ERA.id - Baru-baru ini ribuan dokter di Korea Selatan mogok kerja menentang rencana penambahan kuota mahasiswa kedokteran. Alih-alih menambah jumlah dokter, mereka menuntut pemerintah membayar kompensasi lebih kepada dokter yang sudah ada. Isu beban kerja berlebih dan gaji rendah bukan hanya dihadapi dokter-dokter di Korea Selatan, tetapi juga di Indonesia.
Sejak ramai berita unjuk rasa dokter sebelumnya, isu kesejahteraan dokter di Indonesia ikut naik. Banyak dokter bersuara di media sosial, salah satunya dr. Tirta. Dokter influencer itu berkomentar seandainya gaji dokter umum berkecukupan, ia tidak bakal memilih fokus berbisnis pada 2015.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasi gaji minimal dokter Rp12,5 juta per bulan. Namun, 85 persen dokter masih mendapat gaji di bawah itu menurut survei Junior Doctor Networks (JDN) Indonesia tahun 2023.
Dalam setahun, seharusnya dokter di Indonesia menerima gaji minimal di kisaran Rp150 juta. Jumlah itu pun masih sangat jomplang dibandingkan rata-rata gaji dokter di Korea Selatan di kisaran 127 juta won (sekitar Rp1,5 miliar) per tahun.
Secara umum, kondisi dokter di Korea Selatan lebih baik daripada Indonesia, termasuk ketersediaan dokter yang lebih banyak.
Kementerian Kesehatan RI menetapkan rasio ideal dokter per 1000 penduduk adalah 1 dokter (1:1.000). Namun, hingga saat ini rasionya masih 0,32:1.000. Sementara Korea Selatan punya 2,6 dokter per 1.000 orang pada tahun 2022.
Susahnya jadi dokter di Indonesia
Masih banyak orang mengira lulusan fakultas kedokteran otomatis dapat hidup mudah dan mapan. Kenyataannya, hanya sedikit yang gajinya besar, itu pun harus menjadi dokter spesialis dulu. Sementara itu, pendidikan spesialis butuh waktu panjang dan menghabiskan banyak uang.
Berdasarkan “Survei Kesejahteraan Dokter Umum” yang disebarkan kepada 452 dokter umum oleh JDN Indonesia, 26,24 persen dokter umum hanya mendapat gaji di bawah Rp3 juta sebulan. Kebanyakan adalah dokter puskesmas dan dokter pengganti di klinik.
Untuk mendapat gaji di atas Rp10 juta, rata-rata mereka harus bekerja lebih dari 60 jam per minggu di tiga tempat berbeda. Artinya, mereka harus bekerja 8,6 jam setiap hari tanpa libur.
“Rata-rata dokter umum kerjanya di Unit Gawat Darurat (UGD). Kalau kerja di UGD otomatis ada shift. Jarang mereka bisa bekerja delapan jam sehari,” cerita dr. Benita Arini Kurniadi yang praktek di sebuah klinik di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/3/2024).
Sementara itu, untuk gaji dokter umum dibandingkan jam kerja yang sibuk dan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan, jelas tak berimbang.
“Kalau rumah sakit daerah luar biasa capek sih biasanya, dan gajinya dibilang tinggi banget, sesuaikah? Apalagi ditambah modal sekolah, itu sih enggak nutup biasanya,” ujar Dokter Ben.
Kenaikan gaji dokter pun relatif tidak terlalu tinggi, hanya 5-10 persen per tahun.
“Kalau dokter dibilang settle itu memang harus jadi spesialis, istilahnya untuk meningkatkan income. Kalau dokter umum kan sudah banyak banget. Lulusan (kedokteran) 1000-2000 dokter per tahun. Dengan lapangan kerja sekarang, berarti dokter umum banyak banget. Akibatnya, apakah kesejahteraan terjamin? Belum tentu,” lanjutnya.
Chief Medical Officer di AiCare itu pun meluruskan kesalahpahaman masyarakat soal nasib dokter. “Bukan berarti jadi dokter langsung gaji tinggi,” ujarnya.
Karena itu, banyak lulusan kedokteran yang akhirnya beralih profesi. Apalagi setelah terbentur realita bahwa menjadi dokter bukan berarti ekonomi mapan.
“Banyak yang tidak berminat jadi dokter. Biasanya kalau sudah kena realita sih, kayak misalnya dia aduh pikirnya mungkin jadi dokter langsung kaya,” ujar Dokter Ben. “Akhirnya, ya sudahlah saya dagang aja atau beralih profesi lain, banyak, cukup banyak.”
Siasat dokter mengais rejeki
Gaji dokter umum di Indonesia masih relatif rendah karena dihitung borongan atau kapitasi. Gaji mereka tergantung pada jumlah kapitasi yang dibayarkan kepada rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain. Berbeda dengan dokter spesialis yang digaji per pasien.
Karena itu, banyak dokter bersiasat agar pendapatan mereka tercukupi. Misalnya, bekerja lebih dari satu tempat, termasuk membuka layanan konsultasi di aplikasi-aplikasi online.
Dokter Ben juga mengiyakan banyak kolega dokter yang menyambi jualan produk seperti obat-obatan dan skincare, atau menjadi influencer dan membuka jasa endorsement.
“Karena kita kan tidak ada biaya pasti dari pemerintah, kecuali dia melamar jadi dokter PNS. Ya kita sama seperti orang cari kerjaan,” cerita Dokter Ben.
Beberapa meneruskan menjadi dokter sambil bekerja sampingan, sisanya memutuskan meninggalkan profesi dokter dan fokus ke yang lain.
Namun, terkait dokter influencer yang mempromosikan produk kecantikan atau kesehatan di akun media sosialnya, IDI telah mengeluarkan larangan. Ketua Majelis Kehormatan Etik Dokter (MKEK) IDI Djoko Widyarto menegaskan hal tersebut tidak diperkenankan sesuai dengan fatwa etik dokter dalam bermedia sosial.
“Mereka banyak yang tidak menyadari bahwa itu tidak dibolehkan. MKEK sendiri sudah mengeluarkan dua fatwa soal itu. Kalau di internasional beriklan masih dimungkinkan. Kita (di Indonesia) masih belum diperbolehkan," kata Djoko saat konferensi pers di Jakarta, Sabtu (2/3/2024).
Upaya meningkatkan kesejahteraan dokter, sudah sejauh mana?
Tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut akan membereskan masalah gaji dokter Indonesia di bawah UMR.
"Masalah gaji berapa, sekolah tinggi-tinggi nanti gajinya di bawah UMR, marah lagi," kata Sri Mulyani dalam Launching Beasiswa Fellowship Luar Negeri, Senin (8/5/2024). "Enggak apa-apa masalah itu muncul, kita akan selesaikan satu-satu."
Sebelumnya, Kemenkes merevisi Bantuan Biaya Hidup (BBH) dokter magang di Indonesia untuk tahun 2023. Paling besar di angka Rp6,4 juta dan paling kecil Rp3,2 juta. Hal tersebut dilakukan setelah ramai orang memprotes pemberian gaji dokter magang hanya sebesar Rp1,1 juta di beberapa daerah.
Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin sendiri mengungkapkan gaji dokter di Indonesia memang belum merata.
"Saya belum berani bilang, tapi memang tidak merata. Ada yang gajinya besar sekali, tapi ada juga yang kecil," kata Budi dalam Dialog JDN, Minggu (9/4/2023). "Saya paham ekspektasi dokter itu kan dapat income yang tinggi.”
Menurutnya, kapasitas keuangan negara belum mencukupi untuk menyamaratakan gaji dokter di seluruh daerah.
"Idealnya memang harus dikasih fixed salary, tapi jujur memang belum kuat kapasitas keuangan kita. Tapi ini harus dimulai," ujarnya.
Hingga hari ini, masih banyak dokter yang berjuang mendapat gaji layak. Ketua JDN Indonesia dr. Andi Khomeini Takdir mengungkapkan hanya beberapa dokter yang hidup mapan. Itu pun biasanya ditopang dengan keluarga yang sudah mapan sejak awal seperti dirinya.
“Sebagai contoh mungkin keluarga kami. Ayah-ibu dokter, anak-anak dokter-dokter gigi,” ungkapnya, Senin (4/2/2024).
Dokter umum digaji rendah, tapi jadi dokter spesialis susah
Dokter Benita Arini Kurniadi mengiyakan pendapat dr. Andi. Baginya, untuk menjadi dokter yang mapan harus mengambil spesialis, dan untuk meraihnya harus berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi atau punya banyak koneksi.
“Selain itu pilihannya paling kuliah ke luar negeri (ambil spesialisasi),” ujarnya.
Mengapa demikian? Karena menurutnya di Indonesia sangat mempersulit dokter untuk melanjutkan spesialisasi.
“Kita lulus jadi dokter umum perlu 7 tahun. Untuk jadi spesialis 4-5 tahun lagi, dan lebih berat. Mereka enggak boleh kerja, jadi enggak ada pemasukan sama sekali waktu jadi spesialis,” ujar Dokter Ben.
“Kalau mau spesialis itu enggak boleh praktek di luar sekolahnya, jadi betul-betul nol penghasilan 4-5 tahun. Tergantung spesialisasinya apa. Kalau berat kayak bedah anak, kandungan, lama, bisa 5 tahunan. Kalau yang ringan kayak mata, THT, itu mungkin 3-4 tahun. Tapi tetap aja nol penghasilan. Itu cuma di Indonesia. Di luar enggak,” lanjutnya.
Dulu, ia bercerita pernah ada rencana program pembiayaan sekolah spesialis bagi dokter. Namun, mereka hanya digaji sebesar UMR ke bawah. Dan hingga hari ini entah bagaimana kabarnya.
“Jadi memang biaya hidup untuk spesialis itu priviledge. Karena harus ada yang nyokong tadi selama 4-5 tahun. Apalagi masuknya kan bayar lagi, ratusan juta. Dokter umum yang belum balik modal udah mau spesialis lagi ya susah juga, kecuali ngambil di luar (negeri), ngambil beasiswa full,” jelas Dokter Ben.
Menurutnya, ada dua persoalan yang mesti dijawab pemerintah ke depan. Pertama, pembiayaan pendidikan kedokteran. Kedua, kualitas pendidikan dan lulusan kedokteran.
“Profesi ini kan diperlukan, tapi kenapa biaya sekolah kedokteran mahal? Akibatnya banyak motivasi orang pengen balik modal, kayak nyaleg aja,” ujarnya.
Ia membandingkan dengan kondisi di luar negeri yang punya banyak keringanan, seperti beasiswa penuh dan kemudahan menjadi dokter spesialis
“Kedua, kalau tahu dokter sudah banyak, kenapa lulusannya tidak diperhatikan lagi jadi lebih terpilih?” lanjutnya.
Selama ini, ia melihat kebanyakan universitas masih asal membuka kursi fakultas kedokteran tanpa memikirkan dampak ke depan. Tujuan utama mereka, menurutnya, untuk menambah pemasukan kampus dari biaya pendidikan kedokteran yang mahal.
“Buka sekali langsung 200 mahasiswa, udah tahu lapangan kerjanya banyak banget. Mereka enggak mikir masa depannya gimana. Dan itu penerimaannya enggak ketat sama sekali, kecuali negeri,” tandas Dokter Ben.