ERA.id - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya sah. Setelah melalui perjuangan panjang, pada 12 April 2022, dalam rapat paripurna, Puan Maharani mengetuk palu mengesahkan undang-undang yang sarat polemik dalam pembahasannya itu.
Kekerasan seksual kerap terjadi di masyarakat. Baik berupa fisik maupun verbal.
Banyak yang terlibat dalam penyusunan rancangan undang-undang ini, dari akademisi hingga masyarakat sipil. Pada 2012, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menggagasnya.
Tahun 2014, Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL) membuat Draf RUU P-KS. Kemudian, mereka menyerahkan draf tersebut kepada pimpinan DPR pada 2016.
Sebanyak 70 anggota DPR mengusulkan RUU PKS dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2016. Draf terdiri atas 12 bab, meliputi pencegahan, penanganan korban, penindakan, dan rehabilitas.
Berlanjut pada 25 Mei 2016, Badan Legislasi (Baleg) DPR mendengar pemaparan dari tenaga ahli soal materi draf RUU P-KS. Beberapa minggu kemudian, tepatnya 6 Juni 2016, Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua DPR ketika itu menerima RUU P-KS dari Komnas Perempuan dan FPL.
Di bulan yang sama, Komnas Perempuan mendatangi Istana Merdeka untuk menyampaikan maksud baik kepada Presiden Joko Widodo. Pada 20 Juni 2016, RUU P-KS masuk Prolegnas, tetapi tanpa pengesahan.
5 Desember 2017, atas inisiatif DPR, RUU P-KS dimasukkan kembali ke Prolegnas Prioritas 2018. Pihak DPR banyak melibat ormas dan ahli untuk menbahas Rancangan itu, misal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, serta para pakar hukum pidana.
Tahun 2019 menjadi tahun RUU P-KS ditempa dengan banyak penolakan. Partai yang lantang menolak Rancangan tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Lewat change.org pada 27 Januari 2019, Maimon Herawati membuat petisi penolakan terhadap RUU P-KS, dengan judul "TOLAK RUU Pro Zina".
Awal tahun 2020, Covid-19 muncul. Semua gerak-gerik manusia dibatasi. Salah satunya, anggota dewan rapat harus melalui daring. Tanggal 30 Juni 2020, sejumlah RUU ditarik dari Prolegnas Prioritas, salah satunya RUU P-KS. Alasan utamanya, pembahasannya rumit.
Tahun 2021, RUU P-KS kembali masuk ke Prolegnas Prioritas, dengan pergantian nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Akhirnya, perjuangan panjang tanpa lelah membuahkan hasil pada 2022, bertepatan 10 hari Ramadan.
Hati-Hati untuk Orang Tua
Di beberapa wilayah di Indonesia, masih ada tindakan pemaksaan kepada anak untuk menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya. Dari pihak anak sudah berulang kali menolak, tetapi pemaksaan terus terjadi. Saat menuju proses pernikahan, anak menangis mengurung di dalam kamar, kadang sampai pergi dari rumah, bahkan di beberapa kasus sang anak melakukan bunuh diri.
Sang anak mau nikah dengan pilihannya sendiri, bukan pilihan orang tuanya. Sayangnya, anak tidak berdaya untuk melawan kehendak orang tuanya.
Untuk saat ini, Undang-Undang TPKS bisa menjadi tameng bagi sang anak. Bahwa nikah tanpa persetujuan dari anak akan membahayakan untuk orang tua. Sebab, itu masuk dalam bagian pemaksaan perkawinan dan mengganggu psikis anak.
Pada Ayat (1) Pasal 4 BAB II Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menjelaskan bahwa pemaksaan perkawinan adalah bagian dari kekerasan seksual.
Kemudian, dijelaskan di Pasal 10 Ayat (1) tertera setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Apalagi, anak tersebut masih di bawah umur, belum layak dinikahkan. Semestinya sang anak menikmati bermain bersama teman-temannya di sekolah, tetapi direnggut kesenangannya oleh orang tuanya sendiri.
Pada Ayat (2) di pasal yang sama, ada tambahan bahwa yang termasuk dalam pemaksaan perkawinan adalah (a) perkawinan Anak; (b) pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau (c) pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.