ERA.id - Kampung Bayam kini tersembunyi di balik kemegahan Jakarta International Stadium (JIS). Dahulu, ia berupa petak-petak kebun yang ditanami pohon bayam, singkong, labu siam, dan sebagainya. Perkampungan kumuh juga berdiri di atasnya, dihuni para petani sejak puluhan tahun silam.
Sejak tahun 2000-an, puluhan kepala keluarga (KK) penghuni Kampung Bayam selalu dibayang-bayangi penggusuran. Sekitar tahun 2016, bayang-bayang itu kian mendekat seiring rencana pembangunan stadion terbesar di Indonesia. Kini, mereka harus menelan pil pahit sejak stadion itu berdiri.
Redaksi Era.id berkunjung ke bekas kawasan kumuh itu pada Kamis (21/3/2024) lalu. Tak ada lagi yang namanya Kampung Bayam, yang ada Kampung Susun Bayam. Kalau dulu hunian warga berbentuk rumah berjejer, sekarang disusun ke atas. Rencananya rumah susun itu bakal dijadikan hunian warga binaan sekaligus sawah vertikal. Namun, penguasa berganti, kebijakan ikut berganti, dan warga gusuran terpaksa jadi tumbal.
Furqon, Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam mengajak kami berkeliling rusun yang berdiri tepat di belakang JIS itu. Tak banyak lagi sisa lahan untuk dibikin sawah atau kebun. Hanya ada sederet di pinggiran rusun yang memanjang sekitar sekian ratus meter. Petak tanah itu ditanami bayam, singkong, dan jagung. Namun, daun-daunnya tampak kuyu sepanjang jalan. Seperti juga kehidupan warga di sana.
“Ini siapa aja boleh tanam, siapa aja boleh metik. Sisa tanah segini juga hasilnya nggak bisa buat dijual,” ujar Khairiyah, salah satu warga binaan eks Kampung Bayam.
Ia lalu menunjuk ke arah depan rusun. Katanya, di sana ada lahan luas yang tadinya buat perkebunan, tapi oleh pemerintahan yang baru malah dibangun jembatan penyeberangan.
KAMI WARGA BINAAN KELOMPOK TANI KAMPUNG BAYAM MADANI
JANGAN RAMPAS RUANG HIDUP KAMI
Kami disambut dengan berbagai spanduk putih bertinta merah yang digantung di tembok rusun. Isinya segala bentuk protes warga eks Kampung Bayam yang menolak diusir dari rumah mereka. Tempat di mana mereka dilahirkan dan melahirkan keturunan kembali.
Furqon menjelaskan ada 138 unit kamar di Kampung Susun Bayam yang terbagi dalam tiga tower. Setiap bangunan punya empat lantai. Paling bawah untuk aula warga; lantai 2-3 untuk kamar-kamar; dan paling atas untuk sawah.
“Ini semua warga yang rancang, kami panggil arsitek, diskusi, kebutuhannya apa saja, itu semua dari kami,” ujar Furqon.
Meski sore itu terik, angin berembus kencang di Kampung Susun Bayam. Menggoyangkan daun-daun pohon jagung yang setengah kering dan agak meredakan keringat warga yang kelelahan menimba air sumur.
Sejak mereka bersikeras tinggal di sana Maret tahun lalu, warga eks Kampung Bayam hidup tanpa pasokan air dan listrik dari negara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka harus berusaha sendiri.
“Kita punya tiga sumur. Airnya dari tampungan hujan. Kalau lagi musim hujan, lumayan. Kalau udah kemarau, terpaksa nyuling air got buat mandi,” cerita Furqon.
Sumur-sumur itu digali di tengah kebun panjang. Di depan salah satu sumur, dua warga tampak sibuk menimba air. Belasan galon isi ulang berjejer di pinggir jalan. Sebelum menuang air, mereka memasang saringan di mulut galon agar air lebih bersih. Setelah tujuh balon penuh terisi, mereka memindahkannya ke gerobak untuk dibawa ke kamar masing-masing.
Furqon lalu mengajak kami menengok cadangan air warga saat darurat. Tempatnya di depan rusun. Ada genangan air keruh kehijauan yang luasnya tak seberapa. “Itu sumber air kami kalau sumur kekeringan,” kata Furqon.
Warga eks Kampung Bayam menyediakan gentong plastik besar yang diisi pasir pantai dan bebatuan. Itu digunakan sebagai alat penyulingan air. Mereka belajar dari para orang tua dulu.
Air hasil sulingan tadi digunakan untuk keperluan cebok dan mandi. Sementara untuk kebutuhan konsumsi mereka harus membeli air isi ulang di luar rusun seharga Rp5 ribu. Dulu, warga sempat memakai air sulingan yang direbus untuk masak dan minum. Kemudian banyak yang mengeluh sakit perut dan diare.
Waktu datang hujan lebat dan air cadangan itu meluap-luap, tercium bau pesing. Sadarlah mereka kalau air itu hasil rembesan got atau pembuangan. Sejak saat itu, mereka berhenti mengonsumsinya.
“Kalau koreng di luar kan gampang, nanti kering. Kalau koreng di usus susah,” ucap Furqon berkelakar.
Ada sekitar 50 KK yang tergabung dalam Kelompok Tani Kampung Bayam dan seharusnya mendapat unit di rusun itu. Meski dilarang menempatinya, kebanyakan warga kini sudah pindah ke rusun—hanya sedikit yang masih bertahan di hunian sementara di Jalan Tongkol, Pademangan.
Awal mula perlawanan warga
Kampung Susun Bayam selesai dibangun pada 2022. Anies Baswedan yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta meresmikannya pada bulan Oktober sekaligus melakukan serah terima unit kepada warga eks Kampung Bayam secara simbolik.
Beberapa hari kemudian, masa jabatan Anies berakhir, dan posisinya digantikan Heru Budi sebagai penjabat (pj) gubernur. Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku pengelola Rumah Susun Bayam juga ikut diganti, dari Widi Amanasto ke Iwan Takwin. Sejak saat itu, nasib warga eks Kampung Bayam dinaungi awan mendung.
Furqon bercerita, setelah serah terima simbolis, penyerahan kunci rusun dijadwalkan tak lebih dari sebulan. Ditunggu-tunggu hingga akhir tahun, warga masih dibiarkan tinggal di hunian sementara tanpa ada kabar lebih lanjut. Warga habis kesabaran. Mereka lalu mendatangi kantor Jakpro meminta kepastian.
“Di situlah saya ketemu yang namanya Hifzi, orang Jakpro. Dia bilang ke saya, ‘Pak Furqon, itu bilangin warga sabar, kita masih proses.’ Saya bilang, kita udah nunggu, butuh kepastiannya kapan,” cerita Furqon.
Pihak Jakpro terus mendesak Furqon membujuk warga supaya sabar menunggu. Mereka beralasan masih membahas surat perjanjian. Warga akhirnya pulang setelah mengantongi tanggal 11 Maret sebagai batas maksimal penyerahan kunci.
Furqon menjelaskan, sebelumnya pada masa Anies sudah ada diskusi antara warga, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, dan Jakpro. Mereka sepakat bahwa yang terdaftar sebagai penghuni tetap Kampung Bayam akan menjadi warga binaan dan ditempatkan di Kampung Susun Bayam. Sebagian akan disediakan lahan untuk bertani, sebagian lagi digandeng menjadi pekerja pendukung operasional JIS.
Sementara itu, bagi warga pendatang atau pemilik rumah yang hanya menyewakan hunian di sana, maka akan diberi kompensasi untuk dipulangkan ke kampung masing-masing.
“Kalau mereka (Jakpro) bilang Kampung Susun Bayam ini untuk HPPO (Hunian Pekerja Pendukung Operasional) JIS, ya memang kita warga ini dari awal rencananya ikut jadi pekerja pendukung di sana,” ujar Furqon.
Sampai tanggal 11 Maret 2023, belum ada tanda-tanda itikad baik dari Jakpro. Warga masih digantung. Pada 13 Maret, mereka akhirnya memutuskan untuk menginap di Kampung Susun Bayam dan bertekad tidak akan pergi dari sana hingga kunci diserahkan. Dengan alas kasur seadanya, puluhan warga tidur lesehan di aula terbuka lantai 1.
Warga juga membawa kompor dan gas untuk dapur bersama. Mereka lalu patungan membeli genset seharga Rp7 juta secara kredit untuk menyalakan listrik. Setiap pagi, Furqon bercerita selalu ada ribut-ribut kecil antar ibu-ibu di dapur, entah karena porsi makan anak masing-masing yang terlalu banyak atau sandal tertukar.
“Itu bertahan hampir setahun. Tanggal 29 November, kita pindah ke atas, ngisi kamar-kamar yang kosong,” ujar Furqon.
Mereka terpaksa pindah dari aula karena sudah banyak anak-anak yang sakit akibat keseringan terpapar angin malam. Di lantai 2, warga menemukan sebagian kamar pintunya terbuka, sementara sisanya terkunci. Masing-masing lalu memilih kamar yang dulu dijanjikan untuk mereka.
Gara-gara nekat masuk ke kamar, empat orang warga eks Kampung Bayam dilaporkan Jakpro ke polisi dengan tuduhan menyerobot lahan orang secara ilegal dan perusakan properti. Salah satu yang dipolisikan adalah Furqon.
Untungnya, kasus itu menguap begitu saja. Dan kini warga masih bisa menempati kamar-kamar di Kampung Susun Bayam meski tanpa pasokan air dan listrik dari negara. Beberapa kali mereka juga didatangi aparat untuk mengusir mereka. Namun, warga tetap teguh tak akan pindah selama belum ada kejelasan dari pemprov atau Jakpro.
"Katanya mau dibikinin rusun di Priok, jadinya 2025. Terus dua tahun kita disuruh tinggal di mana?" ucap Furqon. "Lagian, kalau dipindahin lagi, warga Kampung Bayam mau kerja apa? Kita kan petani, di sini udah ada lahannya."
Dulu digeser, sekarang digusur
Furqon mengenang masa-masa kejayaan warga Kampung Bayam adalah sebelum tahun 2008. Waktu itu ia punya cukup kebun untuk ditanami dan selalu panen tiap hari hingga 10 kerat bayam.
“Satu kerat isi 10 ikat, berarti bisa 100 ikat sehari,” ujar Furqon.
Dulu, penghasilannya bisa jutaan rupiah per minggu. Ia sampai punya mobil bak untuk mengantar hasil panennya ke pasar-pasar. Begitu pun banyak warga lain yang berprofesi sebagai petani.
Setelah 2008, masalah sengketa lahan mulai sering muncul ke permukaan. Hari demi hari kebun garapannya kian kecil. Hingga pemerintah berencana membangun stadion di sana dan membersihkan sisa-sisa pemukiman kumuh yang ada. Setiap pemimpin berganti, ia selalu merasa kian dekat waktunya diusir dari tempat kelahirannya.
Tahun 2017, Anies naik jadi gubernur. Dan Furqon tak pernah mengira orang itu akan menghilangkan kecemasannya dari kehilangan tempat tinggal.
Waktu berlalu, ia kemudian berkenalan dengan seorang staf Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bentukan Anies, namanya Usamah. Berkali-kali pria yang akrab disapa Bang Sammy itu berkunjung dan bercengkerama dengan warga Kampung Bayam.
“Awalnya saya enggak tahu kalau dia itu orangnya Gubernur,” cerita Furqon.
Sedikit demi sedikit, Bang Sammy mengubah kebiasaan warga agar hidup lebih bersih. Ia juga mengenalkan mereka bagaimana cara beternak ikan. Bukan hanya itu, ia mendorong para petani yang kebanyakan lulusan sekolah dasar itu untuk melanjutkan pendidikan.
“Saya dibilangin buat ngambil paket C, nanti fasilitasnya disediakan. Kata Bang Sammy, ‘Nanti di kawasan ini akan dibangun tempat percontohan, yang bakal hidupin kan warga sekitar. Kan keren kalau punya ijazah SMA.’,” kenang Furqon.
Akhirnya, para petani Kampung Bayam mengejar paket C untuk mendapatkan ijazah SMP dan SMA.
Begitu waktu pembangunan stadion kian dekat, Bang Sammy makin sering berkunjung ke Kampung Bayam. Suatu hari ia memperhatikan lama kebun warga yang ditanami pohon labu siam dan singkong.
“Itu berapa lama sampai panen Pak Furqon?” ia bertanya.
“Masih beberapa minggu lagi Bang,” jawab Furqon.
Esok harinya, Furqon diajak untuk mengukur tanah seluas kurang lebih sepanjang 600 meter dan lebarnya sekitar 7 meter.
“Buat apa Bang Sammy?” tanya Furqon.
“Ini buat lahan kebun sementara,” katanya.
Para petani diminta untuk memindahkan pohon yang masih muda ke area yang baru diukur. Sementara sisa pohon yang tinggal menunggu panen sebentar lagi tetap dibiarkan.
“Pohon saja kita diberi waktu buat pindah, itu nanti lahannya buat dibangun JIS,” cerita Furqon. “Dulu namanya betulan digeser, kita digeser sedikit-sedikit, tapi diganti yang baru. Kalau sekarang kan digusur.”
Tak lama kemudian, Anies langsung yang datang ke Kampung Bayam menemui para warga. Itu kali pertama Furqon bertemu dengan seorang gubernur. Di tengah saung, Anies berpesan, “Teruslah jaga dan rawat lingkungan ini.”
Setelah itu, warga aktif diajak merumuskan bagaimana ruang hidup mereka nanti akan dibangun. Karena lahan yang terbatas setelah dikurangi area pembangunan JIS, mereka sepakat dipindah ke rusun. 40 persen sisa lahan akan digunakan untuk hunian, selebihnya untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Ketika kami berkunjung ke sana minggu lalu, jelas sekali kalau Kampung Susun Bayam memang diperuntukan bagi warga petani eks Kampung Bayam, bukan sekadar hunian pekerja pendukung operasional JIS. Itu terlihat dari model tangga datar yang menghubungkan antar lantai agar bisa dilalui gerobak.
“Itu kan memang kita rancang biar mudah waktu panen di sawah lantai empat. Jadi gak capek naik-turun, tinggal angkut gerobak,” ujar Furqon.
Bagi bapak beranak tiga itu, harapan yang dibangun Anies kini runtuh di tangan penguasa baru. Kini warga tak pernah lagi diajak berkomunikasi, tetapi selalu diintimidasi. Mereka pun tak pernah lagi melihat langsung wajah gubernurnya, karena Heru Budi tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana.
"Lihat masyarakatnya di sini, ayo bangun Pak Heru. Jangan tidur," ucap Furqon.