Minat Jadi TKI Tetap Tinggi Meski Risiko Menanti

| 31 Oct 2018 19:24
Minat Jadi TKI Tetap Tinggi Meski Risiko Menanti
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Pada 2006, Hidayati (35), seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bertolak ke Jeddah, Arab Saudi dari Jakarta. Dia pergi ke sana demi masa depan anak dan keluarganya.

Di Jeddah, Hidayati bekerja sebagai asisten rumah tangga. Demi harus melakoni peran ini karena dia adalah tulang punggung keluarga, yang harus menutupi kebutuhan ekonominya. Apalagi, mencari pekerjaan di Ibu Kota tidak mudah. 

"Karena pada saat itu saya kesulitan untuk mencari kerja di Jakarta, jadi saya nekad dengan niat baik dan cita-cita saya," kata dia dihubungi era.id, Rabu (31/10/2018).

Warga asli Jakarta ini sadar, kepergiannya ke negeri kurma bukan tanpa risiko. Namun karena tekadnya telah bulat, janda satu orang anak ini memutuskan tetap pada pendiriannya. 

"Rasa takut pasti ada pada setiap manusia, tapi dibalikan lagi kepada niat baik kita dan mempasrahkan diri demi mereka (keluarga)," katanya.

Stereotip tentang kerasnya hidup sebagai TKI, bahkan sampai berujung kematian, tidak luput dari pikiran Hidayati. Namun, itu semua harus dia jalani.

Hingga suatu waktu, dia bercerita ketika 'dites kejujuran' oleh majikannya. Dia pernah diminta membersihkan kamar majikannya dengan keadaan uang dan perhiasan yang mungkin sengaja berserakan. Hidayati pun lulus dari ujian ini. Majikannya ini pun jadi sangat percaya padanya.

"Ujian seperti itu sudah saya lewati, sekarang saya dipercaya segala-galanya," kata dia.

Hidayati bukan satu-satunya orang yang berhasil bertahan hidup di negeri orang. Masih banyak Hidayati lainnya yang bisa menepis cerita kerasnya jadi TKI.

Ilustrasi (Pixabay)

Tren TKI meningkat

Meski muncul stereotip TKI kerap mengalami kekerasan, pelecehan, hingga pembunuhan, nyatanya tidak membuat masyarakat Indonesia menghindari pekerjaan ini. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya tren jumlah penempatan kerja para TKI ke berbagai negara.

Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), tren angka penempatan TKI meningkat sejak 2016. Pada 2016, tercatat sebanyak 175.445 penempatan kerja, terdiri dari 94.308 pekerja formal, dan 81.137 informal. 

Kemudian pada 2017, angkanya meningkat menjadi 195.468 orang, terdiri dari 92.345 formal dan 103.123 informal. Sementara data terbaru per September 2018 tercatat sebanyak 204.836 tenaga kerja yang terdiri dari 100.156 pekerja formal, dan 104.680 informal. 

Sementara itu, jenis pekerjaan yang paling banyak dari TKI itu adalah domestic worker atau pekerja rumah tangga. Pada 2016 jumlah pekerja tersebut tercatat sebanyak 33.725 pekerja. Kemudian pada 2017 jumlahnya hampir bertambah dua kali lipat yakni sebanyak 68.418, kemudian per September 2018 tercatat sebanyak 62.994 TKI melakoni pekerjaan itu.

Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya, kebanyak para TKI berasal dari lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada 2016, TKI lulusan SMP tercatat sebanyak 7.891 pekerja, sementara pada 2017 TKI lulusan SMP jumlahnya mencapai 6.612, dan per September 2018, terdapat sebanyak 8.331 TKI yang berpendidikan lulusan SMP. 

Meskipun mungkin banyak Hidayati-Hidayati lain yang berhasil dipercaya dan cocok dengan majikannya, namun tetap saja, perbedaan bahasa, budaya, dan kebiasaan yang berbeda, bekerja di negeri orang lain lebih meningkatkan peluang masalah yang ada. 

Ilustrasi (Pixabay)

Masalah-masalah TKI

Menurut data BNP2TKI, masalah yang paling banyak adalah aduan soal gaji tidak dibayar, TKI ingin dipulangkan, dan pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir. 

Pada 2016 masalah gaji yang tidak dibayar tercatat sebanyak 351 kasus, aduan masalah tersebut menurun pada 2017 menjadi sebanyak 287, dan per September 2018, tercatat sebanyak 121 kasus. 

Kemudian soal TKI ingin dipulangkan pada 2016, 2017, dan September 2018 berturut turut sebanyak 263 aduan, 331 aduan, dan 121 aduan. Sedangkan untuk masalah pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir trennya cenderung turun. Pada 2016 tercatat sebanyak 590 aduan, kemudian pada 2017 terdapat 195 aduan, dan September 2018 hanya 17 aduan saja. 

Selain itu, masalah soal perdagangan orang terdapat 48 aduan. Jumlah aduan itu meningkat pada tahun 2017 menjadi sebanyak 68 aduan. Sementara catatan data terbaru per September 2018, sebanyak 21 kasus telah dilaporkan.

Selain soal perdagangan orang, masalah lain yang menghantui para TKI adalah tindakan kekerasan dari majikan. Tercatat pada 2016 sebanyak 57 masalah. Pada tahun berikutnya aduan masalah tersebut turun menjadi 55 aduan. Sementara data terbaru per September 2018, tercatat ada 18 aduan.

Rekomendasi