Jika diingat, pergelaran 212 merupakan aksi lanjutan dari tahun 2016 lalu. Pada saat itu, mereka beraksi menuntut tindakan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sementara, saat ini, acara Reuni 212 menjadi salah satu kegiatan pengumpulan masa terbesar di Indonesia.
Namun karena kegiatan ini dilakukan menjelang pilpres dan banyak isu terkait pertarungan kedua capres, muncul berbagai pertanyaan mengenai efek elektoral acara Reuni 212 dengan calon pasangan yang bertarung pada Pemilu 2019. Hal inilah yang menjadi dasar peluncuran hasil survei yang dilakukan LSI.
Hasilnya, reuni 212 cukup diketahui oleh mayoritas pemilih di Indonesia. Sebesar 58.5 persen menyatakan bahwa mereka pernah mendengar atau mengetahui adanya kegiatan Reuni 212 di Jakarta. Hanya 38.0 persen yang menyatakan tidak tahu/tidak pernah mendengar.
"Dari mereka yang menyatakan pernah mendengar/mengetahui, mayoritas atau sebesar 54.5 persen menyatakan suka dengan reuni 212, yang tidak menyukai sebesar 26 persen, sementara yang tidak menjawab 19,5 persen," ujar Peneliti LSI Adjie Alfaraby di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018).
Diketahui, sebelum reuni 212 pada November lalu, elektabilitas Jokowi-Maruf sebesar 53,2 persen, sementara elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 31,2 persen. Usai Reuni 212, elektabilitas kedua paslon tak banyak berubah dan tak mendongkrak suara kepada Prabowo yang hadir dan beroasi di sana.
"Pasca-Reuni 212, elektabilitas kedua capres tidak banyak berubah dan cenderung stagnan. Elektabilitas Jokowi-Maruf di bulan Desember sebesar 54,2 persen, sementara elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 30,6 persen," ucap dia.
Adji mengungkapkan ada lima alasan mengapa Reuni 212 tidak punya efek elektoral yang siginifkan.
Alasan Pertama, mayoritas pemilih yang suka dengan Reuni 212 sudah memiliki sikap yang sulit dipengaruhi oleh Pemimpin FPI Rizieq Shihab yang menyerukan soal NKRI bersyariah dan seruan ganti presiden.
"Terkait dengan seruan Habib Rizieq untuk mewujudukan NKRI bersyariah, dari mereka yang menyatakan suka dengan Reuni 212, sebesar 80,2 persen menyatakan lebih pro dengan konsep NKRI yang berdasarkan pancasila saat ini. Hanya sebesar 12,8 persen dari mereka yang suka dengan reuni 212 yang menyatakan pro dengan NKRI bersyariah," jelasnya.
Alasan Kedua, setelah Reuni 212, ada sebagian pemilih yang datang ke Prabowo-Sandi. Namun ada sebagian pemilih juga yang pergi dari pasangan Prabowo-Sandi.
"Di pemilih yang mengaku berafiliasi dengan FPI dan PA 212, terjadi peningkatan suara signifikan dari pasangan Prabowo-Sandi. Sementara itu, dukungan Prabowo-Sandi di pemilih yang menyatakan berafiliasi dengan NU, Muhammadiyah dan pemilih yang menyatakan tidak berafiliasi dengan ormas manapun mengalami penurunan suara," tutur Adjie.
Alasan Ketiga, kepuasaan terhadap kinerja Jokowi secara umum masih tinggi. Sebelum Reuni 212, kepuasaan terhadap kinerja Jokowi sebesar 69,4 persen. Sementara pada Desember 2018 menunjukan bahwa mereka yang menyatakan puas terhadap kinerja Jokowi mencapai 72,1 persen.
Alasan keempat, Ma’ruf Amin menjadi jangkar Jokowi untuk pemilih muslim. Meskipun Maruf Amin sebagai cawapres Jokowi hingga saat ini memang tak banyak menaikan elektabilitas Jokowi, namun Ketua Umum MUI menjadi benteng untuk Jokowi terhadap isu-isu identitas yang berpotensi menggerus elektabilitas.
"Sebesar 65,8 pemilih menyatakan simbol Islam tidak bisa digunakan untuk menggerus dukungan Islam ke Jokowi karena cawapresnya adalah seorang pimpinan ulama. Hanya sebesar 17,4 persen publik yang menyatakan bahwa simbol Islam bisa menggerus dukungan pemilih terhadap Jokowi," ungkapnya.
Alasan terakhir, Adjie menilai Jokowi berbeda dengan Ahok. Publik menilai Jokowi bukanlah musuh bersama umat Islam. Oleh karena itu, gerakan Reuni 212 tidak bisa digunakan untuk menjadikan Jokowi musuh bersama.
"Sebesar 74,6 persen menyatakan bahwa gerakan Reuni 212 tidak bisa digunakan untuk menjadikan Jokowi sebagai common enemy pemilih muslim. Hanya sebesar 14,6 persen. pemilih yang menyatakan bahwa Reuni 212 bisa digunakan untuk menjadikan Jokowi sebagai common enemy pemilih Muslim," lanjutnya.
Survei ini menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar +/- 2,8 persen, dilakukan dengan wawancara tatap muka kepada 1.200 respoden seluruh Indonesia dalam rentang waktu 5-12 Desember 2018.