ERA.id - Pascareformasi kiranya tak ada politikus yang lebih sukses dari Jokowi. Indikatornya mudah, ia selalu memenangkan kontestasi politik yang diikuti. Ibarat pemain bola, ia sudah mengangkat semua trofi di level klub maupun timnas, mulai dari piala liga hingga piala dunia. Yang kurang hanya mewariskan legacy-nya dan membuatnya dikenang sebagai legenda.
Akun @PartaiSocmed di X saja mengakui kecanggihan Jokowi. Katanya, Jokowi itu politikus dengan win rate tertinggi.
“Dia hampir selalu mendapatkan apa yg dia mau,” tulisnya, Rabu (9/8/2023). “Jika belum berhasil maka itu hanya soal waktu saja, di saat yg tepat pada akhirnya selalu mendapatkan apa yg dia mau.”
Ajaibnya, Jokowi meraih semua pencapaiannya tanpa perlu jadi ketua partai politik. Sebagai 'petugas partai' saja ia sudah mengecap rasanya jadi wali kota, gubernur, hingga presiden. Kalau sekadar melihat reputasinya itu, di Indonesia tak ada yang lebih digdaya dari Jokowi.
Tunjuk saja setiap ketua parpol di Indonesia sekarang, adakah yang bisa melampaui karier politik Jokowi? Nihil. Megawati sebagai bos partai penguasa saat ini cuman mentok sekali jadi presiden, itu pun setelah penggulingan Gus Dur pada 2001. Megawati jadi presiden hitungannya menang W.O. tanpa bertanding.
Keduanya pun sebetulnya tak sebanding, sebab Megawati mewarisi trah Sukarno, lelaki yang namanya dikenal di seluruh negeri. Sebaliknya, adakah yang kenal dengan orang tua Jokowi? Saya pun lupa namanya.
Mungkin satu-satunya yang menjadi keunggulan Megawati dari Jokowi ya jabatannya sebagai ketua parpol. Dan dengan segala bonus latar belakangnya, Megawati tak banyak berkutik berhadapan dengan petugas partainya itu. Ketika Jokowi sanggup mengkader anaknya jadi kepala daerah dalam sekali coba, Megawati masih kelimpungan mencalonkan anaknya jadi bakal calon presiden.
Terlepas dari segala kontroversinya, Jokowi harus diakui punya bakat politik yang mengalir di nadinya. Bakat itu pun diakui mantan rivalnya, Prabowo, yang bilang kalau ia belajar banyak dari Jokowi waktu wawancara bareng Najwa Shihab.
“Banyak yang mengatakan saya ini kurang politisi makanya kalah terus. Tapi kali ini Insyaallah karena saya sudah belajar politik," ujar Prabowo, Jumat (30/6/2023). “Saya belajar dari Pak Jokowi yang mengalahkan saya, berarti itu guru yang hebat.”
Bagaimana Jokowi yang latar belakangnya jauh dari politik bisa bertahan sekian lama di percaturan politik Indonesia? Dan bukan sekadar bertahan, tapi bertahan di pucuk kekuasaan. Bagaimana seseorang yang tak punya parpol bisa punya pengaruh sedemikian hebat hingga banyak elite politik menyebutnya “Pak Lurah”? Apa daya tawar politik Jokowi yang membuat banyak orang klepek-klepek?
Jokowi dan budaya buzzer politik
“Saya ini bukan ketua umum parpol, bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi partai dan sesuai ketentuan undang-undang yang menentukan capres dan cawapres itu adalah partai politik dan koalisi partai politik,” ujar Jokowi dalam pidato kenegaraan memperingati 17 Agustus tahun ini.
Jokowi boleh bilang begitu, tetapi tak ada yang menyangsikan pengaruhnya dalam Pilpres 2024. Ia sendiri secara terbuka mengungkapkan “ikut cawe-cawe” dalam kontestasi nanti untuk kepentingan nasional. Bahkan, dalam pidatonya kemarin, ia mengaku ada tren di kalangan politisi dan parpol yang menyebutnya “Pak Lurah” dan menunggu arahannya untuk soal capres-cawapres.
Apa rahasia pengaruh politik Jokowi? Sebagai politikus, ia bukan ketua parpol. Sebagai pengusaha, duitnya tak lebih banyak dari Erick Thohir atau Sandiaga Uno seperti yang tertera di LHKPN. Lantas mengapa kini banyak yang menunggu arahannya?
Salah satu kekuatan utama Jokowi adalah pendukung dan simpatisannya yang masif. Organisasi relawan Jokowi saja setidaknya ada 18, antara lain Pro Jokowi (Projo), Relawan Buruh Sahabat Jokowi, Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), dan Sedulur Jokowi. Semuanya dikumpulkan Jokowi waktu Musyawarah Rakyat (Musra) tahun lalu.
Dari kalangan parpol sendiri, ada partai yang jelas-jelas mendukung penuh Jokowi seperti PSI. Tak tanggung-tanggung, mereka menciptakan istilah Jokowisme sebagai “metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat”.
Jika kita tarik ke belakang, semua bermula sejak Jokowi mencalonkan diri jadi Gubernur Jakarta. Namanya yang semula sepi dari perbincangan politik nasional tiba-tiba mencuat sebagai sosok pemimpin merakyat. Menurut penelitian berjudul “Gaduh Buzzer Politik di Era Jokowi”, ini tak lain imbas dari pemanfaatan corong media sosial, misalnya lewat akun Twitter @jokowi_do2.
“Awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik yaitu pada pemilihan Gubernur DKI pada tahun 2012, saat itu tim pemenangan pasangan Jokowi-Ahok sudah mulai memanfaatkan keberadaaan buzzer untuk mendongkrak citra dan menjatuhkan lawan politik,” tulis penelitian itu.
“Dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 2014, buzzer mulai digunakan secara luas untuk kepentingan politik. Di antaranya Jokowi dinyatakan unggul atas Prabowo dalam berbagai survei sehingga terjadi ‘perang’ di media sosial,” lanjutnya.
Sementara itu, dalam penelitian berjudul “Penggunaan Buzzer dalam Hegemoni Pemerintahan Joko Widodo”, penulis menyebutkan bahwa pada pemerintahan Jokowi, buzzer digunakan untuk membangun narasi “Jokowi orang baik”. Misalnya soal kampanye #SawitBaik; kontra narasi untuk demonstrasi #ReformasiDikorupsi tahun 2019; dan penanganan pandemi Covid-19.
“Tiga fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat upaya sistematis yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi untuk melakukan kontra narasi setiap kritik dengan buzzer. Narasi tersebut juga menjelaskan bahwa setiap kebijakan seharusnya tidak disalahkan kepada Jokowi selaku presiden,” tulisnya.
Kini, berkat reputasi yang ia bangun dan jaga baik-baik, Jokowi sudah menjadi branding. Namanya sendiri sudah jadi nilai jual dan bisa jadi alat tawar-menawar politik tanpa harus punya parpol. Siapa pun yang dapat dukungan Jokowi, otomatis bakal dapat dukungan segenap pengikutnya. Tengok saja, ketika ada isyarat Jokowi mendekat ke kubu Prabowo, PSI sebagai partai pendukungnya juga mulai melengos ke sana.
Ibarat penggembala kambing, Jokowi memegang tongkat gembala di tangannya. Ke mana pun tongkatnya menunjuk, kambing-kambing di belakangnya bakal berbelok tanpa banyak tanya.
Bahasa (politik) misterius Jokowi
Jokowi bolak-balik diisukan pakai ijazah palsu buat daftar jadi presiden. Ibarat bola liar, isu tadi bergulir ke mana-mana. Waktu saya ikut meliput Aksi 411 edisi terakhir tahun lalu, di antara hiruk-pikuk pekikan takbir dan salawat, saya juga mendengar tokoh-tokoh yang pegang mik berorasi tuntut Jokowi mundur.
“Pantas apa tidak presiden pakai ijazah palsu?” pertanyaan itu bolak-balik bergaung dengan jawaban serempak yang selalu sama: TIDAK!
Apa langkah Jokowi untuk menghentikan isu liar tersebut? Alih-alih memberi klarifikasi seperti orang-orang biasa, ia justru mengumpulkan teman-teman kuliahnya semasa di UGM sambil reuni kecil-kecilan di Sleman. Ia biarkan mereka berceloteh menjawab isu ijazah palsunya.
Kita juga tahu berkali-kali Jokowi dipanggil petugas partai oleh Megawati, diolok-olok depan umum. Katanya, bisa apa Jokowi tanpa PDIP? Jokowi hanya tersenyum. Namun, tahun 2021 lalu kita juga mesti ingat Jokowi melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Setahun berikutnya, Megawati disumpah lagi oleh Jokowi jadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Megawati boleh mengulang terus frasa petugas partai untuk Jokowi, tapi berkali-kali Jokowi menegaskan posisinya sebagai presiden lewat acara-acara seperti tadi. Begitulah gaya komunikasi Jokowi selama jadi presiden, penuh dengan isyarat dan pertanda.
Jokowi, Soeharto, dan Raja Jawa
Di balik perawakan dan pembawaannya yang sederhana, banyak yang bilang gaya kepemimpinan Jokowi mirip Soeharto. Salah satunya diungkapkan oleh dewan redaksi Media Group, Abdul Kohar, dalam tulisannya yang berjudul “Jokowi Versus Jokowi”.
“Saya kok jadi ingat suasana kebatinan Presiden Soeharto di era Orde Baru, saban menjelang pemilu dulu,” tulis Kohar. Ia membandingkan pernyataan Jokowi yang ingin cawe-cawe urusan capres-cawapres dengan Pak Harto yang rela ikut cawe-cawe memenangkan Golkar demi keberlangsungan pembangunan.
“Apakah klaim demi meneruskan pembangunan era Orde Baru itu telah sejalan dengan amanat hati nurani rakyat, bukan hal utama. Yang penting kekuasaan harus tetap digenggam,” lanjutnya. “Begitu juga situasi hari ini, saat Presiden yang juga Kepala Negara terus-menerus ikut cawe-cawe soal siapa yang mesti menggantikannya pada Pilpres 2024.”
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga pernah menyandingkan foto Jokowi dengan Soeharto dan memberi keterangan sepuluh persamaan antara keduanya, antara lain: mengutamakan pembangunan fisik untuk kejar target politik dan mengontrol narasi informasi.
Di antara sekian amatan itu, saya cenderung merasa Jokowi mirip Soeharto sebagai sesama orang Jawa yang berkuasa, hal yang pernah disinggung pula oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma empat tahun silam dalam esainya “Arogansi (Politik) Jawa?”.
Bagi Seno, Jokowi mengingatkannya dengan sosok Soeharto sebagai pejabat tinggi berlatar kebudayaan Jawa yang suka memakai ungkapan Jawa di panggung politik nasional.
Jokowi misalnya, seusai kemenangannya dalam Pemilu 2019, pernah menyitir falsafah Jawa berbunyi: lamun sira sekti, aja mateni ‘meskipun dikau sakti, jangan membunuh’; lamun sira banter, aja ndhisiki ‘meski dikau cepat, jangan menyalip’; lamun sira pinter, aja minteri ‘meski dikau pandai, jangan-digunakan untuk-mengecoh’.
“Nasihat ini secara tak langsung menunjukkan superioritas dalam kompetisi,” tulis Seno. “Artinya, ujaran ini ditujukan kepada yang lebih kuat, lebih cepat, dan lebih pandai, alias sang pemenang, agar kebijakannya sempurna-apalagi jika diucapkan sendiri.”
Peneliti LIPI, Wasisto Raharjo Jati, menafsirkan itu sebagai isyarat Jokowi untuk menciptakan pemerintahan tanpa oposisi yang nanti menciptakan “dua matahari” dan mengurangi daya kekuasaannya.
Sebagai penguasa Jawa, Jokowi menggunakan apa yang disebut Seno sebagai “bahasa politik misterius” untuk mengecoh lawannya. Lagi-lagi ini mengingatkan saya dengan Pak Harto yang dibilang Gus Dur sebagai Raja Jawa.
“Saya tahu juga kebiasaan Raja Jawa. Pak Harto kan menganggap dirinya Raja Jawa, apa yang dilakukan tangan kanan, tangan kiri gak boleh tahu,” kata Gus Dur waktu diundang ke Kick Andy pada 2008.
Kebiasaan itu juga yang rasanya sering diperlihatkan Jokowi. Tak heran kalau Ben Bland memberi judul “Man of Contradictions” untuk bukunya tentang Jokowi.
Hingga tulisan ini diketik saja, Jokowi belum kasih pernyataan pasti soal arah dukungannya dalam Pilpres tahun depan. Ia hanya sibuk kasih kode sana-sini yang segera disamber kegirangan oleh masing-masing pihak. Untuk menebak pikiran Jokowi, kita mungkin harus membuka kepalanya dan melihat langsung isi otaknya.