ERA.id - Macet jadi momok yang selalu menghantui warga Jakarta dan sekitarnya. Berbagai rekayasa lalu lintas dilakoni untuk mengakali kemacetan ibu kota, mulai dari aturan 3 in 1 hingga ganjil-genap. Namun, kepadatan jalan tak kunjung terurai. Imbasnya ditanggung para pekerja yang setiap hari harus berkomuter dan menghabiskan berjam-jam waktu di jalan.
Menurut survei Boston Consulting Group tahun 2017, Jakarta menempati peringkat kedua kota dengan waktu tempuh berkomuter terlama di Asia Tenggara, dengan rata-rata waktu tempuh 68 menit. Pada kenyataannya, sebagian pekerja bahkan harus merelakan waktu hingga 2 jam sekali jalan.
Tak ayal, Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index tahun 2021.
Beberapa pekerja yang berkantor di Jakarta membagikan cerita-cerita mereka di media sosial dengan nada sendu. Seorang perempuan bernama Hana misalnya tiap pulang-pergi naik commuter sering melihat pantulan dirinya di kaca gerbong sambil membatin, “Enggak bisa begini terus. Still cannot refrain from doing the same.”
Rata-rata pekerja yang terlalu lama di jalan merasa waktu mereka terbuang percuma. Semakin panjang perjalanan, semakin banyak kesempatan yang disia-siakan. Maka jeda waktu selama menunggu sampai tujuan biasanya mereka habiskan dengan memikirkan banyak hal—tak jarang sambil merenungi dan mengutuki nasib. Dan ternyata banyak penelitian yang membahas soal commuting stress atau stres perjalanan.
Dua peneliti dari Universitas Indonesia misalnya merilis laporan berjudul “Pola Perilaku Komuter dan Stres: Bukti dari Jabodetabek”. Mereka menganalisis hubungan perilaku berkomuter terhadap kecenderungan terkena stres. Data penelitiannya berasal dari Survei Komuter Jabodetabek oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014.
Dari hasil penelitian mereka, ditemukan bahwa setiap kenaikan waktu tempuh dalam berkomuter sebanyak 10 menit berasosiasi pada kecenderungan seseorang untuk terkena stres sebesar 0,8-1,8%. Artinya, semakin lama seseorang berkomuter ke kantor, ia semakin rentan mengalami stres.
Siapa yang rentan mengalami commuting stress?
Menurut Lazarus, psikolog kondang Amerika era 1960-an, stres terjadi jika seseorang menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan situasi lingkungan fisik dan sosial. Situasi dan lingkungan sekitar—termasuk berkomuter—dalam hal ini menjadi sumber stres individu.
Dalam penelitian “Pola Perilaku Komuter dan Stres: Bukti dari Jabodetabek”, disebutkan bahwa pengguna kendaraan bermotor dan transportasi umum lebih rentan mengalami stres dibandingkan mereka yang berjalan kaki dan bersepeda.
“Transportasi aktif seperti berjalan dan bersepeda memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dibandingkan komuter pengguna mobil maupun transportasi publik,” tulisnya.
Beberapa riset di Inggris, Australia, hingga Kanada juga membuktikan bahwa transportasi aktif punya tingkat kepuasan tinggi dan tingkat stres paling rendah dibandingkan transportasi lainnya. Alasannya karena mereka yang berjalan kaki atau bersepeda secara aktif melatih fisiknya saat berkomuter.
Selain itu, lama waktu tempuh seperti sudah disebutkan sebelumnya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Itu termasuk jarak tempuh perjalanan. Penelitian oleh Rüger, Pfaff, Weishaar, dan Wiernik (2017), menunjukkan bahwa perjalanan jarak jauh berkaitan dengan tingkat stres yang lebih tinggi.
Terakhir, menurut salah satu penelitian di jurnal Transport Review, bepergian sendirian lebih rentan stres daripada bepergian bersama teman.
“Kepuasan menurun seiring lamanya perjalanan, apa pun moda transportasi yang digunakan, dan meningkat saat bepergian bersama teman,” tulis penelitian oleh Kiron Chatterjee dkk.
Sangat bisa dipahami mengapa berkomuter sendirian dapat terasa lebih melelahkan, sebab pikiran kita tidak teralihkan dengan hal-hal di luar pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Sementara keberadaan teman di perjalanan membuat waktu tempuh terasa relatif lebih cepat dengan adanya distraksi dan komunikasi dua arah.
Kiat-kiat mengurangi stres di jalan
Dari penuturan singkat tadi kita dapat menyimpulkan tiga hal yang memungkinkan tingkat commuting stress lebih tinggi, yaitu: Minim transportasi aktif; waktu dan jarak tempuh yang panjang; dan ketiadaan teman seperjalanan.
Untuk mengurangi kemungkinan stres akibat perjalanan, mula-mula kita bisa lebih aktif lagi berjalan kaki jika memungkinkan. Selanjutnya, ketika waktu dan jarak tempuh tak bisa diotak-atik lagi, maka kita masih bisa mengatur aktivitas kita selama perjalanan untuk menghindari stres.
Pada dasarnya, berkomuter dalam waktu cukup lama ikut mempengaruhi tingkat stres seseorang dikarenakan hal tersebut akan mengorbankan aktivitas lain yang lebih positif. Misalnya, dua jam di perjalanan harusnya cukup untuk bermain bersama keluarga, bersih-bersih rumah, mengasah kemampuan baru, dll. Produktivitas tadi hilang gara-gara waktunya habis di jalan.
Daripada menghabiskan waktu perjalanan dengan melamun dan merenung, kita bisa memanfaatkannya untuk merencanakan agenda selanjutnya di tempat tujuan. Dalam perjalanan ke kantor, kita bisa memikirkan apa yang harus dikerjakan sesampainya di meja kerja. Dalam perjalanan pulang, kita bisa memikirkan menu makan malam, menyiapkan gurauan untuk pasangan atau rencana liburan akhir pekan.
Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan waktu tempuh sebagai jam belajar dan rekreasi. Misalnya dengan mendengarkan podcast, audiobook, melihat konten-konten edukatif, menonton film dan serial favorit, membaca buku, hingga bermain gim. Dengan begitu, waktu berkomuter menjadi waktu untuk kita melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan maksimal di rumah maupun kantor.
Selanjutnya, kita bisa mencari teman seperjalanan untuk mengisi waktu, misalnya dengan mengajak pulang bersama teman sekantor yang rumahnya satu arah dengan kita. Di samping bisa menemani kita mengobrol dan bergurau sepanjang jalan, ia juga bisa menjadi pengingat bahwa bukan hanya kita seorang yang berjuang melalui rutinitas serupa tiap hari.