Terbitnya surat pengumuman Nomor 760/PL.02.2-pu/06/KPU/VII/2018 tertanggal 27 Juli 2019 yang ditandatangani Ketua KPU, Arief Budiman itu seakan jadi alarm buat seluruh pengurus partai politik, gabungan politik, serta pasangan calon itu sendiri.
Bukan apa-apa, nih. Waktu jelas semakin mepet, tapi pergerakan elite partai politik masih terlihat belum pasti hingga saat ini. Coba saja tengok ke kubu Partai Gerindra. Partai berlambang kepala garuda itu baru saja memantapkan koalisi dengan Partai Demokrat dan terus mematangkan koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Enggak cuma kubu Partai Gerindra. Konsolidasi juga nyatanya masih dilakukan oleh kubu PDI Perjuangan (PDIP). Lihat saja bagaimana calon presiden petahana, Joko Widodo (Jokowi) yang makin rajin mengumpulkan elite-elite partai politik. Seluruh elite partai politik itu sejatinya sadar, mereka enggak punya waktu lebih dari sebelas hari. Mepet, cing!
Tapi, nampaknya segala hal ini sudah diperhitungkan. Barangkali keputusannya sudah ada, cuma pengumumannya saja yang disesuaikan. Habisnya, mereka enggak nampak panik, tuh. Padahal, ditegaskan dalam pengumuman itu bahwa pendaftaran calon pasangan hanya dilakukan satu kali selama masa pendaftaran. Dan semua yang terlibat dalam pencalonan, diwajibkan hadir pada saat pendaftaran.
Infografis "Partai Peserta Pemilu 2019" (era.id)
Syarat-syarat yang digugat
Buat partai politik, hitung-hitungannya mungkin sudah jelas. Jadi, enggak ada yang perlu dikhawatirkan barangkali. Tapi, buat penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan, berbagai hal nyatanya masih jadi persoalan.
Bayangkan, dalam pengumuman yang diterbitkan KPU, ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusung pasangan calon. Pertama, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi parlemen pada Pemilu 2014 dan memperoleh suara sah paling sedikit 25 persen dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu 2014.
“Berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 963/PL.02.2-Kpt/06/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018, jumlah kursi di DPR paling sedikit 20% adalah 112 kursi, dan jumlah suara paling sedikit 25% adalah 31.221.435 suara,” tertulis dalam pengumuman tersebut.
Masalahnya, kalau kamu ingat, persyaratan tersebut saat ini masih berstatus digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah akademisi mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) terhadap dua ketentuan itu. Menurut akademisi penggugat itu, suara yang diperoleh partai politik pada tahun 2014 sudah enggak relevan untuk dijadikan tolak ukur dalam Pemilu 2019.
Rocky Gerung, akademisi dari Universitas Indonesia (UI) yang mewakili para penggugat sih mengaku yakin, MK bakal segera memutuskan perkara yang mereka gugat itu. Alasan kegentingan dan mepetnya waktu, kata Rocky jadi alasan paling masuk akal buat MK mempercepat proses gugatan. "Sangat bisa (beres sesuai waktu) karena ini urgent, karena ada momentum politik di depan, makanya disebut darurat," kata Rocky Gerung.
Belum selesai, kawan. Masalah di atas baru mengenai presidential treshold. Sebetulnya, ada masalah lain yang membuat proses penyelenggaraan pemilu bakal lebih rumit. Soal bakal calon presiden dan wakil presiden yang disyaratkan bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), misalnya.
Dalam poin yang sama, peraturan tersebut juga mengatur bahwa bakal calon presiden dan wakil presiden enggak boleh orang yang masih menjabat anggota DPR, DPD, dan DPRD dan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam posisi yang sama.
Batas periode jabatan
Lumayan ketat memang. Bahkan, bakal calon yang berstatus sebagai pejabat negara, baik itu anggota TNI, anggota Polri, PNS, atau pejabat BUMN dan BUMD wajib mengundurkan diri terlebih dulu jika ingin maju sebagai calon presiden atau wakil presiden.
“Persyaratan pengunduran diri sebagai pejabat negara dikecualikan bagi presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota,” bunyi pengumuman KPU.
Sebenarnya, enggak semua poin peraturan di atas jadi persoalan. Paling-paling, syarat terkait batasan periode menjabat yang enggak boleh lebih dari dua periode. Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla sendiri yang menggugat peraturan itu.
Peraturan itu dianggap bertentangan karena dalam UUD 1945 dan Pasal 7 UU Pemilu, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya, mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal inilah yang digugat oleh para pemohon.
JK meminta penafsiran yang lebih jelas terkait maksud dari dua periode dalam peraturan tersebut. Berbagai pihak memandang gugatan JK itu sangat personal. Buat mereka, sulit membantah dugaan adanya ambisi JK untuk kembali maju dalam pemilu mendatang di dalam gugatannya.
Memang, perkara ini barangkali adalah hal yang paling membingungkan. Ada dua pandangan terkait ini. Selain mereka yang terang-terangan menentang majunya JK, ada mereka yang beranggapan bahwa periode jabatan bukan jadi soal. Artinya, enggak ada masalah perihal JK yang telah menjabat dua periode sebagai wakil presiden.
Buat kubu kedua ini, yang jadi masalah adalah ketika jabatan presiden atau wakil presiden dipegang oleh satu orang selama dua periode berturut-turut. Jika menggunakan pandangan ini sebagai penafsiran, maka seharusnya enggak ada yang salah dengan pencalonan JK.
"Judical review ini untuk menafsirkan apa arti dua periode, bukan untuk menambah menjadi tiga periode dan seterusnya," kata Direktur Eksekutif Suropati Syndicate, Muhammad Shujahri di Setia Budi, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Ya, kita lihat saja. Secepat apa sinergitas antara lembaga negara ini berjalan menyambut pelaksanaan pemilu. Yang penting sih jangan tersita waktu, hingga hal-hal penting dan fundamental yang harusnya dipikirkan matang jadi diputuskan secara terburu-buru. Jangan, ya. Pokoknya, jangan!