ERA.id - Dalam kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir, tindakan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice menjadi salah satu hal yang disorot publik. Terkait tindakan tersebut, sebanyak enam anggota Polri ditetapkan sebagai tersangka.
Para polisi itu adalah antara lain mantan Kepala Divisi Propam, Irjen Ferdy Sambo; mantan Karopaminal Divisi Propam Polri, Brigjen Hendra Kurniawan; mantan Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri, Kombes Agus Nurpatria.
Tiga orang lagi adalah mantan Wakaden B Biropaminal Divisi Propam Polri, AKBP Arif Rahman Arifin; mantan Ps. Kasubbag Riksa Baggak Etika Rowabprof Divpropam Polri, Kompol Baiquni Wibowo; dan mantan PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Chuk Putranto.
"Penyidik saat ini sedang melakukan pemberkasan terhadap keenam orang itu. Terhadap keenam tersangka obstruction of justice ini," terang Irwasum Polri, Komjen Agung Budi Maryoto, di Kantor Komnas HAM pada Kamis, 1 September.
Dia mengatakan bahwa Divisi Propam Polri akan melakukan persidangan terhadap enam tersangka itu. Salah satu tersangka, yaitu Kompol Kompol Chuk Putranto, menjalani sidang etik hari ini.
"Hari ini sudah dimulai ke Kompol CP, sedang dilaksanakan sidang kode etik kemudian besok sampai dengan berikutnya tiga hari ke depan semuanya akan dilakukan sidang etik," jelasnya.
Terkait tindakan tercela para polisi itu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan obstruction of justice?
Pengertian Obstruction of Justice
Dikutip Era dari jurnal Pembangunan Hukum Indonesia terbitan Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (Undip), obstruction of justice tergolong tindak pidana karena menghalangi atau merintangi proses hukum dalam suatu perkara.
Cornell Law School menyampaikan rincian, obstruction of justice merupakan segala tindakan yang mengancam melalui surat, kuasa, atau komunikasi sambil memengaruhi dan menghalangi atau segala upaya untuk memengaruhi dan menghalangi proses hukum administrasi.
Perilah obstruction of justice juga dibahas dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Untul lebih jelasnya, berikut adalah sisi dari Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Pasal 221 KUHP tentang Obstruction of Justice
Sementara, isi Pasal 221 KUHP yang membahas persoalan obstruction of justice terdapat dalam dua pasal, yaitu pasal (1) dan pasal (2). Berikut adalah bunyi dari kedua pasal tersebut, dikutip dari yuridis.id.
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang sudah melakukan sesuatu kejahatan yang dituntut karena sesuatu perkara kejahatan, atau barangsiapa menolong orang itu melarikan dirinya dari pada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahanan oleh pegawai kehakiman atau polisi, atau oleh orang lain, yang karena peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan jabatan kepolisian;
2. barangsiapa yang sesudah terjadi kejahatan, membinasakan, menghilangkan, menyembunyikan benda2 tempat melakukan atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan itu atau bekas-bekas kejahatan itu yang lain-lain, atau yang berbuat sehingga benda-benda itu atau bekas-bekas itu tidak dapat diperiksa oleh pegawai kehakiman atau polisi baikpun oleh orang lain, yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan jabatan kepolisian, segala sesuatu itu dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau penuntutan.
(2) Peraturan ini tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan yang tersebut itu dengan maksud akan meluputkan atau menghindarkan bahaya penunututan terhadap salah seorang kaum keluarganya atau sanak saudaranya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau dalam derajat yang kedua atau yang ketiga dari keturunan yang menyimpang atau terhadap suami (isterinya) atau jandanya.