ERA.id - Umar bin Khattab dulu begitu sengit memusuhi Islam dan Nabi Muhammad. Suatu hari ia mencari-cari sang nabi dan siap menghunus pedang untuk memenggal kepalanya. Di perjalanan, ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah. “Mau ke mana kau?” tanya Nu’aim.
“Mau bunuh si murtad,” jawab Umar.
“Si murtad yang mana?”
“Yang mana lagi? Yang memecah belah kita. Siapa lagi kalau bukan Muhammad!” tandasnya.
Nu’aim menyela Umar. Ia bilang kalau adik Umar, Fatimah, sudah masuk Islam. “Apa kamu tidak malu?”
Umar tambah naik pitam. Ia putar balik menuju rumah adiknya. Namun, amarahnya justru padam seketika setelah ia membaca lembaran ayat suci yang disembunyikan sang adik:
Thaha. Tidaklah Aku turunkan Al-Qur'an ini untuk menyusahkan manusia, melainkan untuk pengingat bagi orang-orang yang takut kepada Allah.
Dibacanya ayat demi ayat, lalu diakuinya Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Begitulah Islam menemukan Umar dan Umar menemukan Allah.
***
Ketika masuk bulan puasa, sinetron Para Pencari Tuhan selalu punya tempat di memori saya meski tak lagi mengikutinya sejak musim keempat. Saya terutama terpikat dengan judulnya, sebab saya meyakini tiap orang sama seperti Ibrahim, sama-sama pencari Tuhan. Dan selalu ada tangan tak terlihat yang menuntun kita dalam pencarian itu, seakan Tuhan menunjukkan pesona-Nya dengan cara yang tak diduga-duga seperti yang dialami Umar.
Carissa Grani, seorang dokter gigi yang terdaftar jadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga merasa dituntun Tuhan untuk menemukan-Nya, dan semua berawal dari pandemi Covid-19. Ketika banyak orang mengutuki pandemi, Carissa justru merasa mendapat pencerahan rohani.
ERA janji bertemu dengannya di musala Dinkes DKI Jakarta, Rabu (29/3/2023), tepat seminggu setelah masuk bulan Ramadan 1444 H. Menjelang asar Carissa datang dengan kerudung hitam dan sweater abu-abu. Ia bercerita jam kerjanya selama bulan puasa hanya sampai pukul 14.00 WIB.
Mulai dari dipukuli mantan suami hingga bercerai karena akidah yang berseberangan, bagaimana perjalanan Carissa yang awalnya mengaku memandang sebelah mata Islam hingga akhirnya berpasrah kepada Allah untuk segalanya? Berikut ini obrolan lengkap kami bersama sang dokter gigi mualaf.
Bagaimana awal pertemuan dokter dengan Islam?
Kalau yang tahu latar belakang saya itu, seharusnya sih saya seorang yang steril dari Islam ya. Tapi memang hidayah itu dari Allah datangnya dan bisa kapan aja, tiba-tiba berdasarkan sesuatu yang mungkin aneh gitu ya. Kayak saya sering dibilang itu penyebabnya pandemi Covid. Di saat kita lagi sering digerakkan pakai masker gitu ya.
Dulu kan dari enggak pakai harus pakai gitu ya, terus rajin cuci tangan, terus enggak boleh jabat tangan dulu kan. Sampai ada yang pakai siku, pakai kaki. Nah saat itu saya lagi sering rapat di Balai Kota, enggak sengaja lihat perempuan yang pakai niqab (cadar).
Dulu sih jujur aja, mohon maaf, kalau lihat perempuan pakai niqab kayak apa sih, sampai tutup tinggal kelihatan mata doang gitu. Emang kalau lihat muka doang naksir? Tapi saat itu, hari itu yang saya pikir hari yang biasa aja, dan di situlah Allah kasih hidayah, yang tadinya saya mandang sebelah mata wanita bercadar, justru di situ kayak Allah muliakan, kayak saya suruh ngelihatin terus.
Terus saya perhatikan, kok hari-hari ini kita kayak dia ya, pakai cadar kan, kayak pakai masker. Terus dia juga wudhu ya. Terus ketemu yang bukan mahramnya dia enggak salaman gitu. Kok bisa ajaran yang sudah 14 abad lalu, berabad-abad lalu, kok in line sama kondisi sekarang ya?
Mulai tuh tertarik untuk cari tahu, tapi semuanya terkait dengan medis, karena mungkin dengan latar belakang pendidikan. Jadi saya melajarin manfaat salat, gerakan salat secara medis, manfaat wudhu secara medis.
Pada penelitiannya waktu zaman Covid itu, katanya virus itu sebenarnya enggak langsung masuk ke tubuh manusia, tapi 3-4 jam itu ada di rongga hidung. Kalau kita bisa jaga wudhu, orang Islam itu orang yang terakhir kena corona. Saya heran, masak sih?
Dari situ saya mulai ngulik-ngulik tarikh Islam, sampai akhirnya tuh ngarah ke mulai galau, kayak di persimpangan jalan. Melakukan yang lama mulai ragu, yang baru belum bisa. Belum bisa salat, belum bisa baca huruf Arab gitu kan. Dua minggu tuh kayak pergumulan batin.
Sejak ketemu orang yang pakai niqab di Balai Kota?
Iya. Sebenarnya Al-Qur’an tuh udah ada di rak buku rumah saya, udah lama, bersama kitab-kitab suci lainnya.
Memang dokter ini suka koleksi atau suka baca-baca gitu?
Kan suami saya itu, almarhum suami yang pertama itu teologi. Kalau teologi itu kan dia belajar juga agama-agama lain. Nah ada kitab-kitab agama lain juga. Tapi Al-Quran tuh istilahnya yang paling terakhir saya baca. Termasuk kalau ada kelas Islamologi, itu tuh saya paling malu, saya kayak males-malesan berangkat gitu.
Sebenarnya lingkungan sih banyak yang muslim, dekat juga sama temen-temen yang muslim. Tapi ya enggak kepikiran untuk jadi muslim lah.
Nah, terus dari situ lah mulai tuh galau-galau gitu. Akhirnya saya memberanikan diri cerita sama salah seorang teman, tapi saya ngomongnya ke teman yang laki-laki. Karena kan mikir kalau perempuan suka ember.
Saya cari tuh di Instagram teman-teman saya, ada satu teman yang anaknya suka setoran hafalan suka direkam. “Ini saleh nih,” gitu kan. Saya beraniin diri tuh DM.
“Bang, izin Bang, saya kok kayak tertarik dengan Islam ya.”
Langsung takbir dia. “Tapi mohon maaf ya, saya senang kamu tertarik dengan Islam, tapi mohon maaf kita bukan mahram, kamu belajarnya harus dengan yang sama-sama perempuan.”
Jadi beneran saleh, biasanya kan jadi kesempatan modus, ini enggak gitu. Saya diarahkan ke Mualaf Center, saya ingat betul 15 Maret 2020, ke sana bertemu Bunda Sri. Itu tuh enggak nanya saya statusnya apa, sudah punya anak belum, dan sebagainya, cuman nanya kenapa?
Terus saya sampaikan yang tadi, saya tertarik dengan Islam. Terus dia jelaskan tauhid, rukun iman, rukun Islam, tiga jam, dari jam 9 sampai azan Zuhur. Pas azan Zuhur beliau bilang, “Ya udah, sekarang Bu Carissa mau gimana?”
“Ya udah saya belajar dulu ya Bunda.”
“Oh ya boleh. Nanti belajar salat, ngaji di sini, tapi mohon maaf, belum dihitung pahalanya.”
“Oh, kenapa Bunda?”
“Ya argonya belum jalan, belum syahadat.”
“Oh, syahadat ya? Apa itu Bunda?”
“Percaya Allah, percaya Muhammad utusan Allah, itu syahadat.”
Ya sudah saya syahadat, sesimpel itu.
Jadi hari itu juga memutuskan syahadat?
Iya, langsung diambilin gamis, diambilin kerudung. Kan saya datangnya masih pakai kemeja, belum tutupan ya. Terus langsung dipimpin syahadat. Terus dibilangin, “Setelah ini kamu mandi besar, sudah kena kewajiban salat ya.”
Udah sampai di situ, di kantor setiap azan tuh saya hilang pasti. Saya juga nyari temen, ibu-ibu yang berkerudung, ngajak ketemu di musala.
"Ngapain dokter Carissa minta ketemu di musala?"
"Bu, saya habis syahadat hari Minggu kemarin."
"Saya ikut senang Dokter Ica, tapi Dokter Ica mikir enggak sih habis ini gimana? Terus Dokter Ica tahu enggak, sejak hari itu Dokter Ica haram hubungan sama suami," gitu katanya.
Tapi saya enggak ngerasa kayak wah kemarin saya dijebak berarti, enggak. Saya ngerasanya malah langsung gini, oh ya udah kalau itu harga yang harus saya bayar. Waktu itu pemikirannya seperti itu.
"Terus anak-anak gimana Dokter Ica?"
“Ya udah Bu, saya udah ikhlas deh Bu. Kalau sebatang kara ya udah. Saya cuma punya Allah aja udah lebih dari cukup. Saya mati dalam keadaan Islam,” saya bilang gitu, enggak tahu kenapa bisa ada tauhid seperti itu ya.
Terus kan saya masih ngumpet-ngumpet salat di rumah. Karena ada anak-anak kecil kan jadi masih ada CCTV semua titik gitu. Nyari yang blind spot di mana ya? Ada satu tempat itu di depan tempat praktek saya, kecil banget. Ya udah di situ saya sampai berdoa sama Allah, “Ya Allah, saya boleh enggak ketahuannya kalau saya muslim kalau udah selesai baca Al-Quran terjemahan? Supaya saya enggak malu-maluin atau salah jawab tentang Islam.”
Dan Allah benar-benar kabulkan tuh, kalau enggak salah minggu ketiga Ramadan itu saya selesai baca Al-Quran terjemahan, saya udah deg-degan, bentar lagi ketahuan. Satu-dua hari kemudian, kalau enggak salah itu langsung ketahuan.
Yang pertama ketahuan itu alat salatnya, ini punya siapa? Padahal sudah dirapiin, sudah diumpetin, tapi ketahuan. Terus dikasih ultimatum:
“Kamu harus balik lagi ngajarin anak-anak ayat hafalan Bible, saya rela masuk penjara karena bunuh kamu, daripada anak-anak tahu maminya masuk muslim.”
Tapi tadinya, waktu saya bilang pengacara saya kalau ketahuan gitu, saya disuruh tiarap istilahnya, “Ya udah jangan salat dulu lah, jangan kelihatan.” Tapi enggak tau kenapa, itu ada ayat Al-Qur’an: Jadikan salat dan sabar penolongmu. Jadi saya mikirnya justru yang harus saya perjuangkan itu salatnya, apa pun yang terjadi.
Setiap jam-jam salat, sering saya malah diajak pergi. Terus enggak ada alat salat, saya pakai seprai. Terus di jalan saya tayamum di mobil, komat-kamit.
Waktu ketahuan itu kapan?
Ketahuan pertama itu 15 Mei 2020. Ketahuan kedua 31 Mei 2020. Itu nambah lagi ultimatumnya. Jadi itu saya posisi lagi mau tahajud, saya pikir jam 3 udah pada tidur. Saya enggak di tempat yang blind spot, saya di kamar anak. Saya pikir kan lampu mati, enggak ada orang.
Nah, saya sama sekali enggak kedengaran, tiba-tiba pintu kamar dibuka, jegrek, dinyalain lampu. Saya udah kepalang tanggung kan, ya udah saya beresin alat salat, saya keluar nyamperin suami saya. Langsung kata suami saya, “Apa? Kamu nyari The Latest One?! Apa yang kamu cari? The Latest One itu?!”
Saya baru mau jawab, langsung dipukul. Beliau ada latar belakang sajana hukum juga, jadi tau mana yang bisa divisum. Kuping, kulit kepala, itu agak susah bekasnya kan. Terus akhirnya saya dikenain, mungkin maksudnya sasarannya kuping ya, jadi kuping itu juga pusat keseimbangan, jadi saya langsung jatuh di situ.
Saya bilang, “Sakit Daddy, sakit Daddy!”
Terus dilanjutin lagi. Mungkin karena takut saya teriak-teriak kedengeran di tempat lain, ditarik lagi ke kamar, dijambak, dijedot-jedot lagi ke tembok. Saya udah pasrah itu, saya lemas, enggak ada perlawanan sama sekali, enggak jawab sama sekali. Saya cuman zikir tiga waktu itu tahunya: istighfar, doa Nabi Yunus, doa Nabi Ibrahim.
Ditanya apa, saya diam, jujur dalam hati itu zikir terus. Terus saya dibawa ke rumah mertua. Saya sempat mau dikasih minum, saya pikir saya udah enggak jadi tahajud, enggak jadi sahur, enggak jadi salat Subuh, masak puasa batal juga?
Itu pas puasa?
Puasa Ramadan, minggu ketiga. Terus saya tempelin di bibir doang tuh airnya. Saya didoain, dikirain kemasukan setan. Ini mungkin kamu kemasukan setan atau selingkuh kan? Punya pacar sama pak haji, mau nikah lagi gitu?
Oh banyaklah tuduhannya. Jangankan orang lain heran, saya sendiri aja heran. Waktu saya mau menuju Mualaf Center itu ya, di jalan tuh sampai mikir, “Ya Allah, aku ini lagi kenapa?” Saya itu dulu waktu remaja, udah dari kecil, kan ada sekolah Minggu, itu saya tuh enggak boleh absen, enggak boleh telat datang. Jadi, zaman dulu tuh saya ada film Doraemon dll enggak pernah ngikutin, karena udah waktunya berangkat.
Dulu dokter berarti termasuk penganut agama yang taat ya?
Termasuk ya. Papa mama tuh kayak aktivis gitu, walaupun bukan pendeta. Remaja juga makin aktif lagi, makin misionaris ke desa-desa gitu kan. Terus apalagi nikahnya sama pendeta. Jadi yang kenal saya tuh mikir enggak mungkin, pasti ada sesuatu.
Di sana saya dipukulin lagi, tapi diem aja saya, sepatah kata pun enggak ngomong. Sampai di rumah, mungkin suami kelelahan ya, beliau tidur, tapi karena anak-anak sudah bangun saya mandiin anak-anak. Lagi mandiin anak-anak, tiba-tiba polisi datang tiga orang, saya keluar. “Kenapa Pak?”
“Tadi suami dapat laporan.”
Mungkin dari tetangga ya ada keributan. Saya usir polisinya untuk pulang, nanti kalau suami saya bangun dikira saya yang ngelaporin. Tapi matanya polisi kayaknya lebih jeli ya, jadi pelipis saya udah mulai memar, hitam. Bibir udah mulai ada yang memar juga, hitam. Terus dibuka sama polwan, masih ada bekas ruas jari di paha.
“Enggak bisa, Ibu harus ikut kita sekarang juga, visum, BAP, segala macem.”
Itu heboh-hebohnya lagi di situ sih. Jadi itu ternyata rencana Allah juga ya. Jadi berkas itu lengkap hari itu juga. Sampai BAP, saksi yang dengar, itu semua selesai. Biasanya kan lama tuh ya proses itu. Dan padahal bukan dengan inisiatif saya.
Itu berkas berproses, terus sampai kejaksaan. Suami mau diciduklah sama kejaksaan. Itu beliau tadi dari yang rela masuk penjara, tiba-tiba beliau nyari-nyari pengacara saya, bilang, “Ya udah, Ica mau apa aja saya turutin, saya kabulin permintaannya asal dicabut laporan KDRT-nya.”
Saya cuma minta tiga waktu itu, karena akidah saya, sekarang saya minta cerai baik-baik, hak asuh anak, sama harta bersama buat anak-anak, saya bilang gitu. Terus beliau langsung oke tanpa perlawanan. Alhamdulillah gitu ya, dipermudah, dipercepat.
Waktu proses itu dokter tinggal di mana?
Saya dibawa ke pondok pesantren Umi Irena Handono untuk mualaf di Sentul, Bogor. Saya mikirnya saya di tempat kos-kosan, kontrakan gitu ya, ini langsung di pesantren. Masya Allah, benar-benar pendampingannya luar biasa.
Karena masa pandemi ya, jadi saya kayak santri privat gitu, gurunya yang datang sendiri, nyamperin saya satu sendiri. Cuma gurunya yang ganti-ganti. Guru akidah sendiri, guru fikih sendiri, guru tarikh Islam sendiri, guru Kristologi sendiri. Termasuk anak-anak pertama kali tahu saya salat, terus dengar saya belajar hijaiyah di sana.
Itu berapa lama di pesantren?
Tiga bulan, sambil nunggu proses tadi, proses hukumnya. Enggak ada maksud gimana-gimana sih sama keluarga, emang sempat kucing-kucingan. Tapi sambil berdoa, “Ya Allah, semoga dikasih pertemuan di waktu yang tepat.” Gimana pun tetap harus berbakti ke orang tua.
Allah pertemukan di kantor polisi, saya langsung sungkem istilahnya, langsung sujud di kaki mama, kaki papa, tapi sama papa saya langsung diangkat, enggak boleh sujud. Terus mama agak bercanda, “Ya udah masuk Islam, tapi jangan pakai kerudung,” katanya. “Masak kerudungnya panjang kayak gitu, enggak modis kayak mama. Mama tuh fashionable.”
Mungkin maksud beliau, Islam aja, tapi jangan langsung pakai kerudung, kan langsung ketahuan. Pelan-pelanlah.
Bagaimana rasanya masuk pesantren?
Di pesantren itu luar biasa. Itu seminggu di sana saya belum pakai kerudung Mas, dan enggak dipaksa juga di sana.
Hubungan dengan anak-anak bagaimana? Apakah langsung mengajarkan Islam?
Alhamdulillah ada yang berangkatkan saya umrah, di situ saya memang banyak berdoa ya, salah satunya minta supaya anak-anak saya bisa menjalani syariat Islam sebelum baligh. Anak saya tiga.
Saya pegang prinsip waktu itu tidak ada paksaan dalam Islam. Kalau mau dipaksa mungkin bisa, anak saya kan masih kecil-kecil, 11 tahun, 9 tahun, 5 tahun. Kalau mau dibentuk bisa aja, tapi saya pikir akidahnya nanti enggak kuat. Kalau ditanya nanti dia akan bilang karena disuruh mami, bukan karena proses mereka belajar.
Tapi namanya orang tua pasti kita merasa bertanggung jawab ya atas akidah anak-anak, doa enggak putus, tapi untuk ngajar itu saya itu biasanya di perjalanan, ketika mereka bertanya.
Akhirnya Allah kasih jalan, September kemarin saya umrah, bulan Februari kemarin saya ada yang melamar, terus 3 Maret itu saya menikah alhamdulillah. Ternyata itu menjadi jalan hidayah buat anak-anak saya.
Suami saya yang kedua ini punya anak empat, saya tiga. Kemarin itu kami enggak honey moon ke mana-mana, tapi mutusnya untuk umrah lagi. Saya umrah itu ya Masya Allah, enam bulan lalu berdoa, termasuk untuk dapat imam, ternyata enam bulan kemudian datang ke sana dengan imam untuk membawa saya dan anak-anak ke surga.
Nah pulang dari umrah itu suami saya nerapin challenge daily, jadi Ramadan tracker: ada puasa full, ada salat fardhu full, terus infak sedekah buat kebaikan, tarawih, baca Al-Qur’an. Anak saya ikutan. Sampai akhirnya, alhamdulillah hari Senin kemarin, itu anak saya minta bersyahadat.
Itu tiga-tiganya?
Iya. Jadi malamnya itu bapaknya lagi ngajarin satu orang yang lain, terus yang mereka cuma Al-Fatihah. Paginya, sempat mereka bertanya-tanya tentang Islam. Sempat bertanya-tanya apakah mereka tetap Kristen atau ke Islam gitu. Panjang lebar pembicaraan hari Minggu pagi itu, sampai dari mereka memutuskan untuk mau ikut Mami sama Abi.
Akhirnya, abinya nuntun syahadat dulu. Cuma untuk mengukuhkan ya, hari Seninnya kami ajak ke Mualaf Center untuk diresmikan dalam surat gitu. Dan dituntun syahadat lagi di sana, disaksikan gitu.
Dan Masya Allah, anak saya tuh, saya pikir juga mungkin masih nanti-nanti ya, yang perempuan tuh langsung minta nutup aurat, minta pindah sekolah yang pakai jilbab. Yang sekolah lama kan sekolah internasional, enggak boleh pakai kerudung. Jadi saya harus pindahin sekolah gitu.
Masya Allah, bener-bener itu sampai kami nangis sama suami. Sebenarnya kami udah komit bahwa kami enggak mau anak-anak tertekan juga psikologisnya. Ternyata kalau Allah sudah berkehendak, kun fayakun itu betul banget.