pada sebuah acara.
"Kami para kepala daerah, kami semua takut dan tidak mau di-OTT. Maka kami mohon kepada KPK sebelum OTT, mohon kalau ditemukan kesalahan, sebelum OTT kami dipanggil dahulu. Kalau ternyata dia itu berubah, ya sudah lepas begitu. Tapi kalau kemudian tidak berubah, baru ditangkap Pak," kata Husein dalam cuplikan video.