ERA.id - Kemarin adalah malam yang ganjil. Dalam perjalanan pulang kantor, di Stasiun Tanah Abang saya dapat telepon dari istri. Katanya, pintu kulkas kurang saya tutup rapat, stok ASI di dalamnya mencair setengah. Saya langsung mulas mendengarnya, dan sepanjang perjalanan ke Stasiun Cikarang perasaan saya gelisah merenungi keteledoran tadi pagi.
Sesampainya di rumah, saat memantau berita malam, saya mendapat kabar seorang suami laknat menggorok istrinya hingga tewas di Cikarang. Jaraknya tak sampai 10 km dari kontrakan saya. Sepanjang malam saya sulit tidur membayangkan bagaimana manusia bisa berbuat sekeji itu? Dan betapa kesalahan saya sebelumnya jadi tampak remeh sekali.
Membaca detail kronologinya tambah membuat perut saya mulas. Awalnya, tersangka cekcok dengan sang istri lalu menampar pipinya keras-keras. Korban lalu diseret ke dapur dengan tangan kiri dan tangan kanan tersangka meraih pisau lalu menyayat lehernya hingga urat nadinya terpotong dan tewas begitu saja.
Jasad korban yang tak bernyawa dibawa sang suami ke kamar mandi, tubuhnya yang lemas menuju kaku dimandikan, sebelum akhirnya dibaringkan di kasur telanjang bulat sambil diselimuti.
Tersangka lalu membawa kedua anaknya yang masih balita ke rumah sang mertua, lalu ia pergi ke rumah orang tuanya sendiri untuk mengakui perbuatan biadabnya dan menyerahkan diri ke polisi.
Yang menyedihkan dari tragedi tadi adalah, ketika membaca beritanya, saya merasa harusnya itu bisa dicegah. Apalagi mengetahui tersangka punya reputasi jadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bolak-balik.
Namun, berkat kombo pihak berwenang yang angin-anginan mengusut kasus KDRT dan tetangga yang abai dengan jeritan tolong sekitarnya, membuat pembunuhan itu mungkin terjadi.
Di atas semuanya, masih banyak masyarakat kita yang memaklumi kekerasan suami. Tahun lalu, waktu ramai-ramai kasus Lesti-Billar, saya masih ingat pedangdut Inul berkomentar bahwa wajar saja dalam rumah tangga muda ada pukul-pukulan. Saya yakin yang berpikiran demikian bukan Inul seorang.
Coba mari kita kuliti satu per satu apa yang salah dari tragedi pembunuhan istri di Cikarang kemarin.
Sudah lapor KDRT, tapi tak ada tindak lanjutnya
Korban pembunuhan di atas sudah menikahi suaminya selama kurang lebih tiga tahun, menurut pengakuan kakak korban. Dan kekerasan yang dialami adiknya bukan sekali ini terjadi. Seandainya korban masih hidup dan tidak bercerai dengan sang suami, niscaya ia bakal terus jadi samsak tinju.
Mirisnya, korban ternyata sudah pernah mengadu ke keluarganya bolak-balik dan melaporkan suaminya ke polisi, tepatnya ke Mapolres Metro Bekasi. Dan ia bukannya melapor dengan tangan hampa, tapi datang membawa hasil visum kekerasan yang menimpanya beserta bukti-bukti lain yang dikumpulkan diam-diam selama tiga tahun.
Sayangnya, menurut sang kakak, suami korban menyangkal tuduhan dan polisi memilih menyetop kasusnya. Senada dengan keterangan kakak korban, salah seorang sahabatnya, Rina, juga bercerita kepada ERA kalau korban curhat laporan KDRT-nya mandek begitu saja.
Jika benar demikian, tentu ini problem. Padahal, lembaga sekelas DPR saja sudah woro-woro bulan Mei lalu kalau “Indonesia darurat KDRT” dan “keadilan harus ditegakkan”. Sepanjang 2022 lalu saja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan, 58,1% di antaranya terjadi dalam rumah tangga.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani pernah mengungkapkan bahwa 83% kasus KDRT berakhir dengan meninggalnya istri di tangan suami. Apa motifnya? Mayoritas karena kecemburuan dan ketersinggungan maskulin seperti soal penghasilan suami lebih rendah ketimbang istri.
Hal itu juga jadi salah satu alasan yang mengantarkan istri di Cikarang berinisial MSD kepada kematiannya. Berdasarkan keterangan pers pihak kepolisian, sang suami tega menghabisi nyawa istrinya karena sakit hati dimaki-maki korban yang punya penghasilan lebih tinggi.
Tetangga dengar keributan, tapi tak digubris
Korban bersama suaminya mengontrak rumah di Cikarang Barat, dan perempuan berusia belum genap 25 tahun itu menjemput ajalnya di sana. Kanan-kiri kontrakan korban diapit rumah tetangga. Malam ketika korban meregang nyawa, tetangga dengar ada keributan dan panggilan minta tolong, tapi mereka tak menggubrisnya.
Deden, kakak korban, mengungkap bahwa tetangga sebelah kontrakan mendengar adiknya cekcok dengan sang suami.
“Dari saksi tetangga sampingnya sebelum kejadian pembunuhan itu, tetangga dengar adik saya ngomong ‘gua capek bayar utang lu terus’," ujar Deden di Polsek Cikarang Barat, Senin (11/9/2023).
Hingga hari ini, kekerasan domestik masih sering dianggap sebagai ranah privat. Dan kita kerap diajari untuk tidak mencampuri urusan dapur orang lain. Tak heran, dalam banyak kasus KDRT, korbannya enggan melapor dan orang luar cenderung enggan mengintervensi. Kita baru ramai membahasnya saat korban mati tanpa merasa ikut bertanggung jawab.
Okky Setiana Dewi, artis yang kondang sebagai “ustazah” malah pernah berceramah kalau KDRT itu aib yang seharusnya ditutup-tutupi istri demi kemuliaan dan keharmonisan rumah tangga mereka.
Orang-orang digiring untuk percaya bahwa KDRT adalah aib, dan semakin kita percaya, yakinlah semakin banyak korban yang bakal berjatuhan. Tentu ada batasan di mana kita tak bisa mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi batas itu tak termasuk kekerasan. Karena kekerasan sendiri adalah tindak kriminal dan secara otomatis melewati batas hubungan privat.
Sebagaimana kita secara insting menolong orang yang kecolongan di jalan dan mengejar pencurinya, harusnya kita juga bisa mengulurkan tangan kepada tetangga yang babak belur dibogem tiap hari oleh pasangannya.
Dan kepada korban di luar sana yang memilih bungkam sambil percaya setiap orang bisa berbenah diri dan patut diberikan kesempatan kedua, saya tak bosan-bosan bilang ada jenis manusia kepala batu yang sulit–atau malah tak bakal–berubah, seperti dalam kisah katak dan kalajengking. Pernah dengar?
Alkisah, seekor katak yang ingin melintasi sungai ditahan oleh kalajengking yang ingin menumpang sampai ke seberang. Namun, katak menolak. “Aku takut disengat di tengah jalan,” katanya.
“Tidak akan,” jawab kalajengking. “Kalau kamu mati, aku juga bakal ikut tenggelam.”
Akhirnya katak terbujuk juga. Ia gendong kalajengking di punggungnya lalu masuk ke dalam air. Di tengah jalan, punggungnya terasa nyeri, dan ia lihat ekor kalajengking menusuknya dalam-dalam. Sambil menatap mata kalajengking sebelum tenggelam, ia berbisik. "Bodoh, kenapa kamu begitu? Sekarang kita berdua bakal mati."
Kalajengking memeluknya erat. "Karena aku kalajengking, sampai kapan pun tetap begitu."