ERA.id - Pertarungan sarat kepentingan ekonomi dan politik terjadi untuk memperebutkan nikotin. Kondisi ini bahkan berpengaruh ke budaya dan produksi kretek Indonesia.
Hal itu disampaikan mengemuka dalam bedah buku 'Nicotine War: Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin', di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, DIY, dikutip Minggu (6/3/2022).
Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016, Abhisam Demosa, menuturkan sebenarnya perusahaan farmasi ingin merebut dan mematenkan nikotin. Namun upaya itu gagal. Karena itu, perusahaan farmasi memproduksi Nicotine Replacement Therapy (NRT).
"Karena nikotin itu alami dia tidak bisa dipatenkan, jadi mereka membuat senyawa mirip nikotin," kata Abisham dalam diskusi tersebut.
Nikotin terkandung dalam tembakau yang sejak lama diolah menjadi kretek oleh warga Indonesia. Namun, menurut Abhisam, kretek sejak dulu telah digerogoti oleh pihak asing.
Padahal kretek adalah kedaulatan bangsa Indonesia, dengan 90 persen produksi dari dalam negeri dan diproduksi oleh masyarakat negeri sendiri. Kretek juga memiliki akar kebudayaan yang sangat kuat.
Adapun sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB. Widyanta menjelaskan, buku Nicotine War karya Wanda Hamilton tidak hanya buku perang, melainkan politik pengetahuan soal nikotin. Buku ini membedah dan mengungkap dengan gamblang bagaimana politik dagang farmasi dalam berbisnis nikotin.
Nikotin atau Nicotiana Tobacum L, menurut Widyanta, telah menjadi arena pertarungan kuasa yang akan senantiasa mengkonsolidasikan berbagai strategi yang kompleks melalui perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu.
“Ada relasi kuasa pengetahuan dalam hal ini. Ada pertarungan politik yang keras. Kita wajib menjaga agar kebenaran tidak dikorbankan, menjaga kedaulatan bangsa dan negara, termasuk kedaulatan hukum,” tutur Widyanta.