Perjalanan Reforma Agraria Sejak dalam Pemikiran Sukarno

| 24 Sep 2019 19:44
Perjalanan Reforma Agraria Sejak dalam Pemikiran Sukarno
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Hari Tani Nasional jatuh pada tanggal 24 September. Hari ini diperingati setelah Presiden pertama Sukarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) hari ini 24 September, 59 tahun lalu. 

Sukarno memiliki konsen terhadap agraria sebagai entitas bangsa. Bahkan, hal itu dituangkan dalam pemikirannya tentang Marhaen.

Dalam buku Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adam, diceritakan asal muasal munculnya Marhaen. Marhaen adalah seorang petani yang dia temui ketika sedang berjalan-jalan di kawasan Bandung.

Ketika itu, Sukarno yang sedang bolos kuliah, berkeliling Bandung dengan sepedanya. 

Di sebuah sawah yang luasnya kurang dari sepertiga hektar, ia bertemu seorang petani yang sedang menggarap tanahnya. 

Lalu Sukarno menyapa. "Siapa pemilik sawah ini?" katanya. 

"Saya juragan. Ini tanah turun temurun. Diwariskan dari orang tua," kata petani itu. 

Kemudian, Sukarno menanyakan alat produksi seperti cangkul dan bajak itu kepunyaan siapa. Petani tadi menjawab, itu adalah miliknya. 

Sukarno bertanya lagi, tentang penjualan hasil taninya. Si petani mengatakan, hasilnya hanya cukup untuk hidup sehari-hari saja, tidak lebih. 

"Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Dia menyebut namanya, Marhaen. Marhaen adalah nama umum seperti Smith dan Jones. Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak saat itu kunamakan rakyatku, Marhaen," kata Sukarno dalam buku tadi.

Dari situ Sukarno mendefinisikan Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, yang berpenghasilan kecil yang sekadar cukup untuk dirinya sendiri. 

"Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik," ujarya.

Semangat Marhaenisme itulah yang kemudian mulai dimanifestasikan ke dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). UUPA menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial. Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat. 

UUPA berfungsi mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Dengan landasan UUPA, dimulailah program reforma agraria. 

Seperti dinukil historia.id, pelaksanaan program tersebut ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. 

Kemudian, program tersebut menentukan apabila kepemilikan tanah melebihi batas maksimum maka akan dibagikan kepada petani tak bertanah. Lalu, melaksanakan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). 

Tapi pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat. Menurut Margo L. Lyon dalam Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa, hambatan itu muncul karena administrasi yang buruk, korupsi, serta perlawanan dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. 

Karena pelaksanaan landreform yang lamban, Partai Komunis Indonesia dan Barisan Tani Indonesia mengorganisir program-program gerakan petani untuk melaksanakan UUPA atau sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan provokatif atau hambatan dari tuan tanah atau pemilik perkebunan. Terjadilah apa yang dikenal dengan aksi sepihak.

Salah satu aksi sepihak itu adalah peristiwa Jengko yang terjadi di Jember dan Kediri pada November 1961. Perusahaan Perkebunan Negara-Baru menuntut pengosongan tanah, namun para petani menolak hal tersebut dengan dukungan BTI. 

Permintaan perusahaan tadi tak digubris petani, akhirnya mereka diusir dengan cara mentraktor tanah itu. 38 orang tewas akibatnya. Peristiwa itu jadi perhatian di tingkat nasional. 

Akibat banyaknya aksi sepihak itu, dikeluarkanlah UU Nomor 21 tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform untuk memberi sanksi mereka yang menolak bekerjasama dalam pelaksanaan UUPBH.

Setahun setelah peraturan itu keluar, terjadi huru-hara politik di tingkat nasional dan pembantaian rakyat di pedesaan-pedesaan, hal itu sekaligus membuat semua usaha mewujudkan reforma agraria berhenti. 

Harapan semakin sirna ketika negara ini dipimpin Suharto. Dia menenggelamkan proses reforma agraria dan mencap segala sesuatu yang berkaitan dengan UUPA sebagai hantu komunis. 

Saat Suharto memimpin, ada 1967 lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA yang merupakan manifestasi dari semangat Marhaen tersebut. 

Program reforma agraria mulai dibangkitkan kembali pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan dibuat Perpresnya tahun lalu oleh Presiden Joko Widodo.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tersebut mengatur subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. 

Namun menurut beberapa pihak, persoalan reforma agraria tidak dapat dipahami hanya dengan program bagi-bagi tanah. Jadi beberapa orang menilai baik program yang dilakukan di zaman SBY maupun Jokowi merupakan hal yang tidak tepat. 

Mahasiswa Doktoral Development Studies di University of London, Muhtar Habibi mengatakan, jika dilihat secara historis, "reformasi agraria selalu melibatkan 'perombakan' atau 'penataan ulang' terhadap penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber kunci agraria seperti tanah dan air," tulis Habibi yang dimuat tirto.id pada 12 Maret 2019.

Menurut Habibi, tidak heran banyak yang mengeritik program sertifikasi tanah, karena hal itu bukanlah bagian dari RA. "Klaim agenda reformasi agraria tanpa redistribusi lahan hanyalah komedi yang tidak lucu," terangnya. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal LSM Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menilai Jokowi belum berhasil menjalankan janji reformasi agraria. Hal itu terlihat dari janji redistribusi lahan seluas 9 juta ha yang tak kunjung diterima oleh petani. Padahal luasan lahan itu menjadi pokok utama program RA ala Jokowi. 

"Pemerintah tetap mempertontonkan kekeliruan reforma agraria dengan membiarkan krisis agraria dialami kaum tani Indonesia dan tidak diatasi dengan serius," ucap Dewi kepada CNN Indonesia Senin (23/9).

Rekomendasi