ERA.id - Pelayanan kesehatan di Indonesia adalah hak warga yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Hal ini lalu diwujudkan melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Namun, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (22/11/2022) kemarin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melemparkan pernyataan yang cukup kontroversial. Ia berharap agar masyarakat mampu tidak membebani BPJS Kesehatan sehingga pembiayaan bisa diprioritaskan ke masyarakat tidak mampu.
"Sisanya, kita harapkan bagi masyarakat mampu tidak membebani BPJS atau negara, tapi mereka membayar sendiri melalui asuransi swasta," ujarnya.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan mengalami defisit kas bertahun-tahun sejak resmi beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Tahun lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan saat itu, Fachmi Idris menyatakan kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) milik BPJS kesehatan mulai membaik.
“Setelah dilakukan pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan, posisi per 31 Desember 2020, DJS Kesehatan memiliki saldo kas dan setara kas sebesar Rp18,7 triliun,” ujarnya, Selasa (9/2/2021).
Namun, hal itu segera diralat oleh Dirut BPJS Kesehatan yang baru, Ali Ghufron Mukti dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (17/3/2021). Ghufron memaparkan BPJS Kesehatan belum melunasi kewajiban pembayaran incurred but not reported (IBNR) sebesar Rp25,15 triliun, sehingga kas mereka masih minus Rp6,36 triliun.
“Sekarang aset netto per 31 Desember 2020 dana jaminan sosial kesehatan masih minus Rp6,36 triliun," ujarnya.
Barulah pada tahun 2021 BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit dengan total aset bersih di DJS Kesehatan mencapai Rp39,45 triliun. “Kalau 2021, kami bersyukur sudah mulai positif, meski belum sehat sekali," ujarnya dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (19/1/2022).
Jumlah itu sudah mampu memenuhi 4,83 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan dan sudah melampaui ketentuan minimum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, aset DJS dinilai sehat apabila paling sedikit mampu mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan.
Upaya pemerintah ‘memaksa’ warga jadi peserta BPJS Kesehatan
Undang-Undang Tahun 1945 Pasal 28 H menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Selain itu, dasar hukum Pelayanan Kesehatan juga termaktub dalam Undang-Undang Tahun 1945 Pasal 34 yaitu: negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sebelum ada BPJS Kesehatan, jaminan kesehatan masyarakat dikelola oleh PT Askes (Persero) lewat Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) dan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU).
Akhirnya, PT Askes (Persero) bertransformasi jadi BPJS Kesehatan setelah pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dalam Pasal 14 disebutkan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta Program Jaminan Sosial.
Kewajiban kepesertaan BPJS Kesehatan sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2019. Namun, MK menolak gugatan warga Surabaya bernama Nur Ana Apfiyanti tersebut. Menurut MK, diperlukan sistem asuransi untuk seluruh masyarakat yang bersifat wajib bagi semua warga.
Presiden Joko Widodo kemudian meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam Inpres ini, Jokowi menginstrusikan kepada seluruh kementerian dan kepala daerah untuk mendorong masyarakat menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan.
Akibatnya, kepemilikan kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat untuk berbagai proses administrasi dan pelayanan publik. Misalnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mewajibkan kepemilikan kartu BPJS Kesehatan sebagai syarat untuk melakukan jual beli tanah dan rumah.
Hal ini menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera sempat mengkritik kebijakan ini. “Karena ini sifatnya pemaksaan, bukan edukasi, justru tidak akan memperkuat BPJS Kesehatan. Harusnya ada cara lain untuk kita memperkuat BPJS Kesehatan tersebut, tidak dengan mengaitkannya ke proses jual-beli atau ke persoalan administratif lain,” kata Mardani kepada wartawan, Senin (21/2/2022).
Upaya menyehatkan kas BPJS Kesehatan yang dinilai merugikan peserta
Setelah mewajibkan masyarakat untuk mendaftar program JKN, pemerintah beberapa kali melakukan upaya agar kas BPJS Kesehatan tidak defisit, seperti menaikkan iuran bulanan. Namun, upaya ini justru kerap dinilai memberatkan peserta.
Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 dan menaikkan iuran bulanan BPJS Kesehatan. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) lantas mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Permohonan judicial review itu lalu dikabulkan MA.
Namun, pemerintah kembali menaikkan tarif BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020 lewat Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Iuran bulanan peserta mandiri kelas I menjadi Rp150 ribu (sebelumnya Rp80 ribu), kelas II menjadi Rp100 ribu (sebelumnya Rp51 ribu), dan kelas III menjadi Rp42 ribu (sebelumnya Rp25.500).
Saleh Partaonan Daulay, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, menyesalkan keluarnya Perpres tersebut. “Pasalnya, di dalam Perpres itu, pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres 75/2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (13/5/2020).
Komisi Kesehatan DPR RI juga mengkritik pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan saat dewan sedang memasuki masa reses. “Ini seakan-akan kami dikerjai,” ujar Saleh saat RDP dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (11/6/2020).
Menanggapi kritikan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah tidak melanggar keputusan MA. Menurutnya, MA hanya membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III. Sementara itu, meski jumlah iurannya naik, pemerintah memberikan subsidi Rp16.500 untuk peserta kelas III sehingga mereka tetap membayar harga semula, yaitu Rp25 ribu.
"Untuk yang kelas III dia tetap saja tidak naik. Jadi, kita tetap menghormati yang disampaikan (MA)," ujar Sri kepada wartawan, Kamis (14/5/2020).
Namun, pada tahun 2021, pemerintah memangkas subsidinya dari Rp16.500 menjadi Rp7 ribu, sehingga peserta kelas III harus membayar setiap bulan sebesar Rp35 ribu. KPCDI kembali mengajukan gugatan ke MA, tetapi kali ini ditolak.
"Kami sebagai pasien cuci darah, terutama yang kurang mampu tetapi tidak masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) tentu akan merasakan dampaknya. Apalagi, Perpres 64 Tahun 2020 juga menaikkan denda keterlambatan membayar menjadi 5 persen,” ujar Ketua KPCDI Tony Samosir dalam keterangannya, Rabu (12/8/2020).
Kini, dua tahun setelah iuran BPJS Kesehatan naik, Menkes tegaskan tidak akan ada kenaikan lagi hingga 2024. "Bapak presiden yang minta, kalau bisa jangan naik sampai 2024, jadi kita jaga benar posisi politik pemerintah agar ini tidak naik," kata Budi saat RDP dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (22/11/2022).
Masyarakat sudah bayar tapi dilarang bebani negara
Dirut BPJS Kesehatan menyampaikan jumlah peserta JKN per Oktober 2022 mencapai 246,6 juta jiwa atau sekitar 89,30 persen dari total populasi Indonesia. Sumber kas BPJS Kesehatan tak lain berasal dari premi peserta.
Dalam Panduan Layanan Bagi Peserta JKN-KIS, disebutkan bahwa peserta berhak mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Berdasarkan itu, seluruh peserta yang memenuhi kewajibannya berhak memakai dan memanfaatkan JKN-KIS, baik masyarakat mampu maupun tidak mampu.
Namun, menurut Menkes Budi Gunadi, agar tidak membebani kas BPJS Kesehatan, maka harus dibuat standarisasi kelas. "Kita melayani seluruh masyarakat Indonesia menggunakan konsep universal health coverage, itu standarnya satu," ujarnya dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (22/11/2022).
"Untuk nasabah-nasabah yang kaya, dia harusnya bisa menambah dengan mengkombinasikan iuran BPJS dengan swasta, dan yang bersangkutan harus membayar sendiri," lanjutnya. "Dengan demikian, memastikan BPJS tidak kelebihan bayar, dan kelebihan bayarnya tidak diberikan ke orang-orang yang seharusnya tidak dibayar."
Ia juga mengungkapkan ada konglomerat yang berobat menggunakan BPJS Kesehatan sehingga membebani negara. "Karena orang kaya tahu, ini coverage-nya tinggi dan bayarnya murah, akhirnya saya pakai BPJS aja," ujarnya.
Pernyataan ini lantas menimbulkan pertanyaan masyarakat, kalau begitu mengapa masyarakat diwajibkan mendaftar BPJS Kesehatan? Yang salah di sini peserta atau sistemnya?
Dalam RDP kemarin, Menkes tidak mengakui secara eksplisit kekurangan sistem BPJS Kesehatan yang sudah berjalan. Namun, ia menjelaskan bahwa pemerintah mengupayakan beberapa opsi agar tidak terjadi defisit di kemudian hari.
BPJS Kesehatan misalnya sedang menguji coba penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk menggantikan pembagian kelas I, II, dan III. Nantinya, setelah 2024, Menkes berkata pasti akan ada kenaikan premi bagi peserta. "Saatnya kita mengedukasi masyarakat, kenaikan premi itu sesuatu yang wajar terjadi," ujarnya.
Saleh Daulay tampak keberatan dengan pernyataan Menkes tersebut. "Kami harus melihat kemampuan masyarakat dalam hal ini, masyarakat itu banyak yang gak sanggup kok bayar itu. Sekarang aja gak sanggup. Apalagi nanti kalo ada, mungkin rencana ke depan naik."
Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah harus memprioritaskan kesehatan masyarakat, bukannya situasi politik. "Ini berganti rezim, tapi BPJS harus ada Pak, catat itu," ujarnya. "Namanya politik kan cair. Karena dia cair, maka apa pun perubahan wujudnya, maka BPJS harus ada, karena itu yang langsung diterima oleh rakyat."