ERA.id - Dua puluh satu tahun lalu, pada akhir bulan Agustus 1999, tersiar kabar bahwa 76,5 persen warga Provinsi Timor Timur memilih memerdekakan diri dari Indonesia. Hal ini menjadi momen kedua Bumi Lorosae memilih untuk merdeka, bahkan meski harus menghadapi permasalahan kemiskinan dan problem lainnya.
Indonesia mengenalnya dengan nama Timor Timur, namun, dulunya ia bernama Timor Leste yang merupakan bekas jajahan Portugis, sejak penjajah Eropa itu datang tahun 1520. Daerah jajahan ini kemudian dinamai Timor Portugis.
Pada masanya, Belanda dan Jepang juga tertarik mencaplok daerah Timor Leste. Namun, keduanya sepakat untuk berdama dan membuat perjanjian. Portugis memberikan bagian barat Timor Leste pada Belanda. Sementara itu, Jepang menguasai Timor Leste pada tahun 1942-1945.
Pada tanggal 28 November 1975, Timor Leste berhasil mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugis. Berita ini diumumkan oleh Front Revolusi Kemerdekaan Timor Leste (FRETILIN), yang adalah sebuah partai politik di daerah itu.
Namun, tak lama berselang, pada 7 Desember 1975, Indonesia pun mendatangi kawasan itu dan menyatakan jika Timor Leste adalah bagian dari negara Indonesia. Timor Leste, kemudian menjadi Provinsi Timor Timur, menjadi provinsi ke-27 Indonesia kala itu. Namun, hal ini tak terlalu disenangi oleh sejumlah kalangan setempat, meski Indonesia telah berupaya melakukan pembangunan di situ.
Selama 22 tahun, hubungan yang problematis terjadi di Timor Timur. Sampai akhirnya Indonesia didesak oleh banyak pihak untuk meninjau lagi posisi Timor Timur, salah satunya adalah PM Australia John Howard yang menyurati B.J. Habibie pada 19 Desember 1998.
Indonesia, diwakili oleh Menlu Ali Alatas, berunding dengan Portugal dengan pengawalan oleh PBB. Perjanjian ini dinamakan New York Agreement. Pasca perjanjian ini, pada 11 Juni 1999 dibentuklah misi PBB untuk Timor Timur (ENAMET).
Otonomi atau Merdekakan Diri
Peristiwa penting terjadi pada 30 Agustus 1999 di Timor Timur, yaitu ketika terjadi referendum, atau jajak pendapat. Warga diajak untuk menentukan apakah ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau berpisah. Referendum ini mendapat dukungan dari PBB.
Sayangnya, peristiwa demokratis yang seharusnya berlangsung damai, tercoreng oleh kasus huru-hara hingga jatuhnya 250.000 korban jiwa saat itu. Skala pertentangan di Timor Timur telah begitu meruncing karena warga setempat dikabarkan telah lama berada dalam kelaparan, penyakit, hingga konflik.
Namun, akhirnya, pada tanggal 31 Agustus 1999 keluarlah hasil jajak pendapat tersebut: Timor Leste memilih berpisah dari Indonesia.
Dari sekitar 450.000 pemilih saat itu, sebanyak 76,5 persen warga Timor Timur memilih untuk menolak otonomi. Sementara itu, 21 persen memilih otonomi, dan 1,8 persen suara dinyatakan tidak sah. Jumlah keterlibatan dalam referendum, seperti dilansir Kompas.com, dikabarkan mencapai 90 persen. Hasil referendum diumumkan oleh PBB pada tanggal 4 September 1999.
I remember the joy I felt when I heard the results of the Timor-Leste independence referendum, 20 years ago.
Timor-Leste has become a thriving democracy where human rights and democratic alternation are respected.
Today we celebrate this inspiring progress. pic.twitter.com/lRxsd6CYIh
— António Guterres (@antonioguterres) August 30, 2019
Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan Habibie, pada 26 Oktober 1999 meresmikan pembentukan pemerintahan transisi di Timor Timur (UNTAET). Bendera Merah Putih resmi diturunkan dari Timor Timur empat hari kemudian dalam upacara sederhana dan di luar kehadiran media, kecuali media RTP Portugal.
Timor Leste, dulunya bernama Timor-Timur, resmi memerdekakan diri dari Indonesia pada 20 Mei 2002. Salah satu negara yang mengakui kemerdekaan Timor Leste adalah Kuba, yang saat itu masih dipimpin oleh pemimpin karismatik Fidel Castro. Sang presiden Kuba bertemu tokoh Timor Leste Jose Ramos Horta.
Sengketa Ladang Gas
Pada 2006, Timor Leste menandatangani perjanjian Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) dengan Australia yang isinya pembagian ladang gas bernilai miliaran dolar AS.
Namun, belakangan, pemerintah Timor Leste menuduh Australia telah memata-matai negara baru itu sejak tahun 2004 demi mendapat keuntungan komersial. Timor Leste, yang beribukota di Dili, lalu mengajukan perjanjian itu ke Mahkamah Internaisonal PBB pada tahun 2015.
Pada 2007, terjadi sengketa lainnya mengenai batas maritim antara Timor Leste dan Australia. Kasus ini pun dibawa hingga ke Mahkamah Arbitrase Internasional yang ada di Den Haag, Belanda. Isi permintaan mereka adalah agar perjanjian CMATS tahun 2006 dibatalkan.