Menjadi Caregiver Merawat Lansia, Pilihan Atau Nasib?

| 21 Jun 2024 21:01
Menjadi Caregiver Merawat Lansia, Pilihan Atau Nasib?
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Menua adalah kepastian. Hari demi hari, setelah masa pertumbuhan kita mencapai puncaknya, fungsi-fungsi tubuh beranjak menurun seiring waktu. Ketika seseorang memasuki usia lanjut, ada kalanya mereka kembali seperti anak kecil yang harus diurusi bermacam keperluannya. Mulai dari tidur hingga mandi. Orang-orang yang merawat mereka biasa dipanggil caregiver. Boleh jadi kita salah satu di antaranya.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada 2023, rasio ketergantungan lansia di Indonesia berada di angka 17,08 poin. Artinya, 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 17 lansia. Sementara jumlah lansia Indonesia per 2023 kurang lebih 32 juta. Jumlah itu terus bertambah dan diperkirakan mencapai 35 juta orang pada 2025.

Seiring pertambahan jumlah lansia, keberadaan caregiver semakin terasa penting dan dibutuhkan. Namun, sayangnya, orang-orang yang sibuk merawat keluarganya di rumah masih sering dipandang sebelah mata. Sebab dari awal, biasanya mereka dipilih untuk mengurusi lansia karena dianggap paling banyak punya waktu luang alias pengangguran.

Beberapa waktu lalu, film Thailand How To Make Millions Before Grandma Dies berhasil mematahkan hati 3 juta penonton Indonesia lewat kisah seorang cucu bernama M merawat neneknya yang kanker. Meski awalnya M menjadi salah satu pemburu warisan sang nenek, seiring waktu ia menjadi caregiver tulus dan berat hati kehilangan neneknya.

Pandangan rendah terhadap caregiver tampak dari beberapa komentar miring orang-orang di media sosial usai menonton film tadi. Sementara banyak orang terharu, ada juga yang sebagian tak bisa berempati dengan tokoh M sebagai caregiver karena ia pengangguran. Padahal, tugas sebagai caregiver bukan perkara mudah, apalagi jika bukan pekerja profesional dan hanya volunteer.

“Saya kan punya emosi ya. Saya kan bukan basic-nya perawat, tiba-tiba saya dituntut jadi perawat. Itu bikin kesabaran saya diuji banget,” cerita Ina, seorang caregiver yang merawat ayahnya selama lima tahun sejak 2018 hingga 2022. “Kadang orang yang melihat, gak mengalami apa yang saya alami, cuma bicara aja, nge-judge saya aja.” 

Ina hanya satu dari sekian banyak anak yang harus merelakan kehidupan sosial dan kariernya untuk menjaga orang tua lansia. Suatu hari, boleh jadi nasib mengantar kita ke posisi itu karena orang tua membutuhkannya. Lalu, apa yang harus kita persiapkan? Dan ketika hari itu datang, apa yang seharusnya kita lakukan?

Bersiap menjadi caregiver

Kapan seseorang disebut lansia? Definisi lansia menurut Undang-Undang Kesejahteraan Lansia adalah penduduk berusia di atas 60 tahun. Mereka masuk kategori kelompok berisiko yang membutuhkan penanganan khusus. 

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, masalah kesehatan yang banyak dialami lansia adalah penyakit tidak menular, seperti hipertensi, radang sendi, kencing manis, penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, hingga kanker. Masalah-masalah tadi menyebabkan mereka butuh perawatan jangka panjang (PJP) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Namun, tidak semua lansia butuh perawatan. Ada juga yang bisa hidup mandiri. Penilaian tingkat kemandirian itu dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dari hasil wawancara dan pengamatan langsung aktifitas kehidupan sehari-hari, lansia akan dikelompokkan dalam lima kategori:

  • Mandiri (A)
  • Ketergantungan Ringan (B)
  • Ketergantungan Sedang (B)
  • Ketergantungan Berat (C)
  • Ketergantungan Total (C)

Lansia yang butuh PJP hanya mereka yang ketergantungan sedang hingga total. Di sinilah caregiver berperan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri membagi caregiver ke dalam dua jenis: informal dan formal. Caregiver informal adalah pendamping lansia yang berasal dari keluarga, tetangga, atau relawan. Mereka ini melakukan tugas perawatan secara sukarela. Sementara caregiver formal adalah pekerja profesional seperti petugas kesehatan atau perawat di panti jompo.

Lalu, apa peran caregiver? Berdasarkan buku panduan caregiver terbitan Kemenkes, mereka berperan untuk mengurangi ketergantungan dan keluhan lansia akibat penyakitnya; mencegah komplikasi dan kecelakaan; dan menjaga kualitas hidup lansia.  

"Tugas caregiver adalah memastikan agar seluruh proses yang dihadapi pada akhir kehidupan sesuai dengan pilihan lansia," tulis buku panduan Kemenkes.

Dalam merawat lansia, ada prinsip-prinsip etika yang harus dipenuhi, yaitu berempati atau berusaha ikut memahami apa yang dialami mereka; tidak menambah penderitaan; menghargai keputusan mereka atas dirinya sendiri; memberikan perlakuan yang sama; dan ketulusan hati.

Caregiver diharapkan tak hanya terpaku pada jadwal kegiatan rutin yang telah disusun, tetapi bersikap fleksibel dengan kondisi lansia yang berubah-ubah. Penting juga bagi caregiver untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tak diinginkan, termasuk menyiapkan dokumen-dokumen penting yang diperlukan untuk pembiayaan dan perawatan lanjutan, hingga penyiapan akhir hayat lansia.

Namun, yang tak kalah penting, jangan sampai caregiver melupakan kondisinya pribadi. Mereka tetap harus menjaga kesehatan fisik dan mental; meluangkan waktu untuk rekreasi, seperti mendengar musik, menonton, atau membaca; dan membagi tugas dengan anggota keluarga dan caregiver lain agar bisa beristirahat.

"Dalam melakukan perawatan pada lansia, caregiver tidak dapat bekerja sendiri, namun perlu bekerjasama dengan anggota keluarga lainnya, kader/relawan, dan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, khususnya dalam hal perawatan yang dapat dilakukan di rumah," jelas Kemenkes.

Hal ini juga ditegaskan psikolog keluarga dan anak Aully Grashinta. Ia berkata banyak tantangan dalam merawat orang tua lansia, salah satunya masalah emosional anak yang menjadi caregiver. Karena itu, beban perawatan tidak bisa hanya ditimpakan ke satu orang, tapi dibutuhkan support system yang memadai.

"Jadi sesama anggota keluarga ini harus saling berbagi. Mungkin ada satu anak yang punya kelebihan rejeki, bisa membantu yang lain untuk merawat orang tua. Atau mungkin sama-sama merawatnya. Harus ada kesepakatan, siapa yang mau merawat, siapa yang mau memberikan support finansial," ujarnya kepada Era.id, Jumat (21/6/2024).

Lalu bagaimana jika seorang lansia hanya punya anak tunggal dan tak ada saudara terdekat lain yang bisa merawatnya? Aully menyarankan untuk mengambil opsi menitipkan orang tua ke caregiver formal, entah di panti jompo atau perawat pribadi di rumah.

"Atau ya kita merawat sendiri dengan bantuan social support yang ada. Misal istri, suami, anak, atau cucu-cucu yang juga menjadi bagian dari social support," ujarnya.

Cerita caregiver merawat orang tua demensia

Ayah Ina divonis demensia pada tahun 2018. Kakaknya sudah menikah dan tak lagi serumah. Ibunya sama-sama lanjut usia. Sementara tak ada ART di rumah. Tinggal Ina seorang yang bisa diandalkan untuk merawat sang ayah.

“Ya udah ngerawat sendiri aja dari 2018 divonis demensia. Cuman saat itu papa saya kan daya ingatnya aja yang hilang, fisiknya masih sehat, masih bisa beraktifitas sendiri,” cerita Ina.

Setelah lewat setahun, daya ingat ayahnya semakin terjun bebas. Dan kondisi fisiknya menurun drastis. Sejak saat itu, Ina mulai fokus merawatnya dan jarang meninggalkan rumah selain untuk kontrol ke rumah sakit. 

“Kalau mandi saya yang mandiin, kalau pake pampers saya yang ganti, saya yang bersihin. Yang mulai merasa beratnya itu di 2019-2022. Wah pokoknya ribet,” ujarnya.

Dari sekian banyak penurunan fungsi tubuh, Ina paling merasa berat menghadapi daya ingat ayahnya yang kian hari kian tumpul. Ia melupakan denah rumah; lupa sudah pindah ke Bandung dari Jakarta sejak 2022; dan tak ingat punya anak. 

“Capeknya gitu. Kalau misalnya buang air kecil, karena dia udah lupa kamar mandi, dia bakal buang air kecil di halaman, di samping meja makan, atau pipis sembarangan aja di dalam ruangan. Karena udah makin parah sih. Jadi capeknya di situ, untuk menjelaskan. Karena kalau menjelaskan ke pasien alzheimer begitu harus diulang-ulang,” ucap Ina.

Dulu, ia sempat kepikiran untuk menitipkan ayahnya ke panti jompo atau menyewa suster. Namun, semakin lama ia merawat sang ayah, semakin ia tak tega melepasnya. Ia khawatir orang lain kurang telaten merawat ayahnya. 

“Saya takut kalau orang lain yang pegang tidak sesuai sama apa yang saya lakuin ke papa mama,” ujarnya. “Saya sempat depresi juga sih waktu ngerawat papa. Ada cekcok juga sama abang saya. Tapi kalo saya nyerah, papa gimana? Jadi saya bingung di situ.”

Hubungan Ina dengan teman-temannya ikutan renggang seiring waktu komunikasi dan bertemu mereka yang kian jarang. Menjadi caregiver, bagi Ina, sama dengan merelakan hobi, pertemanan, juga mimpi-mimpinya. Ia yang dulu suka menggambar, kini kehilangan sentuhannya karena tak ada lagi waktu untuk menyalurkan hobinya.

“Dalam 1x24 jam kerjaan saya kan itu terus (merawat papa). Tiap hari pun sama rutinitasnya. Jadi kadang saya kan ada masa capek yang berlebihan, nah itu kadang-kadang saya gak terkontrol, emosi jadi meluap,” ceritanya.

“Kalaupun untuk cari hiburan, kadang-kadang saya pergi sendiri aja, ke mall dekat rumah. Tapi lebih berat untuk ninggalin justru. Saya kesal, tapi kalau saya pergi jauh jadi kepikiran. Jadi saya nonton-nonton YouTube, drakor, denger musik, gitu-gitu aja.”

Desember 2022, perjalanan Ina merawat ayahnya berakhir. Sang ayah meninggal dunia dan segala sakitnya ikut dikubur. Mengenang hari-hari itu, Ina masih merasa berat hati. Beban di punggungnya berkurang, tapi setengah hidupnya ikut pergi.

“Berat banget. Sehari-hari kan sama saya. Dari kecil saya sama orang tua, belum pernah ngerasain jauh dari orang tua. Antara lega tapi penyesalan pun ada. Kayak masih merasa gak nerima pun ada. Kenapa harus sekarang?” kenangnya. 

“Tapi kalau misalnya papa gak pergi juga, kasihan papanya, kondisinya udah semakin membahayakan papa juga. Jadi serba salah sih. Dan sekarang saya harus ngalamin hal yang sama ke mama,” sambungnya.

Sepergian sang ayah, kini Ina masih harus menjadi caregiver bagi ibunya yang terserang kanker payudara. Hidup, baginya, tak seindah drama-drama Korea. Namun, hanya itu yang ia punya. Kini ia hanya bisa berdoa semoga ibunya tak melupakan namanya dan hari-hari yang mereka lewati bersama.

Dari kisah Ina, merawat orang tua di masa lansia boleh jadi bukanlah pilihan. Keadaan serta rasa cinta membawa seseorang pada keadaan untuk merelakan hidupnya dengan menerima nasib untuk merawat orang tua hingga akhir hayat.m Begitu pula dengan caregiver formal, yang tidak bisa memilih pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

Rekomendasi