Realitas Semu Prabowo-Gibran di Balik Citra Gemoy

| 03 Jan 2024 19:45
Realitas Semu Prabowo-Gibran di Balik Citra Gemoy
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Saya pernah dengar dari seorang mantan ketua umum partai politik besar di Indonesia bahwa “politik adalah pencitraan”. Seingat saya, istilah pencitraan baru mulai populer pada masa Jokowi. Kata itu kerap melekat pada aksi blusukan yang juga dipopulerkannya. 

Ketika para politikus tampil dekat dengan rakyat, kita selalu menyebutnya pencitraan—sesuatu yang dipaksakan dan terpisah dari dirinya sendiri. Dalam kehidupan politik bernegara, kita akan sering mendengar istilah itu menjelang pemilu. Siklus lima tahunan tadi terulang lagi tahun ini. Dan dari sekian peserta, saya kira duet Prabowo-Gibran salah satu yang paling ulet memproduksi pencitraan.

Berbeda dengan tren yang sudah-sudah, di mana para politikus biasa mencitrakan diri merakyat, Prabowo-Gibran menarik model pencitraan lebih jauh lagi. Alih-alih berbaur dengan masyarakat dan tenggelam dengan aktivitas mereka di lapangan, pasangan capres dan cawapres 2024 itu menciptakan citra baru mereka di media sosial lewat term “gemoy”.

Tampak dalam kantor Fanta, bagian dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. (ERA/Agus Ghulam)

Tentu sebagai syarat kampanye, keduanya juga turun dan bertatap muka langsung dengan para pemilih, misalnya lewat aksi bagi-bagi susu gratis atau forum-forum diskusi. Namun, boleh dibilang jumlahnya tak sebanding dengan para pesaing mereka yang tampak lebih rutin bersafari politik ke mana-mana.

Menurut analisa saya, selain karena diuntungkan dengan elektabilitas yang sudah tinggi sejak awal; koalisi besar di belakangnya; dan dukungan moral maupun tak langsung oleh Presiden yang notabene bapak dari Gibran, pasangan itu memang ingin menjauhi blunder dan lebih memilih memoles citranya lewat kampanye media secara masif.

Ada dua alasan masuk akal mengapa kemudian citra gemoy dipilih sebagai salah satu jualan utama mereka. Pertama, Gibran sejak awal dipinang sebagai cawapres Prabowo selalu disoroti sebagai perwakilan generasi muda. Ia memang paling muda dari kontestan pilpres lain, beda umurnya jauh. Dan kelak jika terpilih, ia bakal mengalahkan Bung Hatta sebagai wapres termuda yang pernah dimiliki bangsa ini.

Gemoy, kata gaul plesetan dari “gemas”, biasa kita pakai ketika melihat bayi dan hal-hal imut lain. Gibran memang bukan bayi, tapi gemoy bisa juga diasosiasikan dengan muda. Apalagi sebelumnya persona Gibran di Twitter cukup “menggemaskan”, misalnya dengan memilih foto profil bergambar mukanya memakai kostum Teletubbies.

Tangkapan layar profil Twitter @gibran_tweet

Kedua, ini yang saya kira paling penting, citra gemoy ampuh untuk menutupi momok pelanggaran HAM berat yang selalu mengintai Prabowo. Kita tahu sebelumnya saat membicarakan Prabowo, yang pertama kali muncul di benak adalah penculikan aktivis 1998 oleh Tim Mawar. 

Generasi milenial akhir dan Z mungkin terlewat mengenali Prabowo ketika ia masih aktif di militer. Ia dipecat usai Soeharto lengser gara-gara keterlibatannya dalam Tim Mawar. 

Dalam surat pemecatan yang beredar, setidaknya ada delapan kesalahan Prabowo sebagai perwira yang berujung rekomendasi pemberhentiannya, salah satunya perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan. Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP tersebut dibenarkan oleh bekas anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo, Fachrul Razi.

Prabowo saat debat capres di Balai Sarbini, mengaku penculikan aktivis saat itu dilakukannya untuk mengamankan negara, untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Ia juga sempat meminta maaf kepada mantan aktivis Budiman Sudjatmiko atas apa yang terjadi pada 1998.

Hari ini, saat anak-anak muda yang menghabiskan banyak waktu berselancar di TikTok ditanya tentang Prabowo, mereka mungkin akan serentak menjawab gemoy. Dan beruntungnya ia diberkati tubuh agak berisi yang cocok dengan citra itu.

Ketika pemilih terjebak antara realitas dan pencitraan

Saya ragu citra gemoy muncul secara natural dan organik seperti yang sering diulang beberapa pendukung Prabowo. Jika pun muncul secara tidak sengaja, boleh dibilang daur ulang pencitraan itu sepenuhnya terkonsep matang untuk mendoktrin orang-orang. 

Wakil Ketua Umum TKN Prabowo-Gibran, Erwin Aksa sendiri mengakui tim di belakang kampanye Prabowo banyak belajar dari pilpres di Filipina hingga Argentina. Bongbong, anak diktator Marcos, menang pilpres di Filipina dengan mengubah imaji bapaknya menjadi pemimpin idaman pembawa kesejahteraan. 

Sementara di Argentina, Milei terpilih sebagai pemimpin baru Argentina salah satunya lewat kampanye berbasis kecerdasan buatan (AI). Milei segera menjadi populer, misalnya, lewat poster-poster AI generated yang menampilkan sosoknya sebagai singa gemoy.

Di sini, pasangan Prabowo-Gibran dengan apik melakukan simulasi ulang apa yang telah dilalui kedua negara tadi, yaitu dengan mereset ingatan masa lalu publik; membangun citra gemoy; dan menyebarluaskannya lewat peraga-peraga kampanye digital.

Tengok saja, dari ketiga paslon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Gibran paling sering menggunakan poster kartun dan ilustrasi. Bahkan ilustrasi wajah gemoy Prabowo-Gibran dicetak dalam poster-poster sepanjang jalan, bukan hanya beredar online. Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga melakukannya, tapi intensitasnya tak sesering itu.

Salah satu tampilan ilustrasi paslon Prabowo-Gibran. (Instagram @posnasprabowo)

November 2023 lalu, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin pernah menyampaikan kalau pendekatan seperti itu menjadi kelebihan Prabowo karena “masyarakat Indonesia butuh hiburan”. Dan politik, kata Ujang, tak harus serius, tapi juga butuh hiburan. 

“Di sinilah letak keunggulan Prabowo, berbeda dengan 2019 lalu, terlalu keras, terlalu serius, tidak dapat feel-nya,” ujar Ujang saat saya hubungi, Rabu (15/11/2023). 

Saya kurang sependapat dengan Ujang. Citra gemoy Prabowo memang menguntungkannya, tetapi reproduksi terus-menerus pencitraan ini tidak akan menguntungkan masyarakat dan hanya akan mengaburkan kita dari realitas sesungguhnya.

Filsuf Prancis Baudrillard pernah santer mengkritik masyarakat postmodern yang terjebak realitas semu alias hiperealitas. Salah satu sebabnya, perkembangan teknologi media yang membuat dunia menjadi “desa global”, di mana informasi berceceran segala rupa tapi tanpa kedalaman pesan.

Dalam dunia itu, batas antara realitas dan imaji jadi kabur, dan orang-orang mulai meyakini pencitraan sebagai kenyataan hakiki. Sementara realitas aslinya justru terpinggirkan. Misalnya, masyarakat postmodern cenderung membeli barang bukan berdasarkan nilai kebutuhan, tetapi gengsi sosial. Karena terdistraksi dengan gengsi tadi, sesuatu yang sebetulnya tak dibutuhkan jadi terasa penting.

Pilpres 2024 saya anggap tak jauh berbeda. Alih-alih memilih pemimpin berdasarkan realitas individunya (sepak terjang, gagasan, sikap, keberpihakan, dsb), masyarakat justru dituntun untuk memilih pencitraan dari calon pemimpin tadi. Ketika ada pemilih muda menangisi Prabowo yang dikeroyok Anies dan Ganjar saat debat capres, saya semakin yakin pencitraannya selama ini berhasil.

Untuk menyelamatkan diri dari realitas semu tadi, kita harus memalingkan muka dari citra yang berusaha ditonjolkan para calon pemimpin. Caranya mudah saja, lihat apa yang tak ditampilkan depan layar dengan sengaja. “Gemoy” adalah pencitraan, ia bukan realitas sesungguhnya. Sementara pelanggaran kode etik dalam putusan MK adalah realitas, begitu juga guyonan Prabowo saat berkata dengan bangga “ndasmu etik”.

Rekomendasi