Penusukan Inejiro Asanuma Saat Debat Pemilu Jepang, 1960.

| 14 Sep 2020 20:10
Penusukan Inejiro Asanuma Saat Debat Pemilu Jepang, 1960.
Inejiro Asanuma

ERA.id - Seorang pemuda 17 tahun bernama Otoya Yamaguchi menggunakan kedua tangannya untuk mengarahkan pedang sepanjang 30,5 cm ke arah ketua Partai Sosialis Jepang Inejiro Asanuma. Wajah Yamaguchi tampak berseri, kontras dengan gestur Asanuma yang tampak kaget dan ingin mengelak. 12 Oktober 1960.

Semua itu terekam dalam potret hitam putih dari kamera fotografer Yasushi Nagao yang bekerja untuk Mainichi Shumbun. Karya foto inilah - selain dianugerahi hadiah Pulitzer Prize - yang menjadi bukti otentik terbunuhnya seorang politisi Jepang karena arus ideologi yang ia anut.

Seperti dicatat dalam arsip koran The Guardian, pada tanggal 12 Oktober 1960 itu sebuah debat politik diadakan di Hibiya Hall, Tokyo, dan menghadirkan dua orang yang berebut kursi perdana menteri Jepang. Mereka adalah Asanuma sendiri dan PM Hayato Ikeda, yang mewakili Partai Demokratik Liberal (LDP) dari sayap konservatif.

Debat yang disiarkan oleh saluran televisi Jepang NHK ini berlangsung seru karena kedua kubu notabene punya massa pendukung yang sama-sama besar.

Lalu, tibalah giliran Asanuma berbicara di hadapan audiens. Di antara penonton, yang konon berjumlah 1.000 orang, terdapat pula 100 orang anggota kelompok ekstrim kanan Masyarakat Patriotik Jepang Raya, yang salah satu anggotanya adalah Yamaguchi yang tampak dalam foto itu.

Tanpa memberi isyarat apapun, saat itu Yamaguchi langsung berlari menyeberang panggung dan menusuk Asanuma dengan pedangnya. Ditangkap oleh audiens yang hadir, senyum Yamaguchi justru tampak merekah. Polisi Tokyo juga menyatakan bahwa si pemuda ini tak menjelaskan apa motifnya menusuk sang politisi.

Sayangnya, nyawa Inejiro Asanuma tak mampu tertolong, dan ia tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Belakangan diketahui bahwa penusukan tersebut dilatarbelakangi ketidaksetujuan Yamaguchi, seorang pemuda ultranasionalis di barisan fasis Jepang, terhadap Asanuma yang mendukung China yang sosialis.

Yamaguchi sendiri, yang ditahan polisi sejak peristiwa 12 Oktober 1960 itu, tiga pekan kemudian ditemukan telah tewas gantung diri di sel tahanan. Seperti diceritakan oleh Tirto, sang pemuda meninggalkan coretan pesan di dinding yang berbunyi, "Tujuh nyawa untuk negeriku. Hidup Yang Mulia Kaisar!"

Pisau Tercela

Tak pelak, kematian Asanuma, sang pemimpin Partai Sosialis Jepang, memicu aksi unjuk rasa 15.000 orang simpatisan partai Kiri tersebut di depan markas kepolisian di Tokyo. Mereka saat itu mendesak kepala polisi Kameyoshi Teramoto mundur karena tak mampu melindungi Asanuma.

Dalam aksi yang berujung ricuh itu, 60 orang mahasiswa dan 22 polisi terluka. Namun, pemimpin partai Sosialis tetap memanggil lebih banyak massa - hingga 100.000 orang - untuk kembali berdemonstrasi pada akhir pekan berikutnya.

Secara politik, jelas bahwa Hayato Ikeda kemudian terpilih kembali menjadi perdana menteri. Namun, terpaan respon diplomatik menerpa Jepang selama tahun 1960-1961.

Meski menganggap Asanuma sebagai ancaman politik, Kementerian Dalam Negeri Amerika Serikat saat itu mengatakan bahwa pembunuhan terhadapnya adalah "perbuatan tercela." AS bahkan mengirimkan pernyataan dukacita dan apresiasi atas peran Asanuma dalam kancah politik Jepang.

Sementara itu, Rusia dan China yang sosialis tentu saja bereaksi keras terhadap pembunuhan salah satu kamerad mereka di Jepang. Kantor berita Uni Soviet Tass saat itu menulis bahwa "Preman fasis telah berbuat keji." Kantor berita pemerintah China, New China Agency, pun menyatakan bahwa Asanuma telah tewas dibunuh oleh "gangster sewaan".

Pemilihan umum 1960 sudah jelas dimenangkan oleh Partai Demokratik Liberal (LDP), namun, seperti yang dikhawatirkan oleh Amerika Serikat, Yamaguchi kemudian dikenang oleh sebagian pihak sebagai seorang martir. Penulis sebuah buku sejarah kisah-kisah pembunuhan (2014) bernama Michael Newton bahkan menulis bahwa pada tahun 2010 lalu, kelompok sayap kanan Jepang Uyoku Dantai mengadakan seremoni 50 tahun aksi pembunuhan Inejiro di Hibiya Park.

Sebaliknya, Partai Sosialis Jepang akan terus mengenang penusukan Inejiro hingga tewas sebagai bukti anasir fasisme dalam tubuh organisasi sayap kanan, atau "cakar kucing kekuatan kapitalis monopolistik" seperti kata mereka.

Tags : sejarah
Rekomendasi