ERA.id - Masa pra-kemerdekaan adalah hari-hari yang muram bagi anak-anak Indonesia. Saridjah Niung, pengajar musik di beberapa HIS di Batavia (1925-1941), lantas duduk dan menggubah lagu-lagu bagi mereka.
Lahir di Sukabumi, Saridjah Niung pergi ke Bandung untuk bersekolah di Sekolah Guru Atas, Hogere Kweekschool (HKS), untuk mendalami seni musik dan suara. Sang perempuan kelahiran 26 Maret 1908 ini ingin memperluas ilmu biola dan seni suara yang didapat dari ayah angkatnya, J.F. Kremer.
Setamatnya dari studi di Bandung, selama tahun 1925-1941 ia menjadi pengajar musik di sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsch School (HIS). yang ada di Jakarta. Dalam situasi inilah ia melihat kondisi anak-anak di Hindia Belanda yang tidak bahagia. Ia merasa prihatin dan tergerak membuat lagu-lagu ceria dalam bahasa Indonesia untuk mereka.
Hai Becak
Saya mau tamasya
Berkeliling-keliling kota
Hendak melihat-lihat
Keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak! (Becak!)
Becak! (Becak!)
Coba bawa saya
Saya duduk sendiri
Sambil mengangkat kaki
Melihat dengan asyik
Ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari
Bagaikan tak berhenti
Becak! (Becak!)
Becak! (Becak!)
Jalan hati-hati
Lagu, “Hai Becak”, misalnya, menggambarkan seorang anak yang hendak bertamasya menaiki becak kayuh roda tiga. Tergambar di dalam liriknya, antusiasme seorang anak melihat segala yang ada di tengah keramaian kota.
Tik Tik Bunyi Hujan
Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua
Tik tik tik bunyi hujan bagai bernyanyi
Saya dengarkan tidaklah jemu
Kebun dan jalan semua sunyi
Tidak seorang berani lalu
Tik tik tik hujan turun dalam selokan
Tempatnya itik berenang-renang
Bersenda gurau meyelam-nyelam
Karena hujan berenang-renang
Di saat yang lain, hujan turun di kosnya di Kramat Jati, Jakarta. Diinspirasi oleh genting atap kosnya yang bocor, ia menciptakan lagu “Tik Tik Bunyi Hujan”. Tidak hanya musiknya yang riang, liriknya pun ditulis dengan rima yang indah.
Berkibarlah Benderaku
Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya
Kami rakyat Indonesia
Bersedia setiap masa
Mencurahkan segenap tenaga
Supaya kau tetap cemerlang
Tak goyang jiwaku menahan rintangan
Tak gentar rakyatmu berkorban
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya
Lagu-lagunya, kata rekan dan sesama pencipta lagu Pak Kasur, juga memuat nilai-nilai patriotisme. Lagu “Berkibarlah Benderaku”, misalnya, ditulis Saridjah atas aksi heroik rekannya di RRI, Jusuf Ronodipuro, menjelang peristiwa Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Jusuf tak gentar mengibarkan Bendera Merah Putih, bahkan ketika ia berada di bawah todongan senjata api pasukan Belanda.
Saridjah Niung pada tahun 1927 bertemu dengan Bintang Soedibjo. Saat itu ia masih menjadi pengajar musik di HIS. Saridjah akhirnya menikah dengan Bintang Soedibjo. Ia kemudian dikenal sebagai Ibu Soed, atau Ibu Sud (EYD), penggalan dari Ibu Soedibjo.
Ibu Soed kelak dikenal sebagai pencipta lagu, penulis naskah drama, penyiar radio, dan seniman batik. Pada tahun 1928, karena mahir bermain biola, ia turut mengiringi W.R. Soepratman memainkan lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya di dalam kongres bersejarah Sumpah Pemuda.
Sebagai penyiar radio program anak-anak, ia juga pernah jadi sasaran geledah. Pada tahun 1945, pasukan kolonial sudah mengepung rumah Ibu Soed di Jalan Maluku No. 36, Jakarta. Ia dan pembantunya lantas harus membuang pemancar radio gelap miliknya ke dalam sumur. Untung saja, juga berkat pertolongan tetangganya, Ibu Soed selamat dari penggeledahan kala itu.
Sampai akhir hayatnya di tahun 1993, Ibu Soed berhasil mencipta 480 lagu anak, dan atas prestasi ini namanya kini tercatat dalam Museum Rekor Indonesia. Wajahnya juga menghiasi perangko edisi khusus yang dirilis oleh PT Pos Indonesia pada tahun 2000.