Penolakan penggunaan vaksin MR ini enggak main-main. Bukan seperti penolakan pacar sotoymu ketika diajak makan sate kambing di pinggir jalan. Di beberapa daerah, petugas kesehatan yang jadi ujung tombak pelaksanaan imunisasi bahkan terancam keselamatannya.
Kegiatan imunisasi yang dilakukan di Puskesmas Papoyato Induk, Pohuwatu, Gorontalo misalnya. Menurut temuan Kantor Staf Presiden, enam petugas kesehatan di Desa Torosiaje Kepulauan didatangi sejumlah orang, diancam dengan senjata tajam. Orang-orang itu bahkan menyebut akan memotong para petugas yang melakukan penyuntikan.
Ancaman keselamatan enggak cuma dialami petugas kesehatan di Puskesmas Papoyato. Di Puskesmas Selalak Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, para petugas kesehatan juga diancam oleh seorang lelaki. Membawa senjata tajam, si lelaki meminta imunisasi dihentikan. Ketimbang kepala dan tangannya disabet, para petugas tentu saja memilih menghentikan imunisasi.
Yang terjadi di Puskesmas Tanah Datar, Sumatera Barat agak berbeda. Enggak pakai ancaman kekerasan seperti yang dialami para petugas di Gorontalo dan Kalimantan Selatan. Di sini, para petugas diancam akan dituntut secara hukum jika melakukan imunisasi.
Menolak mundur
Tingginya resistensi di lapangan enggak bikin pemerintah pusat mundur. Untuk mengatasi hambatan-hambatan lapangan, pemerintah akan melakukan komunikasi publik secara masif untuk meredam resistensi masyarakat. Enggak cuma itu, pemerintah pusat malahan akan membangun kerja sama lintas sektor agar cakupan imunisasi MR bisa lebih luas.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho, dalam Rapat Koordinasi Kampanye Imunisasi MR Tahap II di Bina Graha, Kantor Staf Presiden, Rabu (12/9) mengatakan, cakupan imunisasi MR fase II terbilang rendah, jauh di bawah target 95 persen yang ditetapkan.
Target ini sebenarnya sangat masuk akal. Sebab, imunisasi MR fase I tahun lalu sejatinya terbilang sukses. Cakupan imunisasi kala itu menjangkau 35.307.148 anak usia 9 bulan hingga 15 tahun di Pulau Jawa, jauh melebihi target 95 persen.
Nah, fase II ini nih yang bermasalah betul. Dari target hampir 32 juta anak usia 9 bulan hingga 15 tahun di 28 provinsi di luar Pulau Jawa, hingga 10 September, baru mencakup 42.98 persen. Padahal, menurut target, jangkauan imunisasi saat ini seharusnya mencapai 75 persen.
Hambatan inilah yang bikin pemerintah pusat khawatir. Masalahnya, dengan jangkauan yang begitu rendah macam ini, artinya akan ada 32 juta anak Indonesia di antara usia 9 bulan sampai 15 tahun --yang jadi target imunisasi-- yang terancam terinfeksi virus campak dan rubella.
Ancaman rubella
Memang, sejak dikampanyekan pada pertengahan 2018, penggunaan vaksin MR langsung memicu kontroversi. Masyarakat, bahkan sejumlah pemerintah di daerah menolak menggunakan vaksin yang disebut-sebut mengandung senyawa haram di dalam proses produksinya ini. Dan penolakan ini sejatinya berdasar juga. Sebab, menurut surat balasan yang dikirimkan perusahaan yang memproduksi vaksin MR, Serum Institute of India (SII) kepada Kemenkes, secara jelas mereka menyebut bahwa vaksin ini menggunakan bahan yang mengandung babi dalam proses produksinya.
Meski begitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu otoritas keagamaan di Indonesia akhirnya mengizinkan penggunaan vaksin MR. Lewat pembahasan panjang, MUI pun menerbitkan fatwa yang memuat substansi tersebut. Dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) Produk SII (Serum Institute of India) Untuk Imunisasi, MUI menyatakan bahwa penggunaan vaksin MR adalah mubah atau dalam kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah).
Ada beberapa pertimbangan yang mendasari fatwa mubah tentang vaksin MR ini. Pertama, tentu saja kondisi yang memaksa lantaran belum ditemukannya vaksin MR yang halal dan suci. Selain itu, sejumlah ahli kompeten dan terpercaya telah menerangkan bahaya yang dapat ditimbulkan jika imunisasi vaksin MR enggak dilakukan. Makanya, kata Ni'am, nantinya vaksin MR akan kembali diharamkan ketika vaksin yang halal dan suci ditemukan.
Artinya, meski MUI telah mendorong penggunaan vaksin MR milik SII ini, pemerintah enggak boleh santai-santai. Peer pemerintah sekarang adalah menjamin ketersediaan vaksin halal untuk masyarakat di Indonesia. Bukan apa-apa, kata Ni'am, biar bagaimanapun Indonesia diduduki oleh mayoritas penduduk beragama Islam. Karenanya, aspek keagamaan harus jadi pertimbangan penting dalam konteks jaminan kesehatan macam ini, sesuai UU Jaminan Produk Halal (JPH).
Maka itu, sikap paling bijak saat ini barangkali adalah mengikuti anjuran pemerintah yang telah didukung fatwa MUI untuk menggunakan vaksin rubella. Bukan apa-apa, bahaya dari serangan virus rubella ini enggak main-main, saudaraku. Secara umum, rubella mungkin cuma akan menyerang sistem kekebalan tubuh. Tapi, secara khusus, dampak rubella bagi ibu hamil bisa memicu kelainan janin, cacat lahir --mulai dari kebutaan, tuli, hingga kelainan jantung-- sampai kematian.
Secara dampak ekonomi, beban pada orang tua yang anaknya cacat karena Rubella bisa mencapai Rp 300 juta – 400 juta per anak per tahun. Belum menghitung biaya waktu dan biaya kehilangan produktivitas dari masa depan anak. Apabila tidak mencapai target 95 persen, maka imunitas kawanan (herd immunity) tidak terbentuk dan program imunisasi dinyatakan gagal.
Nah, maka berhitunglah, saudaraku!