Kalian sedang membaca rubrik Stori yang merupakan berita dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. Dalam tulisan kali ini, kami mewawancarai Wati, seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang terjerat judi online hingga rugi puluhan juta rupiah. Kisah Wati dituturkan ulang dalam format sudut pandang orang pertama oleh penulis ERA Agus Ghulam.
ERA.id - Kata orang, tahun baru, awal baru. Aku sempat memercayainya hingga tahun ini semua hancur berkeping-keping di minggu kedua awal tahun. Aku hanya bisa termenung dalam kamar, menatapi tembok kosong, dan meratapi jutaan rupiah yang pergi dari rekeningku hanya dalam hitungan menit. Semua gara-gara slot keparat dan kebodohan yang selalu membuatku terjerat, lagi dan lagi.
Kupikir tekadku sudah bulat untuk berhenti main judi online sejak kekalahan terakhir tahun lalu membuatku rugi belasan juta. Aku bergabung ke grup "Penjudi Hijrah" di Telegram, berbagi cerita yang tak bisa kubagikan kepada siapa-siapa selain sesama pecandu judi. Puluhan orang rungkad kusaksikan di sana. Ada yang rugi jutaan hingga ratusan juta rupiah; ada pemain baru hingga mereka yang kecanduan judi bertahun-tahun.
Aku sendiri terhitung masih pemula yang baru mengenal judi online setahun terakhir. Namun, kerugianku ditotal-total sudah tembus puluhan juta rupiah. Tabunganku bangkrut—terakhir hanya tersisa Rp5 juta di rekening. Anak semata wayangku baru sekolah TK dan dengan bodohnya uang yang bisa dipakai untuk biaya pendidikannya kelak malah kupertaruhkan di putaran slot.
Main judi terpikat suami
Awalnya, aku hanya ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari sibuk mengurusi anak dan menata rumah. Aku dan suami menikah tahun 2018 silam. Kami pun tinggal di Surabaya. Ia bekerja sebagai admin yang sering penugasan keluar kota, sedangkan aku berhenti dari pekerjaanku di toko aksesoris hp agar bisa fokus menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan anak.
Tak kusangka petaka kemudian datang dari suamiku sendiri. Ia memang bukan lelaki tukang pukul atau absen menafkahi keluarga. Nafkah lahir batinku terpenuhi. Namun, ia juga yang pertama kali memperkenalkanku dengan judi online—kotak pandora yang seharusnya tak pernah dibuka hanya karena penasaran.
Sepulang kerja, beberapa kali kuintip ia sedang asyik bermain hp di kamar. Kupikir itu gim yang biasa muncul di iklan-iklan Youtube semacam Candy Crush. Setelah kuamat-amati lagi, ternyata ia sedang bermain judi slot. Aku sering mendengar soal itu, tetapi belum pernah sekali pun mencobanya.
Sekali-dua kali, aku hanya melihatnya sekilas lalu. Setelah beberapa waktu, aku penasaran juga. “Apa sih serunya main slot?” pikirku dengan polos. Gayung bersambut, bukannya menghalang-halangi agar tak ikut terjerumus, suamiku justru mengajarkanku cara bermain slot.
Ia bilang sesekali saja mainnya, pasang depo kecil-kecil, jangan lebih dari Rp50 ribu. Kalau dikasih menang lumayan, segera tarik dan jangan diputar lagi.
Mengikuti arahan suami, aku mulai bikin akun di situs judi online dan menaruh deposit Rp50 ribu. Iseng-iseng saja, batinku. Toh duit segitu kalau hilang juga ikhlas, kalau dikasih dua kali lipat ya beruntung. Percobaan pertama gagal, duitku raib. Harusnya setelah itu aku berhenti, tetapi tidak. Belakangan aku baru sadar judi seperti lumpur hisap, sekalinya kaki dicelup, ia akan terus terjorok ke dalam, dan tahu-tahu kita sudah tenggelam hingga leher.
Kalah sekali, aku tidak kapok dan tambah penasaran. Aku harus merasakan kemenangan barang sekali, setelah itu baru bisa berhenti. Dulu aku beranggapan seperti itu, sungguh bodoh. Aku memasang depo lagi Rp50 ribu, kalah lagi, pasang lagi, kalah lagi, dan sekalinya menang hanya sedikit. Aku pun mulai membatin, “Tak boleh sampai rugi, minimal balik modal.”
Bandar lalu memberiku kemenangan Rp3 juta pada percobaan ke sekian. Aku girang betul waktu itu. Aku langsung menariknya ke rekening dan berhasil. Melihat pemasukan dari judi itu aku baru merasa keuntungannya begitu nyata. Bayangkan, hanya bermodal puluhan-ratusan ribu, bisa dapat kembali jutaan. Tinggal pencet sana, pencet sini, sambil komat-kamit dan rebahan.
Di titik ini, aku sepenuhnya lupa peringatan suami untuk main kecil-kecil saja dan bersenang-senang. Menang Rp3 juta selain membuat girang, sekaligus ada penyesalan pahit di kepala, “Seandainya pasang lebih besar, pasti bisa dapat belasan juta.” Setan mulai menari-nari.
Keuntungan tadi hanya mampir singkat di rekening. Aku menariknya lagi dan bertaruh kembali di slot, dengan harapan max win, untung berlipat-lipat. Sialnya semua hanya berjalan mulus di kepala. Bukannya beranak-pinak, uangku itu malah hangus tak ada baunya.
Lingkaran setan judi online
Tak terasa aku mulai terjebak dalam lingkaran setan ini: Menang tidak tenang, kalah penasaran. Main judi sama dengan cara cepat hancur lebur. Kalah-menang sama saja. Dan yang mengerikan, para penjudi sepertiku meski sudah bolak-balik dibikin sakit hati, terus saja memilih bertahan dalam hubungan yang beracun.
Aku juga heran, sudah rugi puluhan juta; tabungan ludes; uang bulanan harus diirit-irit buat kebutuhan pokok; tapi masih saja jariku melanglang ke situs-situs judi. Setiap melihat layar hp dan mengecek saldo di rekening masih ada, tiba-tiba saja kepalaku terhipnotis untuk pasang depo.
Bukan hanya rugi materi, gara-gara judi sikapku sebagai seorang ibu juga merosot jauh. Sejak mengenal judi, pikiran jadi ke mana-mana dan perhatianku ke anak semakin berkurang. Aku tak bisa menjadi ibu yang baik kalau terus-terusan begini. Namun, setiap kali mau berubah, pikiran-pikiran jahat itu datang mengetuk lagi—dan aku membukakan pintu.
Hari ini, 9 Januari 2024, aku baru selesai mengantar anakku ke sekolahnya pukul 9 pagi; bersih-bersih rumah; lalu merebah di kasur meregangkan badan. Saat membuka hp dan berselancar di media sosial, tiba-tiba saja aku sudah berakhir di situs judi setelah mengecek tabunganku yang terasa masih cukup. Ada sekitar Rp11 juta. Setengahnya lalu kugeser ke meja judi.
Aku menang banyak, Rp13 juta sekali main. Sudah berminggu-minggu sejak aku memutuskan berhenti main slot, hari ini pikiranku kembali kalap. Uang Rp13 juta itu kuputar terus, berkali-kali, memburu tangkapan lebih besar, dan semuanya sia-sia. Ia hangus tak bersisa kurang dari seperempat jam. Dan setengah sisa tabunganku ikut dibawa minggat.
Aku menceritakan ini agar tak ada perempuan-perempuan di luar sana yang jadi korban lagi. Jangan coba-coba bermain api. Judi ini sumur hitam yang ujungnya tak kelihatan mata. Betul kata Bang Rhoma: Judi meracuni kehidupan. Menang awal dari kekalahan; kaya awal dari kemiskinan. Aku saja yang rungkad, kalian jangan.