Privilege Good Looking Bharada E, Sudah Membunuh Masih Punya Penggemar

| 07 Nov 2022 19:35
<i>Privilege Good Looking</i> Bharada E, Sudah Membunuh Masih Punya Penggemar
Ilustrasi. (ERA/Nisa Rahma Tanjung)

ERA.id - Ada yang bilang setengah masalah hidup kelar jika terlahir dengan wajah rupawan. Pernyataan itu bisa disanggah, tapi sering kali harus kita akui tepat sasaran. Tengok saja Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tiap ada sidang Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu.

Hingga sidang keempatnya hari ini, Senin (7/11), karangan-karangan bunga masih berdiri tegap menyambut Bharada E, sejumlah perempuan muda pun tak segan mengaku fannya dan datang pakai topi, kaos, sampai masker berwajah tersangka pembunuh Brigadir J itu, lengkap dengan slogan: Torang Deng Icad alias 'kami bersama Icad'. Sebaliknya, tengok tersangka Kuat Ma’ruf, apa pernah ada yang ngaku-ngaku fannya?

Mungkin ada sebagian yang bergumam, "Ah, palingan itu settingan atau pesanan buzzer." Bantahan atas kegamangan tadi ada di kolom komentar live streaming sidang Bharada E di TikTok ERA. Bukan satu-dua akun mengelu-elukan Bharada E, tapi bejibun. Banyak perempuan tergila-gila dengan pesona pemuda kelahiran 1998 itu, sebagian malah kepengen jadi istrinya.

Karangan bunga saat persidangan Bharada E di PN Jaksel. (Ilham/ERA.id)

Beberapa orang menganalisa fenomena fans Bharada E, mengaitkannya dengan tulisan Coltan Scrivner, Why We Are Fascinated by Serial Killers atau tulisan psikologi lain, lalu menganggap fans Bharada E larut akan imajinasi mereka terhadap sosok pembunuh. Mungkin tak jauh beda ketika film Joker yang diperankan Joaquin Phoenix tayang, lalu banyak quotes menjamur: orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.

Tanpa mengurangi rasa hormat atas segala perspektif tadi, bukankah fenomena fans Bharada E sebetulnya menunjukkan privilege yang dimiliki orang cantik atau tampan? Kita kan dari awal cenderung bersikap tidak adil terhadap orang-orang berpenampilan tidak menarik menurut konsensus publik, atau bahasa populernya: jelek alias buruk rupa.

Misalnya, Andika Kangen Band tak mendapatkan perlakuan serupa dari netizen saat kesandung kasus narkoba dibandingkan Jefri Nichol. Yang satu dihina-hina, yang satu disemangati. Orang-orang lebih mudah memaafkan penjahat rupawan dan berusaha mencari tahu alasan mereka berbuat begitu, ketimbang saat orang jelek yang jadi penjahat.

Pada beberapa kesempatan, mungkin benar yang pernah ditulis Eka Kurniawan: cantik itu luka. Namun, seringnya, orang-orang yang tak diberkati dengan kecantikan yang harus menanggung luka sosial. Orang jelek berbuat salah sedikit harus siap-siap dikutuk: Sudah jelek kerja nggak becus, sudah jelek jahat lagi, bla-bla-bla. Sementara mereka yang cantik cenderung dimaklumi.

Fans Bharada E setia menunggu sidang di PN Jaksel. (Ilham/ERA.id)

Sepanjang sejarah fan pembunuh, siapa sih yang mau mengidolakan pembunuh yang jelek? Ted Bundy, pembunuh AS yang setidaknya menghabisi 30 nyawa itu punya banyak pemuja yang datang saat persidangannya. Wajahnya tak kalah tampan dengan Henry Cavill, pemeran Superman.

Ada lagi Richard Ramirez, pembunuh dan pemerkosa tak kurang dari 15 orang. Sambil menunggu eksekusi mati, seorang penggemarnya mengirimi surat puluhan kali ke penjara, yang akhirnya ia nikahi. Wajahnya jelas tampan.

Yang baru-baru ini lagi ramai deh, pembunuh sadis bernama Jeffrey Dahmer. Sehabis dibuatkan serial baru tentangnya berjudul Monster, ia malah makin banyak punya penggemar. Lagi-lagi, harus diakui Dahmer berwajah lumayan.

Semua itu tak jauh berbeda dengan fenomena fans Bharada E. Berani taruhan deh, andai saja ia kurang good looking, atau wajahnya ditukar dengan Kuat Ma’ruf misalnya, pasti tak banyak karangan bunga dikirim untuk mendukungnya, tak ada ABG-ABG datang ke persidangan dan rela menyablon kaos dengan wajahnya, tak ada juga ibu-ibu yang berharap punya suami sepertinya.

Rekomendasi