Mengurai Sejarah Singkat Konflik Lahan di Kalibakar, Sudah Dekatkah Reforma Agraria?

| 18 Nov 2021 23:50
Mengurai Sejarah Singkat Konflik Lahan di Kalibakar, Sudah Dekatkah Reforma Agraria?
Fahruddin Palapa, S.Pd., M.Pd. (Dosen Universitas Fajar/Pegiat Sajogyo institite)

ERA.id - Konflik lahan perkebunan Kalibakar, Jawa Timur, masih berlarut-larut. Pemerintah berganti, namun kebijakannya belum bisa mengakomodir reforma agraria (RA).

Lantas bagaimana rentetan masalah tersebut dari hari ke hari? Setelah tim Sajogyo Institute menelusurinya, ditemui sengkarut masalah sebelum Republik Indonesia terbentuk.

Semua diawali saat rakyat Kalibakar bertarung untuk menguasai tanahnya sebelum Republik Indonesia berdiri. Toh, sejak zaman kolonial Belanda, tanah kalibakar sudah dikuasai oleh korporasi.

Saat itu, pejuang-pejuang memukul mundur Belanda. Lalu konflik belum usai, Jepang datang, kekuasaan beralih ke tangannya.

Di masa Jepang, rakyat Kalibakar mendapatkan sedikit keleluasaan terhadap hasil tanah mereka. Hingga akhirnya Jepang mundur, kekuasaan rakyat atas tanah menjadi penuh.

Petani Kalibakar adalah pejuang kemerdekaan, karena mereka juga ikut berperan untuk memberikan stok pangan dan juga pakaian yang dibutuhkan pasukan perang pejuang kemerdekaan (tentara gerilya).

Bersama dengan para pejuang gerilya inilah, mereka melakukan praktik land reform pertama kali. Hingga kemudian, justru setelah Indonesia merdeka, tanah yang tadinya dikelola secara mandiri, kini direbut oleh bekas perusahaan Belanda yang dulunya menguasai tanah tersebut, dengan batas waktu untuk akhirnya dikembalikan lagi kepada rakyat.

Ironisnya, ketika waktu pengembalian itu tiba, tanah langsung diklaim oleh Negara Republik Indonesia, lewat badan usahanya. Rakyat Kalibakar pun gigit jari. Namun bukan berarti mereka berhenti berjuang. Jalan politik pun ditempuh. Lama-kelamaan, momentum ditemukan sewaktu rezim Soeharto bergejolak.

Saat itu, rakyat kembali berani secara tegas untuk merebut tanah itu kembali (reclaiming), yang bagi mereka adalah warisan dari nenek moyang mereka.

Kondisi ekonomi rakyat yang miskin dan gejolak politik pada waktu itu menjadi pemantik dari aksi reclaiming tersebut. Rakyat juga memperkuat gerakan mereka dengan membentuk organisasi FORKOTMAS (di Kalibakar) dan juga sekaligus tergabung dengan organisai yang lebih luas, lingkup Jawa Timur, yaitu PAPANJATI.

Masalah belum berhenti. Rakyat Kalibakar masih terbentur hukum yang dibuat pemerintah pasca reclaiming. Tanahnya belum bisa kembali ke pelukan secara utuh. Tembok penghalang masih kokoh.

Hingga kini rakyat masih berjuang untuk memperjelas status hukum tanah yang mereka kuasai.

Kini di tangan Presiden Jokowi, perpres 86 tahun 2018 akhirnya terbit. Itu tentunya memberikan harapan, sebab rakyat masib bisa mendapatkan pengakuan hukum yang jelas atas penguasaan tanah di Kalibakar. Bagaimana gambaran Perpres itu?

Wajah Perpres 86 dari Jokowi

Sederhananya, pendaftaran tanah adalah suatu langkah awal bagi terselenggaranya pendataan

penguasaan dan penguasaan tanah.

Sebagaimana disebutkan dalam tulisan Gunawan Wiradi, data yang akurat merupakan salah satu syarat penting bagi agenda Reforma Agraria (RA).

Dalam agenda RA, paling tidak pendaftaran tanah ini berfungsi untuk mengetahui sebaran atau tingkat ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah.

Tanpa adanya data yang akurat akan berakibat pada tidak tepatnya penentuan objek maupun subjek Reforma Agraria. Sebagai agenda yang sangat “sensitif”, ketidakakuratan data ini juga akan memunculkan kerawanan konflik dalam pelaksanaannya.

Penting meletakkan posisi pendaftaran tanah dalam konteks RA, karena pendaftaran tanah ini bisa dipakai untuk kepentingan lainnya, misalnya saja untuk memetakan lokasi-lokasi investasi, yang bisa jadi justru semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah (kontra reform).

Rakyat petani tak bertanah dan berlahan sempit adalah subjek utama dari agenda redistribusi tanah. Oleh karena itu, suara rakyat menjadi penting dalam agenda pendaftaran tanah, bahkan sampai usulan untuk penentuan lokasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Pelibatan rakyat petani tak bertanah dan berlahan sempit merupakan satu kunci penting untuk memastikan agenda Reforma Agraria berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu menciptakan keadilan, terutama bagi rakyat kecil.

Nah, pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No.86 tahun 2018

tentang Reforma Agraria. Agenda dalam Perpres 86 tersebut tentu membutuhkan instrumen pendaftaran tanah sebagai dasar pijaknya.

Kebutuhan ini sudah terjawab dengan Perpres No.88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan (IP4T).

Perpres 88 ini lalu menjadi dasar atas instrumen pendaftaran tanah, yang kemudian juga digunakan untuk menentukan TORA. PPTKH digunakan untuk menetapkan TORA di Kawasan Hutan, sementara IP4T untuk menentukan TORA di luar Kawasan Hutan atau wilayah Area Penggunaan Lain (APL).

Selain kedua Instrumen tersebut, agenda RA dari Perpres 86 juga didukung dengan membentuk Tim Reforma Agraria yang diisi oleh kementerian lintas sektor, dan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Kerja Tim RA ini dibantu oleh lembaga Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang ada di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.

Adapun Tim RA memiliki tugas untuk: a. Menetapkan kebijakan dan rencana Reforma Agraria; b. Melakukan koordinasi dan penyelesaian kendala dalam penyelenggaraan Reforma Agraria; dan c. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan Reforma Agraria. Sedangkan GTRA memiliki tugas yang berbeda pada tiap tingkatan wilayahnya (pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota), namun tetap memiliki kesamaan dalam hal: a. Penyediaan/pengusulan TORA dalam rangka Penataan Aset; b. mengoordinasikan pelaksanaan Penataan Akses; c. mengoordinasikan integrasi pelaksanaan Penataan Aset dan Penataan Akses; d. menyampaikan laporan hasil pada masing-masing jenjang di atasnya; e. mengoordinasikan dan memfasilitasi penanganan Sengketa dan Konflik Agraria; dan f. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pada GTRA di bawahnya.

Selanjutnya, GTRA pada masing-masing tingkatan dibantu oelh Tim Pelaksana Harian. GTRA inilah yang kemudian (dalam agenda RA) akan menggunakan instrumen PPTKH dan IP4T sebagai dasar untuk memberikan usulan atas penetapan TORA kepada TIM RA.

Implementasi di lapangan

Reforma agraria memang sudah dekat, namun belum bisa disentuh. Perpres 86 memberi peluang yang kecil. Hal ini karena pemerintah memberikan syarat clear and clean untuk wilayah yang akan dijadikan TORA dalam perwujudan perpres 86.

Sementara wilayah Kalibakar tergolong dalam wilayah yang tidak clear and clean. GTRA sebagai panitia untuk eksekutor dari Perpres 86 sendiri tidak bekerja dengan efektif.

Penelitian (Sajogyo Institute) menemukan, setidaknya ada 3 masalah yang ada di tubuh

GTRA, sehingga menghambat kinerja GTRA dalam agenda RA.

Pertama, tidak berjalannya kerja yang bisa menembus ego sektoral, walau GTRA adalah

wadah yang lintas sektoral. Sejauh ini GTRA tampak sebagai wadah bersama, tapi tidak bisa bekerja sebagai tim.

Kedua, partisipasi rakyat dalam penentuan TORA sulit terwadahi karena komposisi di dalam GTRA hanyalah dinas-dinas terkait, tanpa melibatkan organisasi rakyat di dalamnya.

Maka dari itu, wajar jika penentuan TORA hanya berdasarkan pada data-data yang dimiliki oleh dinas. Dalam kasus Kabupaten Malang, yang menjadi usulan adalah wilayah-wilayah

pemberdayaan dari dinas terkait.

Ketiga, tidak adanya mekanisme di dalam GTRA untuk menyelesaikan masalah di wilayah yang tidak clean and clear menjadi wilayah yang clean and clear. Mekanisme yang ada di GTRA hanya sebatas mendata wilayah yang clean and clear untuk kemudian diusulkan menjadi wilayah TORA.

Keempat, yang juga merupakan imbas dari dan berimbas pada masalah ketiga, yaitu tidak adanya mekanisme di dalam GTRA, terutama BPN, untuk menangkap risalah penguasaan tanah selain dari dokumen resmi. Sementara sebagian besar rakyat tidak memiliki dokumen resmi sebagai bukti penguasaan.

Sebagaian besar rakyat hanya bersandar pada sejarah yang diturunkan dari generasi

ke generasi, dan itupun jarang yang tertulis. Padahal, saksi sejarah juga merupakan

sumber data untuk melihat riwayat penguasaan tanah, sehingga perlu untuk dipertimbangkan.

Lantas, ke arah mana lagi rakyat Kalibakar akan melangkah setelah ini?

Penulis: Fahruddin Palapa, S.Pd., M.Pd. (Dosen Universitas Fajar/Pegiat Sajogyo institite)

Rekomendasi