Memang, rubella adalah penyakit yang dapat menyebabkan sejumlah potensi cacat lahir atau biasa dikenal dengan istilah congenital rubella syndrom (CRS). Ketika seorang ibu hamil terserang virus rubella, maka virus tersebut sangat berpotensi menyebabkan cacat lahir, mulai dari cacat mental, katarak, tuli, hingga penyakit jantung bawaan.
Poppi bercerita, ketika hamil dirinya sempat menderita campak. Dokter pun sejatinya sudah mengingatkan Poppi terkait dampak yang mungkin menjangkiti kehamilannya. Tapi, karena hasil USG saat itu menunjukkan kondisi bayinya yang normal, Poppi dan suami memutuskan untuk meneruskan kehamilannya itu. Lagipula, sejatinya sang bayi adalah kelahiran yang sudah sangat dinantikan. Begitu, kata Poppi.
Tapi, pengalaman itu enggak membuat Poppi hancur. Ia malah menghidupkan sebuah gerakan yang dinamai Anakku Sayang, yaitu komunitas yang berisikan orang tua beserta anak-anak mereka yang menjadi korban dari CRS. Dari pergerakannya itu, Anakku Sayang kini sudah menghimpun 104 anak korban CRS. Cukup banyak, meski Poppi yakin jumlah anak korban CRS sebenarnya pasti lebih banyak.
"Tapi saya yakin itu belum semua. Masih banyak anak-anak terpapar rubella yang orang tuanya menutup-nutupi. Saya sedih sekali melihatnya, kalau orang tua mereka meninggal, siapa yang akan mengurus mereka nanti," kata Poppi berdasar laporan Antara, Rabu (12/9/2018).
Cerita senada juga dituturan oleh Ronaldo Purba, seorang ayah dari anak korban CRS. Untuk Ronaldo, penderitaan sang anak nampak enggak kalah mengkhawatirkan. Selain tuli, virus rubella yang menyerang sang istri kala hamil menyebabkan kebocoran salah satu bilik jantung pada anaknya.
Mengenal penyakit rubella
Rubella adalah penyakit menular yang disebabkan virus. Penyakit yang juga dikenal sebagai campak Jerman ini akan menyebabkan penderitanya mengalami peningkatan suhu badan tinggi dan memunculkan ruam merah di sejumlah bagian tubuh. Penularan virus rubella yang terbilang mudah membuat otoritas kesehatan di berbagai negara dunia mengambil langkah serius, menyebarkan vaksinasi kepada seluruh warganya.
Memang, penularan rubella begitu mudah. Ia bisa menulari seseorang dari udara: lewat bersin atau lendir hidung alias ingus. Dan vaksinasi adalah cara yang sejauh ini diyakini paling tepat untuk memberantas sebaran virus ini. Secara penanganan, enggak ada cara khusus untuk menangani penyakit ini. Gejala rubella sendiri biasanya akan reda dalam rentang tujuh hingga sepuluh hari.
Jika terindikasi virus rubella, seseorang dapat mengonsumsi parasetamol atau ibuprofen untuk mengurangi demam dan meringankan rasa nyeri dan sakit. Tapi, tentu saja itu cuma langkah awal, karena biar bagaimanapun gejala rubella harus ditangani lewat sentuhan dokter. Apalagi jika penderita gejala itu adalah ibu hamil. Seperti yang dialami Poppi, bagi ibu hamil, rubella bisa menimbulkan risiko yang lebih berbahaya karena dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan cacat lahir bahkan kematian.
Dan pernyataan Poppi pun jadi betul, ketika ia memperkirakan angka penderita campak dan rubella jauh lebih tinggi dari yang tampak. Memang, belum ada catatan valid soal rubella. Tapi, jika melihat kesamaan penyakit ini, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2015 yang mencatat 8.185 kasus campak dapat jadi gambaran.
Mau bagaimana lagi, data paling relevan dan spesifik soal sebaran rubella sejauh ini baru dipublikasikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencatat 1.929 anak yang diduga terjangkit virus rubella di daerahnya. Dari angka itu, 463 dinyatakan positif mengidap virus rubella. Melihat langkah positif yang dilakukan oleh Dinkes DIY, pemerintah pusat rasanya harus sesegera mungkin mematangkan pemetaan terkait sebaran rubella secara nasional.
Sejatinya, langkah itu mulai dilakukan, sih. Buktinya, seorang teman yang merupakan dokter umum sempat bercerita, sekarang setiap dokter yang menemukan pasien dengan gejala infeksi virus rubella wajib melapor kepada Dinkes setempat. Tujuannya, tentu saja untuk memetakan penyebaran virus rubella lewat identifikasi sumber virusnya. Dengan memetakan penyebaran rubella, maka otoritas terkait dapat lebih mudah dan terukur dalam mengambil setiap langkah menghentikan penyebarannya.
Bukan apa-apa. Memberantas penyebaran penyakit rubella ini memang susah-susah gampang. Sebagai penyakit yang enggak memerlukan penanganan medis khusus, cara untuk menghentikan rubella sejatinya adalah pencegahan lewat vaksinasi. Dan masalahnya, vaksinasi Measles Rubella (MR) yang jadi produk vaksin virus rubella ini jadi kontroversi karena diketahui mengandung unsur haram di dalam proses produksinya.
Kontroversi
Sejak dikampanyekan pada pertengahan 2018, penggunaan vaksin MR langsung memicu kontroversi. Masyarakat, bahkan sejumlah pemerintah di daerah menolak menggunakan vaksin yang disebut-sebut mengandung senyawa haram di dalam proses produksinya ini.
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Kepulauan Riau (Kepri), misalnya. Yang hingga Selasa (11/9) masih menunda pemberian imunisasi MR lantaran masih menunggu kejelasan terkait status vaksin MR. "Untuk sementara ini ditunda dulu dan sampai hari ini kita masih menunggu instruksi Gubernur," kata Kepala Dinkes Indragiri Hilir, Zainal Arifin kepada Antara.
Sejatinya, laju imunisasi vaksin MR sudah dilakukan di Indragiri Hilir sejak Agustus lalu. Namun, kontroversi terkait kandungan haram dalam vaksin MR membuat pemerintah daerah menundanya. Sejauh itu, baru 16,5 persen dari total 197.799 anak sasaran di Indragiri Hilir yang telah berhasil diimunisasi.
Di berbagai daerah lainpun begitu. Laju imunisasi vaksin MR masih terpantau lambat. Di Singkawang, Kalimantan Barat, laju imunisasi vaksin MR masih tercatat di angka 39 persen. Padahal, menurut target yang ditetapkan, seharusnya capaian imunisasi vaksin MR sudah mencapai 60 persen.
"Namun dikarenakan ada faktor yang disinyalir dapat menghambat jalannya program ini, maka realisasinya belum mencapai 40 persen," kata Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Singkawang, A Kismed kepada Antara.
Memang, penolakan ini sejatinya berdasar juga. Sebab, menurut surat balasan yang dikirimkan perusahaan yang memproduksi vaksin MR, Serum Institute of India (SII) kepada Kemenkes, secara jelas mereka menyebut bahwa vaksin ini menggunakan bahan yang mengandung babi dalam proses produksinya.
Dan sejak itu, penolakanpun disuarakan lebih keras. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu otoritas keagamaan di Indonesia akhirnya mengizinkan penggunaan vaksin MR. Lewat pembahasan panjang, MUI pun menerbitkan fatwa yang memuat substansi tersebut.
Dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) Produk SII (Serum Institute of India) Untuk Imunisasi, MUI menyatakan bahwa penggunaan vaksin MR adalah mubah atau dalam kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah).
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH. Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan, seenggaknya ada beberapa pertimbangan yang mendasari fatwa mubah tentang vaksin MR ini. Pertama, tentu saja kondisi yang memaksa lantaran belum ditemukannya vaksin MR yang halal dan suci.
Selain itu, sejumlah ahli kompeten dan terpercaya telah menerangkan bahaya yang dapat ditimbulkan jika imunisasi vaksin MR enggak dilakukan. Makanya, kata Ni'am, nantinya vaksin MR akan kembali diharamkan ketika vaksin yang halal dan suci ditemukan.
Artinya, meski MUI telah mendorong penggunaan vaksin MR milik SII ini, pemerintah enggak boleh santai-santai. Peer pemerintah sekarang adalah menjamin ketersediaan vaksin halal untuk masyarakat di Indonesia. Bukan apa-apa, kata Ni'am, biar bagaimanapun Indonesia diduduki oleh mayoritas penduduk beragama Islam.
Karenanya, aspek keagamaan harus jadi pertimbangan penting dalam konteks jaminan kesehatan macam ini, sesuai Undang-Undang (UU) Jaminan Produk Halal (JPH).